Cerpen Persahabatan - Kursi Pojok | Nurul Eka Putri
Kakakiky - Gadis itu. Ia memperhatikan guru dengan serius di pojok belakang. Ia berbeda dari gadis pada umumnya. Tak suka bergosip maupun bergurau. Buku yang sering ia baca, aku bisa memperkirakan tebalnya dua ratus lembar bisa lebih atau kurang, hebatnya, ia bisa menghabiskannya dalam setengah jam, menurut pengamatanku. Tak terlalu cantik, tapi begitu menarik. Jarang tersenyum, atau tidak sama sekali.
Fisika, mata pelajaran kami hari ini.
Cukup memusingkan. Namun ia maju ke depan dan menuliskan jawabannya. Dan ia
benar, selalu benar walau ia baru mempelajarinya. Ada banyak pertanyaan di
benakku, berapa tingkat intelegensinya? Setarakah dengan Enstein? Atau
melampaui?
Pelajaran demi pelajaran telah dilalui.
Gadis itu selalu bisa. Sekarang jam pulang. Aku berhenti di pohon biasa di mana
aku bisa menyendiri dengan alat musikku, gitar.
Nada-nada mulai kupetik. Sampai
pertengahan lagu aku mendengar suara.
“Aku tahu lagu itu, nadanya kurang
tinggi.” Ucapnya.
Aku mendongak. Gadis itu!
“Kau tahu lagu ini?” tanyaku.
“Bukankah aku sudah bilang aku tahu?
Pertanyaan bodoh macam apa itu?” ucapnya sedikit tersinggung.
Aku terdiam, kemudian aku melanjutkan,
“seberapa banyak yang kau tahu tentang gitar?”
“Tidak ada.” Sebuah jawaban mengejutkan
terlontar dari bibirnya.
Aku masih terkejut, lalu tetap
kulanjutkan, “apa itu nada?”
“Aku tidak tahu.” Jawabnya lebih
mengejutkan.
“Kau tahu tinggi rendahnya? Bagaimana
bisa?” tanyaku.
“Aku tidak tahu, hanya saja kurang
tinggi.” Jawabnya.
Gadis gila. Aku makin penasaran saja.
Gitarku kusandarkan di pohon. Ia duduk
di depanku. Aku melanjutkan, “bagaimana bisa?”
“Aku pernah mendengarnya, dan dari nada
yang kau petik, itu kurang tinggi, aku tidak tahu, aku tidak bisa
menjelaskannya.” Jawabnya.
Obrolan bodoh ini semakin menarik, aku
melanjutkan, “semacam bakat?”
“Begitulah.” Jawabnya.
Aku sedikit mencondongkan tubuhku, ia
tak mengubah posisi. Setahuku, itu tanda bahwa ia tak merasa terusik, alias
nyaman.
Kami terdiam cukup lama. Angin semilir
mulai datang. Rambutnya yang tidak terlalu panjang tersibak indah. Wajahnya
cantik jika dari dekat. Keindahan misterius.
Aku memulai, “siapa namamu?”
Ia mengerutkan alisnya, “kau tidak
tahu?”
Aku menggeleng.
Ia menarik napas panjang, “aku juga
tidak tahu namamu.”
Tawaku meledak seketika. Betul-betul
susah ditebak gadis ini. Ia semakin mengerut. Ia bertanya, “apa yang lucu?”
“Jawabanmu itu.” Jawabku.
“Secara logis, kalimat yang tadi itu
tidak lucu.” Jawabnya semakin nyeleneh.
Karena jawaban itu aku semakin tertawa
dan mulai memegangi perutku yang sakit. Saking lucunya aku sampai menitikkan
air mata.
Plak! Ia memukulkan buku di kepalaku.
Aku memegangi kepalaku sedangkan ia mulai tertawa lepas. Benar-benar orang
gila.
“Kenapa kau tertawa di atas
penderitaanku sih?!” seruku protes.
“Kau malah tertawa di atas
kebingunganku.” Jawabnya dengan mengejutkan.
Kami terdiam. Kemudian tawa kami
meledak. Aku bisa memperkirakan bahwa setiap orang yang lewat akan menganggap
kami gila.
Kami berhenti sejenak karena lelah
tertawa. Wajahnya yang semula kaku, sekarang jauh lebih rileks.
“Oh ya. Bagaimana rasanya duduk di
depan?” tanyanya.
“Maksudmu?” tanyaku bingung.
“Apa enaknya?”
“Kau bisa melihat tulisan lebih jelas,
dan bisa mendengarkan guru lebih baik.”
Ia mengangguk.
Aku bertanya, “lalu apa enaknya di
belakang.”
“Aku bisa tidur nyenyak.”
“Tidur?”
“Itu kebiasaanku, saat pelajaran, aku
muak dengan segala keramaian, daripada aku mengganggu, lebih baik tidur.”
Aku membetulkan posisi dudukku,
“bagaimana kau tidur di tengah keributan?”
“Yah, terjadi begitu saja, aku hanya
bangun saat guru memanggil.”
“Dan jawabanmu selalu benar, itu aneh.”
“Aku les privat di rumah.”
“Menarik dan aneh.”
“Tidak aneh, guruku selalu mengajari
hal-hal yang belum diajarkan di sekolah.”
“Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak
pernah terlihat bergaul?” tanyaku.
“Aku tidak bisa bergurau, aku punya
usaha keluarga, dan aku dituntut untuk serius, untuk itulah aku selalu terlihat
kaku.”
“Maksudku, kita remaja, kita harus
bergaul, oh ya, apa usaha keluargamu?”
“Sebuah perusahaan.”
“Jadi kau ini konglomerat?”
“Lebih dari itu, perusahaanku
menghasilkan sesuatu yang lebih dari konglomerat.”
Aku berdiri, lalu kuambil gitarku. Aku
menawarkan tanganku, ia memegangnya untuk berdiri.
“Kita ngobrol sambil jalan saja.”
“Oke.” Ia setuju.
Kami mulai langkah demi langkah.
Ia memulai, “pendapatmu itu sama artinya
dengan Aristoteles yang mengatakan zoon politicon, manusia adalah mahkluk
sosial.”
“Apa ia yang pernah mengatakan Eurika!
Sambil berlari?” tanyaku.
Ia tertawa geli, “itu Archimides.”
“Ups.”
Tolol sekali aku.
“Kau pernah pacaran?” tanyanya.
Kata terlarang untuk seorang yang tidak
punya pacar, atau jomblo sepertiku. Aku menggeleng.
“Aku pernah.”
“Berapa kali?” tanyaku penasaran.
“Sekali, pertama dan yang terakhir, aku
diputuskan karena terlalu kaku.”
Aku menjawab jahil, “militer adalah
dunia paling kaku, tidak pernah mencoba pacaran dengan seorang jendral?”
Ia memukul kepalaku. Lagi-lagi aku
mengaduh sakit. Ini yang kedua.
Ia berhenti, kemudian ia memandang
langit. Mendung.
“Sebaiknya kita berteduh.” Ucapnya.
Kami berjalan menuju pos kamling.
Sepanjang perjalanan ia hanya diam. Jika orang lain, pasti ia akan bosan jika
berjalan dengan gadis ini. Tapi tidak denganku. Bagiku itu menarik.
“Kau tidak bosan?” tanyanya setelah
sampai.
“Bosan bagaimana?”
Ia bersendekap sambil bersandar, lalu
menjawab, “maksudku, aku jarang bicara, tidakkah kau bosan?”
Aku memandangnya, “tidak, justru aku
akan mudah bosan jika terlalu sering bergurau, menurutku semua kalimatmu itu
berbobot, tidak ada unsur gosipnya.”
“Semua gadis suka bergosip, aku tidak,
dan menurutmu itu aneh atau tidak?”
“Tidak. Dan bagaimana menurutmu aku
ini?”
“Wartawan dadakan.”
Tawaku meledak. Sepertinya aku banyak
tanya. Seperti wartawan, wartawan dadakan. Aku berhenti untuk mengambil napas,
lalu aku melanjutkan, “sudah kubilang, kalimatmu selalu berbobot.”
Ia mengambil ponselnya dan memainkannya.
Aku melirik, ia sedang melihat waktu.
“Sudah jam tiga.” Katanya.
“Tiga?” tanyaku memastikan.
“Iya.” Jawabnya.
Hujan makin lebat saja. Udara semakin
dingin. Jam terakhir kami adalah olahraga. Aku heran, bagaimana bisa jam ini
dilakukan di siang terik tadi. Kami masih memakai celana olahraga. Dan itu
cukup menghangatkan kaki kami, namun lengan pendek yang kami gunakan tidak
mampu menahan suhu dingin.
“Dingin?” tanyaku memulai.
“Kalau kau bisa merasakannya, kenapa
harus tanya?” ia menjawab pedas sekali.
Aku berpikir beberapa saat untuk
menjawabnya, kemudian aku menjawab, “aku hanya ingin tahu bagaimana yang kau
rasakan.”
“Ya, dingin.” Jawabnya.
Kami terdiam cukup lama. Hujan semakin
lebat. Tetesan air hujan mulai memasuki teritori kami. Kami makin tersungkur ke
dalam. Di sini hanya kami berdua. Berdua saja. Maksudku ini aneh, ya, aku tidak
pernah berdua dengan lawan jenisku, apalagi di tempat seperti ini.
Aku teringat akan coklat yang aku beli
di kantin siang tadi dan belum sempat masuk ke perut. Aku membuka bungkusnya
dan membagi dua batangnya.
“Apa ini?” tanyanya.
“Coklat, belum sempat kumakan.”
Bibirnya terangkat sedikit, sedikit
sekali, “terimakasih.”
Aku mengangguk. Rasa laparku berkurang,
cacing-cacing perutku menghentikan konsernya sejenak. Aku melihat caranya
makan, betul-betul seperti konglomerat. Alisnya bertautan, kerutan di dahinya
menandakan ia berpikir keras.
“Siapa namaku? Kau tanya begitu kan?” ia
memulai.
Pertanyaan yang belum terjawab. Aku
mengiyakan.
“Sukma Dewi.” Jawabnya.
“Pertanyaan itu, kenapa baru menjawabnya
sekarang?” tanyaku.
“Entahlah.” Jawabnya sambil memandang
tetesan hujan.
“Jadi kau setuju kupanggil Sukma atau
Dewi?”
“Made.” Jawabnya.
“Ha?!” aku terkejut, lalu kulanjutkan,
“dari mana asal namamu yang satu itu?”
“Aku selalu berpikir, Made itu nama
unik, dan itu adalah singkatan namaku, Ma adalah suku kata sukMa, dan De adalah
suku kata Dewi.” Jelasnya panjang lebar.
Suasana makin rileks saja. Gadis yang
aneh. Aku masih tidak percaya aku bisa tertarik dengannya. Hujan hampir reda.
“Bagaimana jika kita pergi saja dari
tempat ini?” ia menawarkan.
“Gerimis, nekat nih?” tanyaku
memastikan.
“Ayo!”
“Tidak!”
Ia menarikku dengan kasar. Dan kami,
seperti di film-film India, kami berlari di bawah hujan gerimis. Suatu rasa
tersendiri, romansa super bodoh dengan gadis yang baru aku tahu namanya lima menit
lalu. Entah bagaimana nasib gitarku yang kutinggal di pos kamling.
“Bagaimana? Seru?” tanyanya.
“Seharusnya kita balapan tadi!” seruku
lebih bodoh.
“Ayo kita ulang! Siapa yang lebih dulu
sampai di jembatan ya..”
Aku berlari duluan. Dari belakang aku mendengar
teriakannya, “curaangg!!”
Ia berlari mengikutiku. Romansa film
India terulang lagi. Aku sampai duluan. Ia sampai setelahku.
“Aku belum selesai bicara.” Ujarnya.
“Ya sudah, lanjutkan.” Jawabku.
“Siapa yang sampai duluan harus push up
lima kali!” serunya.
“Hei! Apa-apaan itu?”
“Kau curang, dan dengan ini kita impas.”
Skak mat! Aku tidak mampu mengeluarkan
kata-kata lagi. Sekali lagi ia menang. Aku menurutinya. Dan setelah selesai,
kami memandang sungai.
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu
dengan temanku sebelum pindah sekolah besok.” Ujarnya memulai.
Aku menoleh dengan ekspresi terkejut.
Maksudnya ini pembicaraan pertama dan terakhir kami?
“Jadi kita berteman?” tanyanya.
“Teman? Kenapa tidak sahabat saja?”
Raut wajahnya terlihat bahagia sekali,
lalu ia menjawab, “sungguh? Aku punya sahabat?”
“Kau tidak memiliki sahabat?” tanyaku.
Ia menggeleng. Padahal ia asyik sekali,
kenapa ia sendirian?
“Dari pertama masuk sekolah, semua gadis
nampak biasa saja, tapi tidak denganmu, kau berbeda, tidak, tapi istimewa.” Aku
nyaris tidak percaya yang aku katakan.
“Istimewa? Yang kutahu, itu sesuatu yang
tidak dimiliki orang lain kan?”
“Ya, dan sesuatu itu adalah dirimu
sendiri.”
“Apa istimewanya aku?”
“Kau istimewa dari sisi manapun, kau
mungkin tidak cantik, tapi kau lebih dari cantik, sesuatu yang tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata.”
Kami terdiam. Sekali lagi aku tak
percaya apa yang kukatakan.
“Kau juga istimewa.” Ucapnya.
“Aku?” tanyaku terkejut.
“Kita semua istimewa, manusia itu unik,
mereka tidak berbeda tapi istimewa satu sama lain.”
“Sudah kubilang, kalimatmu itu selalu
berbobot.”
Kami melihat sungai dari atas jembatan
sambil sesekali bercanda. Dan pembicaraan ini, aku, sepertinya aku tidak bisa
memberi kesan pertama yang baik. Kami ngobrol sehari lalu tidak lagi. Ini hanya
sekali.
“Kesan seperti apa yang kau inginkan?”
tanyaku.
“Kesan bahagia, dan aku mendapatkannya.”
“Lalu, kenapa kau memilihku untuk
menciptakan kesan itu?”
“Aku.. aku hanya, yah, melihatmu
menciptakan kesan bahagia pada semua orang, menurutku itu cukup.”
Ia mengulurkan tangan mungilnya, “aku
Made, siapa namamu?”
“Namaku Jagad Meru Sigit, biasa
dipanggil JAMES.” Jawabku.
“James? Dari mana tuh?” tanyanya.
“JA dari Jagat, ME dari Meru, dan S dari
Sigit, hehehehe, aku menirumu Made.” Ucapku jahil.
“Terlalu luar negeri.”
“Yang penting keren.”
“Namaku Made, Made itu selalu keliling
dunia, lihatlah, ada Made in U.S.A., Made in China, Made in Indonesia, kan
keliling dunia, dan Made ada dimana-mana.”
Tawa kami lagi-lagi meledak seketika.
Sungguh menarik.
“Oh ya James, selalu rindukan aku,
sahabat barumu ini.” Ujarnya.
“Oke Made.” Jawabku sambil tersenyum.
James? Nama yang bagus. Made? Nama yang
unik.
Kami tertawa cukup lama. Kemudian
berhentilah mobil sedan di samping kami. Lalu Made mandekat ke mobil itu. Dari
dalam keluarlah seorang pria, air mukanya sama dengan Made.
“Sukma! Dari mana saja kau? Ayah lelah
mencarimu, ayah sampai melapor polisi, tak tahunya kamu di sini?” ia langsung
marah. Kemudian ia melihatku, “siapa dia?”
“Dia James, sahabat baruku.” Jawab Made.
“I.iya pak, maaf saya telah mengajaknya
main tanpa seijin anda.” Jawabku agak takut.
Kemudian ayahnya tersenyum, “boleh main,
asal jangan kesorean, dan jangan jauh-jauh.”
“Iya Ayah.” Jawab Made.
“Tapi, James? Terlalu keren untuk orang
Indonesia.” Ujar ayah Made.
“Emmm.. nama pemberian orangtua saya.”
Jawabku sedikit ngibul.
Ayah Made memandang langit, “waktunya
pulang.” Kemudian ia masuk mobil bersama Made.
“Sampai jumpa James.” Ujarnya.
“Sampai jumpa.” Jawabku.
Kemudian mobil melaju dengan pelan.
Sampai jumpa, bukan selamat tinggal. Berarti ia percaya dapat berjumpa lagi
denganku, suatu hari nanti. Percakapan ini, walau sebentar aku mengenalnya, aku
merasa dekat dengannya. Made, sahabat baruku.
Senin pagi. Aku duduk di tempat biasa.
Aku memandang kursi pojok itu, tidak ada Made di sana. Kosong. Kosong seperti
hatiku. Gadis itu, Made. Dan aku, James. Aku merasa ini seperti akhir dunia.
“Kita kedatangan murid baru, ayo
perkenalkan dirimu.” Ujar Bu Ani.
Ia seorang pemuda jangkung dan berkulit
agak gelap. Ia memperkenalkan diri, “perkenalkan, nama saya Made Kusuma, saya
campuran Jawa-Bali, makanya nama saya begitu, saya harap teman-teman senang
dengan kehadiran saya.”
Made! Made yang lain. Ia duduk di tempat
biasa ia duduk. Kursi pojok itu. Tempat itu adalah milik Made. Dan sekarang ada
Made yang lain. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Benar kata Made, Made
ada dimana-mana. Mungkinkah suatu hari nanti aku bertemu gadis itu? Apa ia juga
bertemu orang yang bernama James di tempat lain? James yang lain. Tak sabar
kubercerita padanya, bahwa aku bertemu seseorang yang bernama sama sepertinya,
Made.
Cerpen yang berjudul "Kursi Pojok" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Nurul Eka Putri.
Posting Komentar untuk "Cerpen Persahabatan - Kursi Pojok | Nurul Eka Putri"