Cerpen Misteri - Kereta Hantu Dari BlackWood | G Deandra W
Kereta hantu dari blackwood - G Deandra W
KakaKiky - Jika bukan karena pekerjaannya, maka Rachel tidak perlu menghabiskan waktu tujuh hari untuk berdiam di sebuah kota kecil di tengah antah berantah itu.
Blackwood.
Ya. Siapapun yang mendengar nama kota
itu akan bergidik ngeri, dikarenakan sejarah dan julukan yang diberikan pada
kota tua di sebelah selatan Sherland itu.
Blackwood sudah dikenal sebagai rumah
dari berbagai hal spiritual yang tak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Telah
banyak kejadian yang terekam, kematian-kematian ganjil, dan hal-hal aneh lain
yang terus saja mengundang rasa penasaran penduduk dari kota lain. Rachel
adalah salah satunya.
Rachel adalah seorang penulis untuk
sebuah majalah misteri di kotanya, Arcadia, dan kali ini ia ditugaskan untuk
menulis kejadian-kejadian aneh yang ada di Blackwood. Tidak mudah.
Rachel sudah tak dapat menghitung lagi
berapa banyak tetua yang ia wawancara di kota kecil itu. Namun satu dari mereka
tidak pernah ada yang mengatakan sesuatu yang rasional. Semuanya diambang
imajinasi dan takhayul.
Bagaimana dengan ia sendiri? Apakah
Rachel sudah mengalami hal-hal aneh selama ia tinggal tujuh hari di Blackwood.
Jawabannya, tidak. Ia bukanlah wanita penakut. Dan ia sudah bersiap seandainya
ada hal-hal gaib yang terjadi di sekitarnya. Namun selama tujuh hari, ia tidak
mendapatkan apapun.
Di hari terakhirnya, Rachel menyimpulkan
bahwa memang ada begitu banyak misteri yang melingkupi Blackwood. Ada yang
terjelaskan, ada pula yang tidak. Semuanya cerita yang berkembang di Blackwood
berakar pada kehidupan masyarakat Blackwood di masa lampau. Ritual-ritual aneh,
adanya ajaran sesat di kota itu, dan hal-hal lain yang kadang tidak bisa
dijelaskan dengan kata-kata.
Rachel telah mendapatkan cerita yang ia
inginkan, meski rasa tidak begitu memuaskan. Tapi ia lega bahwasanya ia akan
sgera meninggalkan kota yang selalu terlihat suram itu. Matahari memang
bersinar. Namun seolah kehidupan di kota ini terselimuti oleh sesuatu hal.
Sesuatu yang jahat dan diluar nalar.
“Kau yakin tidak ingin tinggal lebih
lama?” tanya seorang pria, pemilik penginapan, pada Rachel yang mengembalikan
kunci.
“Kurasa tidak.” Jawab Rachel.
“Sebenarnya…, masih ada banyak hal yang
ingin kulihat. Tapi jadwal pekerjaanku mengharuskanku kembali hari Senin.”
“Aku mengerti.” Balas pria di balik meja
reception sambil tersenyum.
“Terimakasih atas segala bantuanmu
selama aku disini, Jeff.” Ucap Rachel.
“Tanpa panduanmu, aku buta dengan tempat
ini.”
“Ada banyak cerita aneh jika kau mau
tinggal lebih lama.” Balas Jeff sambil tertawa kecil. “Oh! Atau kau kini sudah
mulai ketakutan?”
“Aku banyak mendapat cerita yang
menarik.” Jawab Rachel. “Kau tahu? Aku besar di kota besar, dimana pengetahuan
tentang hal-hal gaib masih dalam skala minim. Dengan kata lain, aku tidak
terlalu menaruh kepercayaan pada hal-hal seperti itu. Aku menuliskannya, hanya
untuk mengisi lembaran kosong di edisi misteri bulan depan.”
“Bersiaplah, Rachel.” Ucap Jeff.
“Mereka mengawasinya.”
Rachel hanya dapat tertawa mendengar
ucapan Jeff yang terkahir, yang menurutnya terlalu dibuat dramatis. Jeff pun
tak bisa menahan tawa atas leluconnya sendiri.
“Jika suatu saat kau kembali…” ucap Jeff
sebelum Rachel pergi. “Mungkin aku bisa lebih banyak membantu.”
“Terima kasih.” Rachel memberikan satu
senyum terakhirnya, lalu melangkah pergi dari motel kecil itu.
Hari sudah mulai senja saat Rachel
keluar dari motel. Ia menghentikan satu taksi, dan meminta sang supir untuk
mengantarkannya ke Blackwood Station, dimana ia akan naik kereta untuk pulang.
Ya. Kereta. Seandainya saja ia bawa
mobil, mungkin ia tidak harus menaiki kereta tua itu. Blackwood, selain terkenal
dengan cerita misterinya, juga terkenal dengan satu-satunya kota yang masih
mengoperasikan kereta uap dari jalam lampau.
Tapi kereta itu malah menjadi daya tarik
tersendiri bagi turis yang tidak pernah naik kereta uap. Itu pula yang Rachel
ingin rasakan. Ia harus menolak tawaran jemputan oleh kawannya, karena ia ingin
naik kereta itu.
Taksi yang ia tumpangi membawanya sampai
ke depan stasiun tua itu. Stasiun Blackwood, berdasarkan cerita yang ia dengar,
telah berdiri sejak akhir abad 19. Dahulu stasiun ini hanya digunakan oleh para
pedagang untuk mengantarkan barang-barang dagangan mereka dari kota ini, menuju
Caden, sebuah kota di timur Blackwood. Kereta tua itu menjadi kereta komersil saat
perang dunia dua berakhir.
Sekitar tahun 1950, kereta uap sempat
berhenti beroperasi. Namun kembali dijalankan saat ulang tahun kota Blackwood
lima tahun kemudian. Hingga detik ini, kereta itu masih terlihal begitu kokoh.
Dengan gerak santai dan tak
terburu-buru, Rachel masuk ke peron stasiun yang tidak begitu banyak dipadati
para calon penumpang. Kedua matanya langsung melihat begitu banyak hal yang
menunjukkan usia sebenarnya dari stasiun itu.
Rel selusur tangan yang ada di peron
terlihat sudah berkarat dan tak terurus, meski bagian lain dari stasiun
terlihat bersih. Bangunan stasiunnya sendiri pun sudah terlihat begitu tua
dengan cat putih kusam, dengan bekas tambalan disana-sini.
Kereta yang akan menjadi alat
transportasinya nampak di depan mata. Lokomotif hitam yang mengepulkan asap
dari cerobongnya itu terlihat seperti monster dari jaman batu. Besar, kokoh,
dan terlihat begitu menantang.
Lokomotif itu memiliki empat bauh
gerbang di belakangnya. Yang anehnya, terlihat lebih baru dari usia
lokomotifnya.
“Memang baru.” Ucap salah seorang pria
tua yang duduk di samping Rachel saat
Rachel menanyakan tentang usia
gerbong-gerbong itu.
“Kenapa dengan gerbong yang lama?” tanya
Rachel. “Rusak? Seharusnya mereka tetap menggunakan…”
“Ya. Rusak.” Jawab pria tua itu.
“Mungkin itu kata yang tepat untuk
menggambarkan apa yang terjadi. Atau seseorang terlalu pintar memutar cerita
mengenai apa yang terjadi.”
“Apa masksud Anda?”
“Tragedi, nak. Tragedi.”
Rachel, untuk sesaat, merasakan rasa
dingin sedingin es mengalir uturn di tulang belakangnya. Sebuah perasaan aneh,
yang membuat bulu kuduknya meremang terjadi. Tapi Rachel tidak tahu apa
penyebabnya. Apakah karena ucapan pria tua itu?
“Tragedi?” Rachel mencoba untuk mengorek
keterangan lebih lanjut. Namun ia mendapat tatapan serius dari pria tua itu.
“Tragedi, tentang apa?”
“Bukan sesuatu yang perlu kuceritakan,
kurasa.”
“Tapi Anda yang memulainya.
“Maafkan aku!” ucap pria tua itu seraya
bangkit dari tempat duduknya. “Kurasa aku sudah terlalu banyak bicara. Tidak
seharusnya aku…, lupakan saja, oke?”
“Tapi…”
Sia-sia saja Rachel memaksa. Pria tua
itu benar-benar tidak mau membuka mulutnya atas apa yang terjadi. Atas
‘Tragedi’ yang ia sebutkan tadi. Ada apa sebenarnya dibalik kereta uap tua itu?
Adakah cerita lain yang tabu untuk dibicarakan?
Rachel melirik jam tangannya, yang
menunjukkan bahwa masih ada jeda sekitar satu jam sebelum keretanya berangkat.
Masih ada waktu untuk berkeliaran di peron, menemui seseorang yang mungkin mau
bercerita mengenai legenda kereta tua itu.
“Tragedi? Benarkah?” seorang pemuda yang
Rachel tanyai sepertinya tidak tahu banyak mengenai kereta tua itu. Bahkan,
meski pemuda itu sudah berkali-kali naik kertea tua itu, ia belum tahu bahwa
ada sebuah cerita terpendam yang dirahasiakan.
“Aku tidak tahu banyak. Mungkin kau bisa
tanya orang lain?
Rachel memutuskan untuk makan di sebuah
kedai. Disaat kesempatan datang, ia mencoba bertanya lagi mengenai legenda
kereta tua itu pada sang pemilik kedai. Tapi seperti yang telah ia duga,
“Aku tidak tahu.” Ucap sang pemilik
kedai. Seorang wanita tambun dengan wajah maskulin, potongan rambut pendek, dan
sepertinya bukan tipe wanita yang enak untuk diajak bicara. Rachel memutuskan
untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Hari sudah benar-benar gelap begitu ia
keluar dari kedai. Stasiun tua itu kini sepenuhnya telah diselimuti dengan
kegelapan. Anehnya, disaat yang bersamaan, kabut mulai muncul di sekitar area
itu. Yang membuat barisan pepohonan yang ada di hutan sekitar stasiun menjadi
tidak terlihat, kabur dan tak jelas.
Rachel merasakan sebuah aura tak
menyenangkan saat ia melihat sekelompok orang berdiri tegak tak bergerak di
depan salah satu gerbong. Seolah mereka tengah mengantre untuk naik, meski
kereta belum mau berangkat.
Anehnya, kerumunan orang-orang itu
saling diam dan tak membuat gerakan sama sekali. Terlihat seperti sekumpulan
patung semen yang sengaja dijejer disana.
Rachel duduk kembali di bangku peron. Ia
lirik jam tangannya, dan ia sadari bahwa keretanya akan segera berangkat.
Pukul 8.15 adalah waktu keberangkatan
kereta itu, yang akan membawanya ke Caden. Dan dari sana nanti ia akan naik bus
menuju Arcadia. Rumahnya.
Rachel tengah menenggak isi botol
minumannya saat tiba-tiba saja ada sesuatu yang menyentuh lehernya dari arah
samping. Sesuatu yang terasa bbegiu dingin, sedingin es. Seketika ia putar
kepalanya, namun ia tidak menemukan siapapun berdiri di belakangnya.
Ia berharap Jeff akan muncul dengan tawa
konyolnya. Ia berharap Jeff akan mengatakan, ‘Maaf mengangetkanmu!’.
Tapi nyatanya, tidak ada siapapun yang
berdiri di belakangnya. Yang ia lihat hanyalah segerombolan orang-orang yang
keluar masuk stasiun, tanpa ada yang aneh kecuali sederet orang yang berdiri
kaku di depan gerbong itu. Lalu benda apa yang menyentuh lehernya tadi?
Rachel bergidik, menghempaskan pikiran
konyol dari kepalanya. Ia katakan pada dirinya sendiri, bahwa tidak ada yang
perlu ditakutkan. Mungkin pikirannya menjadi sedikit kacau karena selama tujuh
hari terkahir ia selalu mendengar cerita-cerita mistis. Mungkin ia mulai
terpengaruh. Namun ia tetap katakan pada dirinya sendiri, bahwa ada penjelasan
untuk setiap hal yang dianggap abnormal. Dan ia yakini akan hal itu.
Peluit berbunyi beberapa detik kemudian,
menandakan bahwa kereta itu akan segera berangkat. Rachel segera mengangkut
tasnya, dan bergerak ke arah gerbong keempat. Ia sadari sedetik kemudian bahwa
segerombolan orang yang berdiri kaku tadi sudah tidak ada lagi. Mungkin mereka
sudah naik ke dalam gerbong?
Rachel disambut oleh seorang petugas dalam
seragam berwarna biru saat naik ke gerbong. Pria itu kemudian mengantar Rachel
masuk ke dalam kompartemen yang berada di bagian tengah gerbong. Tidak ada yang
aneh dengan kompartemen itu, selain satu fakta bahwa kompartemennya terlihat
begitu tua, begitu klasik, dan remang.
Petugas dalam seragam biru itu segera
meninggalkan Rachel begitu Rachel duduk.
Apa ada yang aneh dengan kereta yang ia
tumpangi? Rachel tersenyum, menertawai kekhawatirannya itu. Kenapa ia kini
selalu berpikir negatif? Apakah karena ucapan pria tua tadi mengenai sebuah
tragedi itu?
Selalu ada sebuah cerita. Itu yang
Rachel katakan pada dirinya sendiri. Kereta tua yang ia tumpangi ini mungkin
memiliki cerita yang unik, mistik, mengerikan, namun tidak akan menghilangkan
kenyataan bahwa inilah kereta yang akan membawanya pulang.
Tidak ada yang perlu ia takuti.
Dengan hentakan yang cukup terasa,
kereta tua itu akhirnya berjalan. Perlahan, meninggalkan stasiun Blackwood yang
mulai tenggelam oleh kabut kelabu. Rachel menyandarkan kepalanya pada sandaran
kursi, dan tiba-tiba saja merasakan sebuah rasa kantuk yang luar biasa. Mungkin
ia kelelahan karena selama seharian tadi ia tidak pernah berhenti mengotari Blackwood
untuk mencari cerita.
Rachel menguap, lalu memasang earphone
pada kedua telinganya untuk mendengarkan musik dari mp3 playernya. Dengan lagu
mengalun pelan, Rachel pun seperti dibuai ke dalam alam mimpi. Perlahan, ia pun
jatuh ke dalam alam tidurnya.
—
Sebuah guncangan pada kereta
membangunkan Rachel. Rachel membuka kedua matanya, dan menemukan dirinya sudah
berada dalam kegelapan total. Lampu di kompartemennya padam. Dan satu-satunya
cahaya adalah cahaya keperakan dari bulan yang bersinar di luar.
Earphone mp3 playernya telah jatuh entah
kemana. Rachel menegakkan posisi tubuhnya, dan mulai mereka-reka dimana
sebenarnya kereta itu berada. Apakah ia sudah sampai dekat dengan Caden?
Tidak.
Caden adalah sebuah kawasan pertanian.
Namun ketika Rachel melihat keluar kereta melalui jendela, yang dapat ia lihat
hanyalah sederet pepohonan yang berlarian cepat melewati gerbongnya. Kereta itu
mungkin sedang dalam tengah perjalanan menuju Caden.
Rachel merasakan hawa dingin yang tidak
biasa. Aneh, mengingat kereta yang ia tumpangi adalah sebuah kereta lama dimana
tidak ada satu pun pendingin udara. Kemampuan otak Rachel untuk berpikir
mengatakan bahwa mungkin angin masuk dari arah luar kereta melalui sebuah celah.
Hawa dingin bukanlah satu-satunya hal
yang mengganggu ketenangan wanita itu. Tapi juga dengan kegelapan yang terjadi
di kereta itu. Bukan berarti ia takut dengan gelap. Hanya saja ia merasa aneh dengan
lampu kereta yang padam.
Ia bangkit dari tempat duduknya dan
membuka pintu kompartemen yang menghubungkan ruangannya dengan lorong gerbong.
Lagi-lagi, memang aneh. Keadaan begitu gelap dan tak normal. Apakah kereta tua
itu memang selalu mematikan lampu ketika sudah berjalan?
Rachel memutuskan untuk keluar dari
kompartemennya dan bergerak di sepanjang lorong gerbong. Ternyata semakin jauh
ia melangkah, hal-hal janggal lainnya pun ia temukan.
Ternyata yang menempati gerbong keempat
hanya ia seorang. Komparteman-kompartemen yang ia lewati sama sekali tak
berpenghuni. Oh! Itukah sebabnya gerbong miliknya berada dalam kegelapan?
Mungkin petugas tidak sadar bahwa ada penumpang di gerbong itu dan mematikan
lampunya?
Rachel sepertinya setuju dengan
pemikiran tersebut. Ia berniat untuk memberi tahu petugas yang mungkin ada di
gerbong lain untuk menyalakan kembali lampu di kompartemennya.
Rachel bergerak melewati sekat di antara
gerbong, lalu masuk ke gerbong tiga. Keadaan di gerbong itu ternyata sama
dengan gerbong miliknya. Gelap, dan sepi. Hanya suara mesin dan derak roda
kereta yang ia dengar. Sama sekali tidak ada aktivitas yang terjadi. Kenapa?
Langkah Rachel tiba-tiba saja terhenti
saat telinganya menangkap sebuah suara yang aneh keluar dari kegelapan. Seperti
suara geraman rendah, yang berasal dari salah satu kompartemen. Apa yang
terjadi? Mungkin ada sesorang yang membutuhkan pertolongan?
Rachel mengikuti arah suara geraman,
atau rintih kesakitan itu. Berasal dari sebuah kompartemen di ujung koridor.
Pintu kompartemen itu terbuka, dan memperlihatkan seorang pria tengah duduk
sambil membungkuk. Suara geraman, dan rintih itu terus keluar dari arah pria
itu. Rachel yang merasa khawatir bergerak mendekat.
“Permisi, Tuan?” ucap Rachel. Ia tidak
mendapatkan jawaban dari pria itu.
Tubuh pria itu berguncang kedepan dan
kebelakang, seolah tengah menahan rasa sakit.
“Tuan, Anda baik-baik saja?”
“Pergi…”
“Maaf?”
Rachel tersentak kaget saat wajah pria
itu menoleh ke arahnya. Sebuah wajah yang pucat pasi, dengan dua mata memerah
seperti baru menangis menatapnya. Mulut pria itu bergerak lambat, mengeluarkan
kata yang sama setiap kalinya.
“Pergi…, pergi…”
“Anda sakit?” tanya Rachel lagi. Ia
semakin khawatir, dan disaat yang bersamaan merasa takut. Keanehan yang terjadi
pada pria itu benar-benar tidak normal.
“Aku akan memanggil petugas, oke?” ucap
Rachel.
Rachel bergerak pergi sambil bergidik.
Ia tidak tahu apa yang tengah terjadi pada pria itu, namun ia yakin bahwa pria
itu sedang tidak sehat. Rachel bergerak maju ke gerbong dua, dimana keadaannya
tidak berbeda jauh dengan gerbong-gerbong yang sudah ia lewati.
“Halo!” teriak Rachel. Suaranya menggema
di sepanjang koridor, tanpa ada balasan.
“Permisi! Ada seseorang? Aku butuh
pertolongan!”
Keanehan-keanehan yang tidak wajar itu
mulai membuat Rachel berpikir bahwa memang ada yang tidak beres. Tapi apa?
Selain kegelapan dan tidak adanya orang, apa lagi yang bisa terjadi?
Rachel melonjak kaget saat ia bergerak
melewati sebeuah kompartemen yang terbuka. Di dalam kompartemen itu terdepat
beberapa orang yang berdiri, kaku, seperti yang pernah ia lihat di peron
stasiun.
Keempat orang yang ada di dalam
kompartemen itu terlihat sama persis dengan sebuah patung. Berdiri tak
bergerak, pucat, dan sama sekali tidak berbicara. Rachel tahu bahwa mereka
bukan orang-orang biasa. Dan anehnya, pakaian yang dikenakan oleh orang-orang
itu seperti bukan dari jamannya berada saat itu.
Rachel nyaris berteriak histeris saat
keempat orang itu memutar kepala mereka ke arahnya. Wajah yang pucat pasi,
dengan mata memerah, dan mereka berucap dalam waktu yang bersaman,
“Pergi…”
Rachel kini benar-benar kehilangan
kepercayaan dirinya. Ia merasa terlalu takut untuk dapat berpikir normal. Ia
berlari di sepanajng koridor, melewati kompartemen-kompartemen yang terbuka
dengan orang-orang yang pucat pasi di dalamnya dengan kata-kata yang sama.
“Pergi…, pergi…”
Rachel terus berlari. Gerbong dua, lalu
gerbong pertama. Sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya petugas di kedua
gerbang itu.
“Seseorang!” teriaknya. “Tolong,
kumohon!”
Rachel berteriak keras saat suara
geraman dengan kata ‘pergi’ itu terdengar di seisi gerbong yang ia tempati.
Ketakutan mulai merayapi tubuhnya, jantungnya, dan segala yang ia punya.
Tubuhnya bergetar, dengan kedua telapak tangan menutupi telinga.
Suara-suara itu terdengar semakin keras,
semakin jelas, hingga ia tidak tahan lagi. Rachel berteriak meminta tolong
sambil menutup matanya. Namun ketika ia buka kedua matanya, di depannya telah
hadir puluhan wajah pucat pasi dengan mata merah, dengan tajam menatapnya.
—
Rachel berteriak dengan sekuat nafas dan
tenaganya. Namun gumpalan kegelapan itu terus merasuki tubuhnya.
Membelenggunya, hingga ia tidak bisa lagi menggerakkan kedua tangan dan
kakinya. Rachel telah kehilangan kesadarannya.
Secercah cahaya tiba-tiba saja nampak di
kejauhan. Rachel mencoba mendekat, dengan kaki dan tangan terbelenggu, ia
berhasil merangkak. Semakin dekat, dekat, dan terbukalah tabir.
Gumpalan benda berwarna hijau dengan
latar belakang biru hadir di hadapan kedua matanya. Rachel berteriak, dengan
nafas tersengal-sengal. Ia telah sadar. Dinginnya udara di sekitarnya
membangunkan otaknya yang setengah sadar. Dimana dia?
Hutan. Ya. Rachel tidak mungkin salah
akan lokasinya saat itu. Ia berada di tengah hutan yang cukup lebat, dengan pohon-pohon
besar mengelilinginya. Sinar matahari yang berhasil menembus lebatnya dedaunan
menyorot kedua matanya, membuatnya buta untuk sesaat.
Apa yang terjadi?
Rachel tidak mengetahui kebenaran atas
apa yang baru saja menimpa dirinya. Kereta yang ia naiki, kemudian wajah-wajah
menyedihkan, pucat pasi sekaligus mengerikan itu…
Semuanya telah hilang.
Rachel tersentak saat mendegar suara
langkah kaki mendekat. Derap langkah berat yang menembus semak-semak membuatnya
khawatir. Apa yang akan datang kepadanya?
Rachel terdiam kaku saat kedua matanya
bertemu dengan laras sebuah senapan. Dan di balik senapan itu, muncul seorang
pria berjambang dengan kedua mata membelalak melihat ada wanita secantik Rachel
berkeliaran di tengah hutan.
“Kukira kau babi hutan.” Ucap pria itu
seraya menurunkan senapannya.
Perhatian pria itu terpaku pada Rachel.
Rachel, yang tidak terlihat seperti manusia beradab dengan wajah tercoreng
tanah, dan pakaian serba kotor. Rachel sendiri tidak dapat menjelaskan apa yang
tengah terjadi padanya.
“Keretanya…” gumam Rachel dengan nada
bergetar. Jiwanya yang terguncang tidak dapat dikendalikan lagi.
“Keretanya menghilang.”
Sepuluh menit kemudian, Rachel telah
duduk di depan perapian dengan secangkir kopi panas berada di tangannya. Pria
itu membawa Rachel ke pondok perburuannya, dan menawari wanita itu makan. Tapi
Rachel telah kehilangan nafsu makannya.
“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan
disana.” Ucap pria itu. “Dan aku tidak mengerti dengan ucapanmu mengenai kereta
itu.”
“Kereta malam dari Blackwood.” Ucap
Rachel.
“Blackwood?” pria itu mengernyit. Namun
sesaat kemudian ia mengangguk-angguk sambil mendesah. Ia berkata,
“Terjadi lagi.”
Rachel membutuhkan sebuah penjelasan
yang rasioanl atas hal tak rasional yang baru saja ia alami. Apa yang terjadi?
“Kau tidak akan percaya dengan
perkataanku.” Ucap pria itu. “Tapi kereta dari Blackwood tidak jadi berangkat
kemarin malam.”
“Apa?”
“Putriku.” Ucap pria itu lagi. “Dia
bekerja di stasiun itu. Dan ia baru saja meneleponku bahwa ia tidak bisa pulang
karena kereta Blackwood mengalami kerusakan, dan harus menunggu satu hari.”
“Tapi aku baru saja menaikinya.” Ucap
Rachel. Ia menaikkan nada bicaranya, karena tidak ingin dianggap pembohong dan
gila.
“Aku mengerti.”
“Bagaimana mungkin?” tanya Rachel.
“Lalu kereta apa yang aku naiki semalam?
Lalu orang-orang itu…”
“Kini aku mempercayai apa kata orang.”
“Tentang apa?”
“Kereta hantu itu.”
Rachel, yang sudah terbiasa dengan
hal-hal normal dan tidak spiritual, hanya dapat menahan tawanya. Apa yang pria
itu bicarakan?
“Yang kau naiki semalam adalah kereta
hantu.”
“Omong kosong!”
“Kau boleh tidak percaya.” Ucap pria
itu. “Tapi bisakah kau menjelaskan kenapa kau berakhir di tengah hutan?”
Rachel terdiam. Jika saja ucapan pria
itu benar, maka apa yang baru saja ia alami masuk akal. Tapi…, apa kini ia
sudah kehilangan pikiran rasionalnya dan percaya dengan bualan mengenai hantu?
Tapi apa yang baru saja ia alami adalah nyata.
“Kereta Blackwood dari tahun 1940.” Ucap
pria itu. “Perjalanan yang seharusnya membawa para pedagang ke Caden harus
mengalami sebuah kecelakaan yang tragis saat melewati tikungan Baker. Tikungan
itu berada tepat dimana kau bangun tadi. Ada jurang seratus meter dari sana.
Dan kereta itu terjatuh ke dalam jurang puluhan tahun yang lalu. Menewaskan
setidaknya empat puluh orang, termasuk ternak yang mereka bawa.
“Awalnya aku tidak mempercayai saat
orang-orang berkata bahwa arwah dari para penumpang kereta itu masih menghantui
tikungan Baker hingga detik ini. Tapi melihat apa yang baru saja terjadi
padamu, aku mulai bisa mengerti. Kereta itu terjatuh pada hari ini, 20 Oktober,
lebih dari lima puluh tanuh yang lalu. Sudah banyak cerita mengenai kereta
hantu itu. Yang katanya memakan jiwa-jiwa orang yang secara tidak sengaja
menaikinya. Tapi kau beruntung, kau bisa bangun dengan keadaan yang cukup
waras. Orang lain akan gila.”
“Kurasa aku mulai gila.” Ucap Rachel.
“Mempercayai ceritamu seperti ini…”
“Terserah kau berkata apa.” Ucap pria
tua itu. “Tapi itu yang terjadi. Itulah salah satu misteri yang melingkupi
Blackwood sejak ratusan tahun yang lalu.”
Rachel tidak tahu apakah ia harus
percaya atau tidak. Tapi perkataan pria tua itu sepertinya bukanlah kebohongan
semata. Ia masih hidup. Ya. Itu adalah sebuah keberuntungan baginya.
“Kenapa aku?” tanya Rachel. “Dari sekian
banyak calon penumpang di stasiun…”
“Karena kau bukan tipe orang yang mudah
percaya dengan cerita seperti itu, benar bukan?”
Rachel menunduk. Ya. Dan apa yang telah
ia alami menunjukkan bahwa kekuatan spiritual di dunia ini nyata, dan bukan
hanya bualan semata. Ia mulai berpikir bahwa orang-orang yang tidak mau
mengakui adanya kekuatan gaib adalah orang-orang yang sebenarnya takut untuk
menghadapinya. Rachel mengakui bahwa ia adalah salah satu dari orang-orang itu.
Pria itu mengambil kembali senapannya,
lalu bergerak ke arah pintu. Ia memandang sesaat ke arah Rachel sebelum pergi.
“Tunggu aku disini.” Ucapnya. “Aku akan
mengantarkanmu ke kota terdekat.”
Rachel hanya dapat mengangguk. Saat pria
itu pergi, ia rogoh saku celananya, dan menemukan selembar karcis kumal, yang
saat ia periksa dengan teliti, tertulis tanggal 20 Oktober 1940. Rachel hanya
dapat menertawai dirinya sendiri. Ia yang tidak percaya dengan hantu, baru saja
menaiki sebuah kereta hantu.
Lalu bagaimana sekarang? Apakah ia masih
akan menuliskan artikel mengenai misteri Blackwood? Jika begitu, mungkin ia
juga harus menuliskan pengalamannya saat menaiki kereta hantu Blackwood itu.
Cerpen yang berjudul "Kereta Hantu Dari Blackwood" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama G Deandra W.
Posting Komentar untuk "Cerpen Misteri - Kereta Hantu Dari BlackWood | G Deandra W"