Cerpen Misteri - Mata Abu-abu | Puspita Sandra Dewi
KakaKiky - Nama
anak laki-laki itu, Bianka. Setiap pagi ia selalu berdiri sejenak di depan
pintu gerbang sekolah.Mata Abu-Abu - P Sandra D
Menatapi setiap anak dari kumpulan
komunitas putih abu-abu. Setiap anak yang memiliki titik hitam di atas
kepalanya. Mata kelabunya menerawang, menerobos masuk pada sebuah gambaran.
Kematian. Ah! Kasihan mereka.
“Selamat jalan.” Ucap Bianka pelan
kepada setiap putih abu-abu yang memiliki setitik hitam di atas kepalanya.
Nama Bianka sangat populer di sekolah
itu. Beberapa menganggapnya sangat spesial. Beberapa menganggapnya paranoid.
Beberapa lagi menganggapnya anak kutukan, karena mata kelabunya yang terlihat
mati. Wajahnya dingin seperti matanya. Tanpa ekspresi, tanpa jiwa.
Popularitasnya dimulai ketika itu. 16
Mei 2010. Bianka sedang duduk di kantin dengan Gilang, sohibnya, bersama anak
laki-laki lain yang sepantaran dengannya. Kepala sekolah baru saja lewat tak
jauh di depan mereka.
“Sebaiknya kalian menyiapkan bunga duka
untuk kepala sekolah. Besok. Jam 2 siang.” ucap Bianka dengan bibir tertarik
membentuk senyum aneh yang menakutkan.
“Gila apa, lu! Siang bolong gini, bicara
lu horor gitu!” seru Gilang menganggap perkataan Bianka hanya sepintas lelucon.
“Mata lu unik, ya! Gue pingin punya mata
kayak lu!” cetus seorang di antara mereka.
“Gue sebaliknya.” ucap Bianka, dingin.
Menggemparkan. Menakutkan. Mereka yang
siang itu berada bersama dengan Bianka, begidik saat Bianka lewat di depan
mereka. 17 Mei, jam 2 siang. Berita duka sekaligus isu mengerikan beredar
dengan cepat di setiap pelosok kelas. Kepala sekolah baru saja meninggal.
Dibunuh. Mulai saat itu, Bianka memperoleh banyak julukan. Sang Penglihat.
Paranormal. Malaikat Maut. Pembawa sial. Kematian.
Kisah, anak laki-laki bernama Bianka
Anak laki-laki itu meringkuk di sudut
kamarnya. Suara tangis pilu berbumbu duka menerobos pintu kamarnya. Aromanya
perih menusuk mata. Memekik di telinga. Rasa-rasanya baru tadi pagi ia bersenda
gurau dengan ibu. Sampai ketika matanya melihat sesuatu muncul di atas kepala
ibu. Setitik hitam. Ia melihati titik itu. Udara seakan berkurang. Menyesakkan.
Ia melihat gambaran. Rancangan maut.
Ah! Itu hanya ilusi mata yang diciptakan
oleh otak. Mungkin ini efek samping begadang nonton bola semalaman. Sampai
akhirnya berita kematian ibu sampai di telinga Bianka. Kecelakaan maut yang
terjadi di jalan raya merengut kehidupan ibunya.
Ia masih meringkuk di sudut ruangan itu.
Menyalahkan diri atas kejadian itu. Tubuhnya mati rasa. Kakinya lemas untuk
beranjak dari sana. Ia tak mampu keluar dari kamar itu dan menyaksikan tubuh
ibu yang terbaring di dalam peti peristirahatan terakhir.
Bianka membenci dongeng dan mitos. Ia
selalu menolak didongengi oleh nenek dan kakek. Baginya dongeng adalah racun
yang dapat merusak otak dan mental. Karbondioksida yang meracuni tubuh.
Menjadikan anak seorang penghayal. Baginya, mitos hanyalah sebuah kumpulan
kisah dan cerita yang ditambahi bumbu-bumbu kebohongan untuk memperenak
rasanya. Fiksi. Non-fakta. Non-realita.
Tapi, dongeng dan mitos seperti nutrisi
tambahan dalam hidup. Kenyataannya, realita kehidupan kerap kali dikelilingi
dengan bebauan fiksi.
Malam itu, untuk pertama kalinya Bianka
meminta ayah mendongeng. Ia sedikit menyesal dengan dakwaannya terhadap dongeng
dan mitos. Saat ini ia malah tenggelam dan terbenan dalam kisah non-realita,
Sungai Banyuwangi.
Matanya mulai sayu. Dongeng ayah membuainya
untuk tidur. Untuk pertama kali ia merasakan kecup hangat ayah di dahinya. Ayah
menjauh dari tepi ranjang. Ah! Apa itu?! Setitik hitam. Persetan! Saat ini
Bianka hanya ingin tertidur. Melebur dengan kisah Sungai Banyuwangi dalam
rajutan mimpi. Samar-samar terlihat tarikan kecil di sudut bibir ayah. Sebuah
senyuman. Dan pintu ditutup.
Tak menangis. Tak histeris. Tak juga
bergeming. Bianka hanya berdiri terpaku memandang sesosok tubuh membiru
tergantung di langit-langit kamar mandi. Ayah sudah lelah. Ia memilih untuk
mengistirahatkan diri selamanya. Pensiun dari segala hal yang menyangkut
kehidupan.
Bianka menoleh pada cermin di sana.
Manik mata cokelat itu kini berubah menjadi abu-abu. Hawa mengerikan meruak
keluar dari manik mata itu. Ruangan serasa menyempit. Suplai udara berkurang.
Mata Bianka terpejam. Jatuh. Tidak sadarkan diri.
Kenyataan diungkap. Ia kini seorang
diri, ditemani mata aneh itu. Mata yang menjadi saksi bahwa kematian dapat
dilihat.
Kematian
Anak itu berlari. Menabrak bahu Bianka
tanpa menoleh. Hanya terus berlari. Mata Bianka mengikuti lesat lari anak
laki-laki itu. Seorang anak yang dibalut dalam jahitan putih abu-abu. Sama
dengannya. Dari arah yang sama, Bianka melihat Gilang berlari dan segera
merangkul bahunya. Ia terengah-engah.
“Lu memang sohib gue yang paling setia!
Gue terharu banget! Meskipun lu aneh, tapi hanya lu yang niat benget nungguin
gue tiap pagi di depan gerbang!”
“Tinggi banget PD lu!” ucap Bianka
dengan senyum setengah.
“Ayo!”
Selalu. Setiap pagi. Setiap hari. Banyak
pasang mata yang melempari Bianka dengan tatapan aneh plus najis. Beberapa dari
mereka membentuk kerumunan, merangkai obrolan terbaru dan terhangat yang
lengkap dengan fitnah sebagai penyedap rasanya. Bianka objek topiknya. Ia sudah
membiasakan diri dengan hal itu. Tak lagi terusik. Tak lagi peduli.
Hati. Jiwa. Perasaan. Simpati dan
empati. Semuanya sudah lama mati dari diri Bianka. Anugrah mengerikan itu
menenggelamkan jiwanya dalam samudra terdalam dan tergelap. Kematian, memang
adalah nama yang tepat untuk menggambarkan dirinya.
Tak sekali pun Bianka pernah merasa iba
melihat mereka yang ditemani si titik hitam. Ah, sudah biasa! Lagipula, itu
adalah takdir mereka. Bianka tidak mau ikut campur dengan urusan kematian.
Menjauhkan diri dari gambaran pahlawan siang bolong yang menghadang maut
mengeksekusi manusia. Paling-paling ia hanya tersenyum. Senyum manis yang
mengerikan. Mengucapkan kata perpisahan. Tak lama, orang itu akan terhapus dari
daftar absen kehidupan.
Tidur panjang
Aneh. Untuk kedua kalinya anak itu
menubruk Bianka. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Bianka sampai
terhempas. Seperti sebelumnya, anak itu tidak menoleh. Ia melesat bagai tiupan
angin. Menghilang di tikungan pertigaan. Bianka mengumpat. Ingin sekali ia
mengejar orang itu. Menyemburkan amukan protes. Tapi, sudahlah. Hanya tinggal
menunggu waktu, sampai akhirnya si titik hitam muncul di atas kepala orang itu.
Ajal.
Bianka menapaki tepi jalan. Selalu
memandang ke bawah. Tidak mau melihat jejalan manusia yang hilir lalu di sana.
Menghindari si titik hitam. Entah kenapa terlintas pertanyaan aneh di
kepalanya; apakah si titik hitam juga akan muncul di atas kepalanya. Kapan.
Seperti apa dewa maut merajut ajalnya.
Lelah. Bianka muak dan ingin melepaskan
diri dari kungkungan mata mengerikan itu. Berapa banyak design kematian yang ia
lihat dengan mata itu, tidak terhitung.
Suatu malam, Bianka duduk di pojok
sebuah angkutan umum. Memandangi kerlip lampu hias jalanan. Terhanyut di
dalamnya. Indah. Membawanya pada memori masa silam. Ia duduk manis di bangku
tengah kendaraan roda empat ayah. Ayah dan ibu menyanyikan senandung lagu
klasik, favorit mereka berdua.
Angkutan itu berhenti di perempatan
ketika lampu merah menyala. Hey! Anak laki-laki putih abu-abu. Berjalan
menunduk. Terlihat hampa dan kosong. Bianka tidak dapat melihat wajahnya dengan
jelas. Apa itu?! Mengapa si titik hitam melayang di atas kepalanya. Rancangan
maut. Kasihan. Cepat sekali. Sebentar lagi.
Tergugah. Bianka ingin melihat wajah
anak itu. Mengucapkan salam perkenalan sekaligus perpisahan. Ia keluar dari
angkutan. Mengikuti jejak anak laki-laki itu dengan langkah cepat. Aneh. Apakah
anak itu tahu, Bianka mengikutinya. Mengapa ia mempercepat langkahnya. Membuat
Bianka tertinggal jauh di belakang.
“Hei! Tunggu!” Teriak Bianka memanggil
anak laki-laki itu. Tidak ada respon. Anak itu terus berjalan ke depan tanpa
menoleh. Siapa anak itu. Bianka ingin segera mendapatkannya. Melihat wajahnya.
Memeluknya sejenak.
Ah, tidak lama lagi.
Si hijau menyala. Sesuatu datang dengan
cepat. Hantaman besar terjadi. Tubuh Bianka terhempas ke bahu jalan. Darah
merah segar mengalir. Tak lama orang-orang berkerumun di sekitar Bianka.
Suara-suara ngeri dan histeris menggema.
Sebentar lagi..
Si putih abu-abu menoleh. Bianka mencoba
melihat wajah itu. Berbayang-bayang. Terlihat samar-samar. Jelas, sekilas. Anak
itu tersenyum. Senyumnya manis. Bianka mencoba mengenalinya. Tidak asing. Ya,
tidak asing. Bianka.
Bibirnya bergerak. Mengucapkan sesuatu.
“Selamat tidur panjang, Bianka.”
Cerpen yang berjudul "Mata Abu-Abu" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Puspita Sandra Dewi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Misteri - Mata Abu-abu | Puspita Sandra Dewi"