Cerpen Sedih - Alun Alun Jingga | Suci Ariani
Alun Alun Jingga - Suci Ariani
KakaKiky - Aku memerangi dingin pisau yang menjelajahi tubuhku meski sempat berfikir menyerah akan lebih menenangkan, tapi tidak karena kau menggenggam tanganku di ujung cahaya, bukan ruang operasi juga bukan jas putih yang kau kenakan dan aku tak dikelilingi temanmu sebagai pasien yang memohon nyawa, tapi sebagai pengantin dengan gaun putih yang mereka kelilingi ribuan doa selamat. Kelopak mawar bertaburan disetiap langkah kita, mengalirkan sensasi diluar dugaan. Mampu membuat jantungku berdetak, kuat.
Bola mataku sibuk mengelilingi setiap
sudut ruangan ini. Bau farmasi yang menyengat membuatku sedikit pusing dan
infus yang menggantung di samping kepalaku, benar-benar membosankan tempat ini.
Seorang hadir dari celah pintu, samar
terlihat wajahnya dan semakin jelas. Ia di sampingku sekarang.
“Sudah kukatakan, kau akan baik saja”.
Tangan halus itu menyentuh kepalaku. Matanya jatuhkan butir di keningku. Aku
sedikit menggerakan kepala ke atas, ingin menyentuh tangannya dan menepis
setiap titik disana.
Langit tak lagi mendung. Berganti mega
yang indah. Menghadirkan cahaya jingga yang tampil memesona di ujung langit
dengan matahari yang siap pulang ke peraduannya. Jaringan otakku bereaksi
seketika, perlihatkan kau dan aku duduk bersama di sini seperti biasa, di bawah
jingga dengan tawa khas yang mengudara antara kita. Desir angin mendarat kasar
di permukaan kulit. Lenyapkan nuansa hitam putih itu.
Kurasa aku juga harus pulang melepas
lelah dan sesak, meninggalkan angin yang memakin menusuk ke dasar jiwa. Aku
menoleh dan seketika wajah itu tepat di hadapanku. Sedikit berbeda, tak
berbunga seperti taman yang menuai rindu seperti biasa. Rindu, jika boleh
kupinta cukuplah bersarang di hatiku, tak perlu menembus waktu dan menyerang
hatinya sebab setauku cintanya tak cukup kuat menikmati setiap pasukanmu yang
berlabuh, meski waktu tak jauhkan kita terlalu lama, namun bukankah kebiasaan
kita untuk saling merindu? Bahkan meski dekat aku tetap ingin merindukanmu. Ya
aku tau kau pun sama.
“3 jam aku menunggu” ucapku datar Aku
tau mungkin kau sibuk mencari pekerjaan baru, tapi mengapa harus mengundurkan
diri? Baiklah, mungkin kau punya alasan lain. Pekerjaan yang lebih menjanjikan
dan mungkin kau juga sibuk meyakinkanku meyakinkanku mengenai hal itu.
Dia hanya diam dengan tatapan yang tak
ku mengerti.
“Kiyya… Kita tak bisa menikah”
Apa?!, bagai ribuan petir menari di atas
kepalanku yang siap menyambar kapan saja.
Kita masih diam dengan posisi
masing-masing.
Kau menunduk pelan, mundur perlahan
semakin menciptakan jarak antara Kita.
Bukan hanya dapat dilihat dari berapa
meter jarak kita saling berdiri, tapi lebih dalam dari itu, jarak yang
sebenarnya antara hati, harapan dan kenyataan. Hati kita saling terpaut bahkan
sejak pertama bertemu. Lalu kita menjalin hubungan dan memutuskan akan menikah.
Harapan hidup damai bersama anak-anak kita kelak, hingga senja menggelapkan
dunia kita. Bukankah kau yang memintaku menjadi sahabat hidupmu?.
Aku masih berharap ini sekedar lelucon,
walau tak lucu, aku akan sedikit merajuk dan kau akan membujuk dengan gombalan
aneh seperti anak SMA.
“Aku tak bisa menikah denganmu, kiyya.
Maafkan aku”
Deeggg..!! Ini nyata!
Kau berbalik membanting setir dengan
hebat setelah sukses menyelesaikan kata yang telah meledakan jantungku.
Dan sejak saat itu senja antara kita
menjadi gelap.
Kau! Seorang yang berjanji akan menjadi
sahabat hidupku. Seorang yang datang menghadap ayahku sebelum melempar mahar
dan menetapkan hari bahagia ini. Hari ini. Bukankah kita harusnya duduk bersama
menghadap para tamu yang datang membawa undangan jingga dan memuji kita sebagai
pasangan serasi? Bukankah akan kukenakan gaun yang membuat matamu tak berkedip
saat aku mencobanya di butik? Bukankah hari ini bahagia itu? Kau akan menjabat
tangan ayahku, menyebut mahar dan mengucap sumpah lalu para tamu akan menjawab
sah dan aku akan menjadi milikmu selamanya.
Tapi tampaknya kau lebih bahagia hari
ini dengan wajah pucat yang kaku dan senyum tak pudar mengembang disana. Semua
temanmu mendoakan, bukan untuk pernikahan kita tapi ketenanganmu. Aku di
barisan paling depan antara orang berseragam hitam bersama mama dan papamu.
Menabur bunga di atas jasadmu. Menyentuh nisanmu dan membasahinya dengan
airmata, penyesalan, rasa sakit dan segalanya.
Menimbun rindu yang berakhir tangis di
ujung malam.
“Dia sakit apa?” gadis di depanku
melipat tangannya, menatap serius sedari tadi. Aku menjawab senyum. Dia Alya,
sepupuku.
“Kakak..” Alya menyentuh tanganku,
kandas sekali terasa sentuhan itu di kulit ini. menjelajahi pandangan yang
semakin menggambar perih.
“Bicaralah padanya, jangan menyiksa
rindu yang semakin menggila. Karena bagaimanapun yang kau rindu masih bisa kau
lihat”. Mataku berkaca-kaca, bukan karena memberi solusi atas masalah Alya dan
pasangannya yang bertengkar hebat. Bukan karena aku menceritakan kisahku
padanya. Bukan juga karena Alya menangis menahan keangkuhan untuk bertemu
kekasihnya. Melainkan karena aku merindukanya, dan aku tak bisa melihatnya.
Lagi.
“Aku akan menemuinya” ucapnya mantap.
Aku dapat merasakan rindunya.
“Kita harus pulang. Ada pekerjaan yang
harus kakak selesaikan” aku melihat ke arah jendela caffe.
Mungkin sebentar lagi awan akan jatuhkan
butir demi butir di genggamannya.
“Baiklah, aku juga akan pulang sebelum
hujan”. Ucapnya manis. Kami meninggalkan cafe dengan dua cangkir cappuccino
latte yang tersisa setengah.
Beberapa pelanggan cafe memperhatikan
kami. Tepatnya aku. Tubuh kurusku memang menyita banyak perhatian.
Hujan mengguyurku dengan hebatnya,
menyisakan dingin yang dapat membunuh. Bersin tak henti menyerang, disusul
batuk dan.. darah?.
Tapi tunggu!, kertas usang di sudut
lemari lebih menarik perhatianku ketimbang darah yang mengalir segar dari
mulut. Kertas yang tak bosan dibaca meski sudah ribuan kali disentuh. Masih
tampak baru seperti pertama kali sampai di tanganku.
“Kiyyalla mustika siddiq…
Akulah seorang yang menyakitimu melebihi
pisau operasi yang menyentuh tubuhmu, perih melebihi darah yang terus mengalir
dari manapun.
Aku ingin datang membawa ribuan mawar
dan berlutut di kakimu.
Meski ku tau berjuta maaf pun tak cukup
mengobatinya.
Dan berjuta kesempatan darimu pun tak
cukup bagiku memperbaikinya.
Aku pengecut terbesar di muka bumi ini,
yang tak menetapi janji akan menggenggam tanganmu menuju pelaminan kita.
Yang tak berani jujur dan memilih
menyakitimu.
Aku sekarat kiyya. Aku ingin kau di
sampingku memeluk saat aku merasa dingin.
Namun lebih dari ini aku tak ingin kau
tertular sedikitpun, dan menjauh dari hidupmu secepatnya adalah pilihan
terbaik.
Saat virus ini menggerogoti tubuh dan
hidupku. Aku masih bersyukur tak kehilangan tenaga untuk menulis surat ini.
Takdir sebagai dokter membawa hidupku
pada jalan ini.
Aku tertular HIV dari salah satu
pasienku. Aku menangani dan berencana akan menuntaskan kasusnya, tapi jauh dari
itu Sang Maha Kuasa tentu telah berencana lebih dulu. Rencana yang tak dapat
elakan.
ini membunuhku Kiyya.
Kau lebih tau aku membawamu dalam hatiku
menuju kehidupan lebih abadi.
Aku tak mampu menahan lagi Kiyya
Aku mencintaimu.
Alzi”
Jariku bergetar hebat. Tetesan darah
memenuhi kertas pucat itu.
Bertahun telah terlewati. Aku juga
lelah. Dalam cahaya tebal di atas sana kau pasti melihat dengan mata yang
selalu kurindu. Harapan ini tak mampu lagi menahan tubuh kikisku. Tubuhku hanya
berbalut kulit. Virus itu juga menggerogotiku, kala darahmu mengalir sebagai
donor saat aku membutuhkannya. Dan kali ini virus itu menyentuh dasar
pertahananku. Darah seketika mengalir lambat, semakin dingin dan gelap.
Merenggut mimpi, penyesalan dan duniaku.
Alzi Anas Baskara, aku melihatmu di
sana, membawa ribuan mawar dan berlutut di kakiku. Dan kau menggenggam
tanganku. Kuat.
Cerpen yang berjudul "Alun-Alun Jingga" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Suci Ariani. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Sucy Ariani.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Alun Alun Jingga | Suci Ariani"