Cerpen Persahabatan - Di antara Nada-Nada Dan Spektrum Warna | Tiara Amanda
Diantara nada-nada dan spektrum warna - Tiara Amanda
KakaKiky - Gelap. Hitam pekat. Tiada warna, tiada cahaya. Itulah pemandangan yang selalu menemaniku di setiap hari. Memang tidak mudah terlahir sebagai tuna netra, terbiasa dengan kegelapan yang mencekam, tanpa celah bagi cahaya untuk masuk. Aku benci keadaanku ini. Aku benci terlahir seperti ini. Ada banyak hal yang ingin kulakukan, banyak hal yang ingin kucoba, tetapi kekuranganku ini selalu menghambatku, selalu menghalangiku dari mencapai apa yang ingin kucapai.
Sembari mengehela napas panjang, aku
melanjutkan perjalananku menyusuri lorong. Aku telah menghapal setiap belok dan
likuk sekolahku itu, sehingga aku tidak lagi membutuhkan siapapun untuk
memanduku di dalam lingkungan sekolah.
Aku mengulurkan tanganku ke samping,
merasakan dinginnya permukaan jendela yang berada pada kiriku. Langkahku
melambat.
Sunyi senyap. Aku tidak tahu pasti jam
menunjukkan pukul berapa saat itu, tapi aku yakin matahari sudah terbenam.
Kehangatan sinar mentari yang biasa kurasakan berdiri di samping jendela
tersebut sudah lama memudar.
Kegelapan. Gelaplah yang kulihat. Dingin
pula yang kurasa. Aku benci perasaan ini.
Ini benar-benar tidak adil. Anak-anak
lain seumuranku dapat melakukan berbagai hal yang mereka sukai. Mereka dapat
melakukan apa saja yang mereka inginkan. Aku? Berjalan dari rumah ke sekolah
saja aku masih harus ditemani ibuku.
Kekosongan yang amat hebat sering kali
menghantam dadaku. Kekosongan yang muncul akibat kekuranganku ini. Sering
terlintas dalam benakku, perubahan macam apa yang dapat terjadi pada hidupku
jikalau aku dianugerahi pengelihatan? Akankah aku menjalani keihdupan yang
benar-benar berbeda dari yang sedang kujalani sekarang? Dapatkah aku hidup
seperti anak-anak lainnya seumuranku? Akankah aku menjadi lebih bahagia?
Aku berhenti berjalan, menarik napas
panjang dan berdiri mematung untuk waktu yang lama. Saat itulah aku sadar bahwa
langkah kaki dan napasku bukan satu-satunya suara yang mengisi kesunyian lorong
tersebut. Aku menajamkan pendengaranku. Mereka berkata, ketika seseorang
memiliki kelemahan dalam salah satu inderanya, inderanya yang lain otomatis
akan bekerja lebih tajam. Mungkin pernyataan tersebut benar, karena
pendengaranku memang jauh lebih tajam dan jelas dibandingkan pendengaran orang-orang
lain di sekitarku.
Melodi yang indah memenuhi gendang
telingaku, samar tapi jelas. Suara piano seketika meredam kesunyian yang hampir
menelanku hidup-hidup. Nada yang dimainkan energetik dan bergairah, membuatku
melupakan duka dan kegelisahan yang baru saja kurasakan dalam hitungan detik.
Aku menoleh ke belakang, terpancing oleh permainan yang begitu indah dan
menyentuh hati. Lekas, aku memutar tubuhku dan melangkah maju.
Satu-satunya ruangan dengan piano di
sekolah ini hanyalah ruang musik dan naluriku berteriak agar aku segera
bergerak dan menemukan sumber melodi tersebut.
Apa yang akan kulakukan ketika aku
menemukan sumber suara tersebut? Akankah aku mendobrak masuk ruang musik dan
memperkenalkan diri kepada sang maestro yang bermain sebegitu indahnya? Atau
akankah aku menunggu di depan ruangan dan mendengarkan permainannya diam-diam
seperti seorang penguntit yang memiliki terlalu banyak waktu untuk dibuang?
Kedua ide terdengar sangat buruk di benakku.
Kupercepat langkahku, menggunakan tangan
kirku untuk menelusuri dinding di sebelahku sebagai satu-satunya pemandu yang
dapat mengantarkanku ke ruang musik. Nada-nada piano terdengar semakin vibran
dan jelas di setiap langkah yang kuambil.
Aku berhenti ketika nada-nada tersebut
terdengar begitu nyaring di telingaku. Tanganku meraba permukaan pintu yang
mengarah kepada sumber melodi tersebut. Ketika kukira lagu telah berakhir,
jari-jari sang pianis kembali menari-nari di atas tuts piano, mengeluarkan
suara-suara indah yang memikat. Aku terpaku, mulut menganga takjub.
Sang pianis memainkan lagu yang berbeda,
lagu yang terdengar begitu melankolis dan indah di telingaku. Dibandingkan lagu
yang pertama, lagu ini jauh lebih lembut dan lambat. Aku dapat merasakan
hatinya, merasakan perasaannya yang begitu lembut dan halus di setiap nada yang
ia mainkan. Permianannya memberikan kesan bahwa ia sedang mencurahkan seluruh
hatinya dalam lagu yang ia mainkan. Kututup mataku perlahan, sebuah gerakan yang
tentunya tidak akan mengubah apapun.
Dari kecil, aku selalu menyukai musik,
terutama musik klasik. Musik adalah satu-satunya hal yang dapat kunikmati sepenuhnya
tanpa pengelihatanpun.
Seketika, kegelapan yang seharusnya
terasa akrab di mataku berubah menjadi sesuatu yang begitu asing. Lantunan
melodi yang memenuhi telingaku begitu vibran, begitu berwarna. Jika kuberkata
bahwa aku telah menemukan definisi warna dalam setiap melodi yang mengalun di
lagu ini, tidak akan ada yang percaya. Tetapi itulah yang kurasa, itulah yang
kulihat. Lagu ini berbeda dari lagu-lagu lainnya yang pernah kudengar. Semua
aspek dalam lagu ini dimainkan dengan begitu tulusnya, begitu indahnya. Lagu
tersebut diakhiri dengan indah, mengundang kembali kesunyian.
Kubuka mataku. Kegelapan kembali
menyambutku, kegelapan yang kutahu tidak akan pernah meninggalkanku, ditemani
oleh sunyi yang membawa sesak. Kekecewaan melanda ketika suara piano yang
tadinya membanjiri lorong kembali ditelan kesenyapan.
“Hei.” Sebuah suara memanggil dari dalam
ruangan. Aku membeku, jantung berdegup keras. “Aku udah lihat kamu, jadi kamu
gak perlu sembunyi-sembunyi lagi.” Suara tersebut mengulang, dalam dan serak.
Aku mematung di depan pintu, terkejut.
“Masuk aja.” Ujar suara itu, dingin.
Bingung, aku memutar kenop pintu di hadapanku dan melangkah masuk ke ruangan
tersebut. Aku berdiri dengan canggung, membelakangi pintu. Entah mengapa aku
memilih untuk mengikuti perkataan suara tersebut dengan patuh. Kesunyian
memenuhi ruangan, membuatku mengira akulah satu-satunya orang di ruangan
tersebut.
“Gimana?” Suara tersebut berkata, lebih
lembut kali ini.
“Gimana apanya?” Tanyaku bingung.
“Gimana permainan pianoku?” Suaranya
dalam dan terdengar begitu jelas di telingaku. Pertanyaan tersebut mengejutkanku.
Aku membuka mulutku untuk menjawab, namun tidak ada sepatah katapun yang dapat
kulontarkan. Tak kutemukan satu katapun yang dapat mendeskripsikan permainannya
yang begitu indah.
“Sebagus itukah permainanku? Sampai kamu
tidak dapat berkata-kata?” Suara tersebut tiba-tiba terdengar ringan, dan aku
bisa membayangkan senyum yang merekah di bibir pemilik suara tersebut. Ia
benar-benar membacaku. Aku mengangguk, degup jantungku melambat. Suara tersebut
tertawa, tawa hangat yang memenuhi ruangan seketika. “Atau kamu terkejut
seorang cowok seperti aku bisa main piano seperti itu?” Candanya lagi. Aku
menggeleng. Suara tersebut diam untuk sementara, aku mendengar langkah kaki dan
suara piano menutup.
“Kamu sudah selesai main?” Tanyaku
canggung, kekecewaan terdengar dalam suaraku.
“Ini sudah jam berapa? Kamu mau aku
tetap di sekolah sampai malam? Aku mau pulang.” Ujarnya datar. Aku membisu,
canggung. Aku tetap berdiri seperti patung di dekat pintu, merasakan langkah
kaki yang ringan mendekatiku.
“Aku main setiap hari kok. Jadi kalau
kamu mau, kamu bisa datang lagi besok. Mungkin aku bisa mengajarimu cara
bermain pula.” Ia berkata, mengejutkanku. Aku dapat merasakannya berdiri di
hadapanku. Ini pertama kalinya seseorang menawarkan diri untuk mengajarkanku
cara bermain alat musik. Tawaran seperti ini tidak pernah kujumpai sebelumnya.
Siapa sih yang mau mengambil tanggung jawab untuk mengajarkan seroang tuna
netra bermain piano? Aku terkesiap.
“Aku tidak keberatan kok.” Suara
tersebut meyakinkanku dengan hangat.
Aku mencoba untuk mengarahkan
pandanganku menuju sumber suara tersebut. Di saat itu juga, aku memutuskan
bahwa aku menyukai pemilik suara tersebut.
“Bagaimana?” Ulangnya. Aku tersenyum
dengan lebar, sebelum menganggukkan kepalaku dengan antusias. Aku akan melakukan
apa saja untuk mendengar permainannya sekali lagi. Ia tertawa kecil, sebelum
menepuk pundakku dan berjalan melewatiku, keluar dari ruang musik dan
meninggalkanku sendiri.
Perasaanku bercampur aduk, sebuah efek
samping dari pertemuanku dengan sang pianis tadi dan permainan pianonya yang
luar biasa. Aku bergerak menuju grand piano yang bertengger di tengah ruangan,
meraba-raba sekitarku. Aku membuka tutup piano dan duduk di atas kursi di
hadapannya. Perasaan ini begitu asing bagiku, yang tidak pernah menyentuh alat
musik apapun seumur hidup. Tidak sedikit orang yang memberitahuku untuk tidak
membuang-buang waktuku dengan bermain alat musik. Mereka tidak pernah
memberitahuku mengapa, tetapi aku dapat menerka alasannya.
Kekuranganku ini memang sering kali
menghambatku dalam mencoba hal-hal baru dan melakukan hal-hal yang anak-anak
lain seumuranku dapat lakukan. Pemikiran seperti inilah yang juga meyakinkanku
bahwa aku tidak mampu melakukan apa-apa akibat kekuranganku.
Aku meletakkan tasku di lantai dan
mengulurkan tanganku untuk menekan nada di atas piano.
Rasa malu dan gugup membanjiriku, tetapi
apa salahnya memainkan beberapa nada secara asal-asalan? Toh, sudah tidak ada
orang di sekolah. Aku memencet nada, satu persatu, mendengarkan suara yang
dikeluarkan dengan penuh perasaan. Lalu pikiranku kembali ke pemuda yang
kutemui barusan, bagaimana permainan pianonya menunjukkan perasaan yang paling
dalam, membuatku merasa seperti aku telah lama mengenalnya. Bagaimana
permainannya menunjukkan berbagai spektrum warna untuk muncul dalam mata
benakku yang hanya mengenal kegelapan.
Aku menelan ludah.
Aku ingin bermain sepertinya. Aku ingin
mengutarakan perasaanku, mengutarakan isi hatiku melalui nada-nada yang
kumainkan. Aku ingin membuat orang-orang di sekitarku melihat warna-warna asing
yang tidak pernah mereka lihat sebelummnya. Jari-jariku menari lebih cepat di
atas piano, berusaha keras untuk melahirkan kembali nada-nada yang kudengar.
Dunia di sekitarku meluas dengan setiap nada yang kumainkan.
Aku mencoba untuk mengingat nada-nada
yang sang pianis mainkan, dari nada tinggi yang energetik dan penuh gairah,
sampai dengan nada rendah yang lembut dan melankolis. Aku mencoba setiap nada
di piano dan menyamakannya dengan apa yang kudengar barusan. Benakku dipenuhi
dengan perkataan orang-orang lain di sekitarku yang semua mengatakan hal yang
sama. Semua secara tidak langsung mengatakan bahwa aku tidak mampu. Bahwa
kekuranganku ini menghambat perkembanganku. Bahwa aku tidak dapat melakukan
apa-apa.
Nada-nada yang kumainkan berantakan,
jauh dari cara sang pianis bermain. Namun aku tidak peduli. Kumainkan terus
bagian-bagian yang meninggalkan kesan terdalam dalam hatiku. Ini kali pertama
aku menyentuh sebuah piano, tetapi nada-nada yang kukeluarkan tidak seburuk
yang kukira.
Tiba-tiba, pintu ruang musik terbuka,
mengeluarkan suara nyaring yang mengagetkanku. Serentak, aku mengangkat kedua
tanganku dari atas piano dan menoleh ke belakang, menajamkan pendengaranku.
Entah siapa yang memasuki ruangan, tetapi orang tersebut langsung berjalan
menuju tempatku terduduk dengan langkah yang lebar dan yakin.
“Kamu.” Aku langsung mengenal suara
tersebut, suara lelaki yang baru saja menyentuh hatiku melalui permainan
pianonya. Ia kembali, entah untuk apa.
“Ya?” Aku menggagap, mendadak kembali
gugup. Apakah ia mendengarkan permainan pianoku barusan? Jika iya, habis sudah
diriku. Aku menunduk, berusaha untuk menyembunyikan wajahku.
“Kamu yang barusan main?” Tanyanya.
Suaranya yang tadinya santai dan tenang, membuatnya terdengar sangat percaya
diri, berubah total. “Kamu kan yang barusan main?” Desaknya lagi, suaranya
diwarnai keterkejutan. Aku mengangguk perlahan.
“Aku hanya ingin mencoba bermain sepertimu.”
Aku berkata pelan, entah mengapa merasa seperti seorang anak yang sedang
dihukum atau diceramahi.
“Ini bukan pertama kalinya kamu bermain
piano kan?” Pertanyaannya mulai tidak masuk akal.
“Iya, ini pertama kalinya aku menyentuh
sebuah piano.” Aku menjawab, mengakhiri jawabanku dengan tawa canggung.
“Memangnya kenapa?” Separah itukah permainanku? Ia tidak mengeluarkan
sedikitpun suara untuk sepersekian detik, membuatku bertanya-tanya apakah dia
sudah pergi.
“Kok kamu bisa langsung bermain seperti
itu?“ Ia terdengar terkesima, pujiannya membuatku merasa jauh lebih baik.
“Aku hanya mengulang kembali permainanmu
barusan dalam kepalaku. Lalu aku coba untuk mainkan di atas piano.” Jelasku,
mencoba untuk tidak terdengar sombong. Apakah hal seperti ini jarang terjadi?
Aku memang mempunyai pendengaran yang tajam dan ingatan yang baik.
“Kamu benar-benar berbakat!” Ujarnya
tiba-tiba. Membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk mencerna kata-katanya,
membisu dengan mulut menganga. Permainan asal-asalan barusan itu sebuah bakat
di matanya? Atau mungkin ia hanya ingin menyanjungku saja? Mungkin ia merasa
iba dan mengasihaniku yang mencoba begitu keras untuk bermain sepertinya?
Mungkin karena raut wajahku saat itu
menunjukkan ketidak-percayaan yang begitu hebat, sang pianis kembali
melanjutkan kata-katanya.
“Aku tidak bohong. Kamu itu jenius ya?
Aku membutuhkan lebih dari setahun untuk menyempurnakan lagu itu dan kamu hanya
membutuhkan beberapa menit setelah mendengarkan lagu tersebut untuk
memainkannya!” Ia berseru. Aku dapat merasakan kekagumannya yang tulus dari
caranya berbicara, membuat jantungku berdegup lebih kencang.
“Terima kasih. Tapi permainanku tadi…
Memangnya sebagus itu? Perasaan masih sangat kacau dan berantakan.” Ujarku
ragu. Pendengaranku yang setajam pendengaran anjing dapat membedakan seberapa
besar perbedaan antara permainan kami berdua. Bagaikan langit dan bumi.
“Yah, levelnya masih jauh sih dari
permainanku…” Ia berkata, nada suaranya penuh canda. Kami tertawa ringan
sebelum ia melanjutkan. “Tapi kan aku memang sudah dilatih bermain piano selama
bertahun-tahun. Kamu! Kamu baru mendengar sekali saja sudah tahu nada-nada
utama yang dimainkan! Bagaimana kau melakukannya?” Pujinya sekali lagi. Aku
hanya tersenyum kecil.
“Aku tadi mencoba-coba semua nada yang
ada di piano. Lalu aku ingat-ingat kembali beberapa bagian dari permainanmu
tadi dan mencoba untuk memainkan nada yang pas untuk mengulang lagu tadi.” Aku
mendengar suara nyaring tepuk tangan lelaki di hadapanku.
“Kamu jenius!” Suara tersebut
menggelegar. Dari caranya berbicara, caranya mengutarakan kekagumannya padaku,
aku dapat menyimpulkan bahwa dia sangat serius dalam mendalami musik, dan bahwa
yang kulakukan barusan bukanlah sesuatu yang biasa. “Jika kamu belajar dengan
seorang profesional, bayangkan apa yang bisa kamu lakukan!” Mendengarnya, aku
seketika menggeleng-gelengkan kepalaku, tidak setuju.
“Lho? Mengapa tidak?” Tanyanya bingung.
Aku terdiam, mencoba untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab
pertanyaan sederhananya. Kesunyian yang memekakan telinga mengisi udara.
“Aku buta.” Ujarku dengan bodohnya, rasa
malu dan benci yang ditujukan kepada diriku sendiri mulai muncul satu persatu.
Tentu saja ia mengetahui bahwa aku buta. Aku baru saja membuat situasi ini
lebih canggung dan tidak nyaman bagi kami berdua dengan dua kata tersebut. Aku
kira pemilik suara itu akan meminta maaf, atau mulai menunjukkan rasa iba
terhadap kondisiku yang menyedihkan ini. Aku salah.
“Apa kaitannya?” Tantang suara itu
dengan lancang. Aku tidak dapat menemukan suaraku. “Jawab aku. Apa kaitannya?”
Aku membuka mulut untuk menjawab, namun menutupnya lagi, berpikir keras. Apa
kaitannya? Pertanyaan tersebut membuatku merasa lebih bodoh. Ini sungguh hari
yang panjang dan melelahkan.
“Aku buta. Mana bisa aku bermain piano
seperti kalian semua yang memiliki pengelihatan?” Jawabku, tiba-tiba kesal.
Kesal terhadap apa, aku tidak tahu. Aku benci fakta bahwa jauh di dalam hatiku,
aku ingin bermain piano. Aku ingin menciptakan nada-nada yang melebur menjadi
suatu melodi yang dapat menyentuh hati banyak orang. Terlebih lagi, aku ingin
jatuh cinta dengan musik itu sendiri. Tetapi bagian diriku yang lebih dominan
selalu berkata “Tidak. Kamu tidak bisa.”
“Justru itu! Kamu mungkin tidak bisa
bermain piano seperti kita yang bisa melihat. Tapi itulah yang membuatmu
spesial!” Ia terdengar sama frustrasinya denganku. “Kamu bisa main dengan
gayamu sendiri. Gaya yang berbeda dari kebanyakan orang di luar sana. Aku sudah
mendengar caramu bermain barusan dan kamu itu benar-benar berbakat.”
“Tapi, akan sangat sulit bagiku untuk
bermain piano. Aku tidak bisa melihat nada-nadanya. Aku bahkan tidak tahu
seperti apa bentuk sebuah piano!” Bantahku.
“Kamu tidak harus melihat sebuah piano
untuk memainkannya. Ada banyak pianis buta di luar sana yang bisa bermain piano
berpuluh kali lipat lebih baik dibandingkan mereka yang bisa melihat. Apa yang
membuatmu merasa kamu tidak bisa?” Kata-katanya menumbuhkan rasa percaya diri
di dalam diriku.
“Menurutmu aku bisa?” Tanyaku, setengah
tidak yakin. Belum pernah aku menemui seseorang yang begitu yakin akan
kemampuanku. Belum lagi ia baru saja mengenalku.
“Ya kalau aku pikir kamu tidak bisa,
buat apa aku lari kembali ke ruang musik setelah memutuskan untuk pulang?”
Tanyanya. Tanpa melihat raut wajahnya, aku bisa menduga bahwa ia sedang
tersenyum. Tanpa kusadari, menjadi sulit bagiku untuk menahan senyuman di
bibirku.
“Jangan biarkan kekuranganmu membatasi
potensimu yang sesungguhnya.” Kata-katanya kuresapi satu persatu, membangun
rasa percaya diri dan keberanian di dalam diriku. “Kamu memiliki bakat yang tidak
semua orang miliki. Kamu harus yakin dengan kemampuanmu!” Mendengar hal itu,
aku tidak bisa menyembunyikan rasa bangga yang tiba-tiba muncul dalam diriku,
aku merasa aku bisa melakukan apa saja.
“Bagaimana? Maukah kamu coba bermain?”
Ia bertanya sekali lagi, sekarang lebih serius.
Aku menoleh ke arahnya, senyuman lebar
merekah di bibirku.
Tak kusangka, satu pertemuan dapat
mengubah segalanya dalam hidupku.
Cerpen yang berjudul "Di antara nada-nada dan spektrum warna" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Tiara Amanda.
Posting Komentar untuk "Cerpen Persahabatan - Di antara Nada-Nada Dan Spektrum Warna | Tiara Amanda"