Cerpen Inspiratif - Mimpi | Sri Yanti
KakaKiky - Hujan membungkus desa. Awan gelap menggumpal-gumpal, petir sekali dua menyambar. Dingin. Kurapatkan selimut menutupi tubuh sembari menatap hujan lewat jendela.
Deras. Hujan membasahi teras depan,
pohon-pohon, jalan depan, bunga-bunga, toko-toko, belum lagi sekolah yang esok
paginya akan becek, licin, yang jika tidak hati-hati bisa terpeleset. Minggu sore
yang dihiasi rintihan hujan.
Mataku redup menatap ke luar, sedari
tadi aku menangis. Dan mungkin air mataku telah habis kutumpahkan, hanya sendu
yang tersisa.
Tadi habis ashar. Aku dan orangtuaku
membicarakan tentang melanjutkan kuliah. Kami bukan orang yang mampu. Bukan
orang yang bisa membayar uang kuliah yang bisa mencapai puluhan juta. Ayahku
hanya seorang sopir, dan ibuku penjual kue. Apalah dayaku yang tidak bisa
melanjutkan kuliah. Hanya menangis menatap hujan.
Desa kami terpencil, terluar dan
tertinggal. Bukan mudah mencari ilmu yang banyak di sini. Kami para siswa yang
miskin buku dan pengetahuan. Harga buku mahal sekali, dan di desa kecil kami
tidak ada toko buku, paling hanya kamus yang dijual. Itu saja. Tidak ada novel,
komik, majalah, buku pengetahuan yang lebih mendalam, buku lulus UN, tidak ada.
Di sekolah, Fasilitas buku kami belum lengkap. Buku-buku yang ada bisa
terhitung lama, dan banyak yang berdebu. Ruang perpus yang tidak leluasa.
Bagaimana kami memperoleh ilmu yang lebih?
Lalu jika ingin kuliah harus membayar
mahal sekali. Atau jalur kuliah lain dengan mengemban gelar ‘anak berprestasi’.
Bisa apa aku? Siswi sederhana yang miskin ilmu. Jangankan hal yang lebih sulit
dari itu, mendapatkan nilai un standar saja hanya angan-angan.
Aku hanya bisa berdoa, dan berusaha. Dan
itu adalah hal terbaiknya, dalam langit-langit doa, aku punya harapan. Aku
punya mimpi yang selalu kuucapkan sehabis sholat. Setidaknya aku percaya
mukjizat, keajaiban, yang datangnya dari ALLAH. Usaha selalu berbanding lurus
dengan hasil, aku percaya itu. Selama aku berusaha, selama aku giat, ada jalan.
Aku harus bisa. Just do it.
Senin pagi yang becek. Mendung masih
tergantung di langit, sisa-sisa hujan kemarin sore. Namun sekolah kami tetap
melaksanakan upacara bendera. Tidak ada hari Senin tanpa upacara, itulah
sekilas motonya.
Maka mulai hari ini, saat sang bendera
merah putih berkibar gagah di langit. Aku memulai habit baruku. Mulai merangkai
mimpi kecilku, memompa semangat dalam hati, berusaha sekuat tenaga, aku harus
mencari pelangi setelah gelapnya mendung. Aku harus bisa! Aku harus kuliah,
mendapatkan pendidikan yang lebih baik, meraih janji kehidupan yang bermutu.
Setelah ini aku berusaha sekuat tenaga,
belajar lebih giat. Tak kulewatkan satu mata pelajaran pun, jika aku tak
mengerti bertanya pada guru, meminjam buku dari berbagai sumber, mencari
informasi dari internet, belajar sampai larut, dan bangun lebih awal untuk
belajar.
Tak peduli jenuh yang kurasakan saat
belajar, meskipun kantuk yang menyergapku ketika larut dan subuh. Aku percaya
pada mimpiku. Mustahil? Ah mereka yang mengatakan itu takan pernah mengerti
rasanya berusaha. Aku selalu ingat pesan moral yang satu ini “Bermimpilah
setinggi langit maka saat kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang”.
Aku menanamkan pesan ini dalam sekali, jauh di dasar hatiku. Aku merangkai
mimpi, dan berusaha semampuku.
Aku menangis, namun tetap membaca.
Hatiku berat dan jenuh belajar, aku tetap berfikir. Tak ada waktu yang
kusia-siakan bahkan saat membantu ibuku menjual kue, aku mengerjakan soal-soal.
Aku berusaha.
Dan tibalah saat pengumuman kelulusan.
Aku gugup, gemetar, mual, entahlah. Ini saat yang mendebarkan dalam hidupku.
Saat-saat menentukan. Apakah aku lulus atau tidak, apakah nilaiku memenuhi
beasiswa atau tidak, aku tidak tahu.
Aku telah berusaha semampuku, dan aku
pasrahkan semua hasil usaha itu. Dan jika ternyata tidak sesuai harapan, ini
mungkin bukan jalanku. Aku harus mengubur mimpi itu, dan mencari jalan lain.
Merangkai masa depan yang berbeda.
Aku menatap lurus ke depan.
“…Rima Asya dinyatakan…”
Detik-detik yang lama sekali. Aku pasrah
pada hasilnya. Apapun itu.
“… Tidak lulus!!”
Cairan bening itu menggenang, dan
mengalir deras di pipi. Aku terisak. Suaraku parau di tengah teman-teman yang
mulai memelukku prihatin. Inikah bintang? Meskipun aku ikhlas, pasrah dengan
keadaan, tetap saja terluka.
Aku ikhlas..
Namun air mataku tak berhenti mengalir.
Aku kuat..
Namu hatiku terasa sakit sekali.
Aku pasrah..
Namun rasa kecewa itu ada.
Nama teman-teman lain masih disebutkan.
Menggema tidak jelas di pendengaranku, lidahku Kelu tak sanggup memberi
selamat, atau menguatkan yang lain. Aku tak sanggup tersenyum saat ini. Sakit.
Dan saat penutupan, ketika kepala
sekolah menyampaikan pidatonya. Dia tersenyum padaku. Aku hanya menatap sendu.
Wajahku tak jelas dengan tangis yang sedari tadi mengalir.
“… Adapun yang ingin bapak sampaikan
adalah, tetaplah berkepribadian yang baik, berusaha sekuat tenaga, …
Dan bapak bangga sekali tahun ini, salah
satu siswa kita meraih nilai yang sangat baik saat ujian nasional, nilai yang
sangat memuaskan, sangat membanggakan.. Dan saking bangganya bapak, serta
guru-guru, kami memutuskan menjahili siswa tersebut. Dia adalah Rima Asya
dinyatakan lulus dengan nilai rata-rata 9.0!!”
Riuh menggema satu sekolahan, tepuk
tangan ramai bak dengungan lebah, namaku dielu-elu kan. Aku yang antara sadar
dan tidak hanya menatap bingung. Tidak percaya.
“Selamat yah ri!” Kata mereka. Aku di
peluk, air mata ku mengalir. Dan aku sadar ini semua berkat karunia ALLAH
semata. Aku bersujud di tanah. Astaga, ini lelucon yang mengharukan dalam
hidupku.
Terima kasih kepala sekolah.
Terima kasih guru-guru.
Dan terima kasih sahabat-sahabatku
tercinta.
Kami semua tenggelam dalam euforia
kelulusan.
Semarak sepanjang jalan, meramaikan. Dan
tentu saja aku bahagia menyerahkan tiket beasiswa pada orangtuaku.
Anak perempuannya ini, berhasil bersinar
di antara bintang-bintang.
Cerpen yang berjudul "Mimpi" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Sri Yanti.
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Mimpi | Sri Yanti"