Cerpen Cinta - Pelangi Di Mata Senja | Ratna Juwita
KakaKiky - ‘Senja itu apa sih kak?’ ‘Senja itu lembayung.. langit indah dikala sore, tatanan surya kala memasuki belahan lain bumi. Senja itu indah.. seperti dirimu…’
“Senja.. Seenjaaa!!” aku tersentak kaget
mendengar teriakan itu. Tepat di telingaku. Aku menoleh dan melotot ke arah Ridwan
yang menatapku jengkel.
“Apa sih?! Jangan teriak-teriak
kenapa?!” pintaku kesal. Temanku yang satu ini memang sangat menyebalkan!
Selalu saja berteriak-teriak di telinga orang seperti macan yang kelaparan.
Yang dibentak malah nyengir kuda, lalu
dia duduk di sebelahku. “Maaf-maaf! Jangan marah gitu dong! Aku kan hanya mau
membicarakan sebuah berita baru! Lagipula, kamu juga, sih kerjaannya ngelamun
mulu!” katanya dengan mata berbinar, seolah penuh dengan penyesalan yang diapit
kemunafikan!
“Berita apa?” tanyaku tanpa minat.
“Ada anak baru! Masuk kelas ini!”
matanya bersinar menatapku.
Aku menghembuskan nafas, “Dia cewek?” tebakku
tanpa memandangnya.
“He-em!” dia mengangguk cepat.
“Cantik?” tebakku lagi
“Ya!”
“Putih?”
“Siipp!!”
“Rambutnya panjang?”
“Oke!”
“Matanya indah?”
“Banget!”
“Bodinya…” kata-kataku menggantung.
Tidak mau meneruskanya.
“Keren dan.. Emmhh!” aku membekap
mulutnya dengan cepat, sebelum dia mengatakan kata-kata yang tidak ingin
kudengar.
“Kalau itu, mah.. tipe cewek idamanmu,
bodoh!” aku meliriknya lalu mengambil buku dari dalam tasku dengan menggunakan
tangan kananku.
Aku tidak tertarik dengan pembicaraan
ini. Sedikitpun tidak. Ini memuakkan. Aku terbayang pada kakakku lagi, ia
meninggal setahun lalu padahal ialah pengganti ibuku karena bahkan aku tak
pernah memanggil seorang pun di dunia ini dengan panggilan ‘ibu’. Orang bernama
‘ibu’ itu sudah tiada bahkan ketika aku baru bisa membuat gaduh rumah dengan tangisanku.
“Anak-anak! Ayo diam!” tiba-tiba, guru
agamaku telah berdiri di depan kelas. Di sampingnya, berdiri seorang cewek
putih, berambut panjang dan entah aku bisa mengatakan bahwa matanya itu indah
atau tidak.
“Mmff.. mmff!” aku baru menyadari bahwa
tanganku masih berada di mulut Ridwan. Dia melotot ke arahku dengan muka merah.
“Oh.. sorry! gak nyadar!” aku langsung melepas
tanganku dari mulutnya.
”Eh.. dia cantik, kan?” dia melirik ke
arah gadis di depan kelas, haluannya berubah.
“Jangan memandangku seperti itu! Jijik
tau!” aku tersenyum mengejek padanya.
“Ayo, silahkan perkenalkan dirimu!” kata
Bu Erni kepada gadis itu. Yang disuruh melangkah malu-malu ke depan.
“Nama saya..” dia berhenti sejenak dan
memandang berleliling. Entah ini hanya perasaanku atau dia memang melihatku
lebih lama daripada yang lainnya?, “Nama saya Pelangi!”
DEG!! Jantungku berdetak jauh lebih
cepat dari biasanya. Aku menunduk tak percaya. Aku tau dia mengatakan hal lain
lagi, tapi aku tidak mendengarnya. Antara sadar dan tidak, telingaku seperti
dibuat tuli olehnya. Sesak. Dadaku terasa sangat sesak!
Memoriku mulai berulah. Kepalaku pening.
Bayangan masa lalu tentang kakak mulai merangkak masuk lewat kilasan hitam di
depan mataku. Semakin lama, tergambar jelas sosok kakak yang sangat kusayangi.
Kakakku Pelangi. Sedetik kemudian, cerebellum-ku memprotes keseimbangan
tubuhku.
‘Kakak, akan baik-baik saja..’ kata
kakak pelan, menenggelamkanku pada mata teduhnya.
‘Kakak berjanji?’ tanyaku terisak. Aku
menggenggam tangannya. Dia tersenyum lemah.
‘Kakak.. boleh aku tanya sesuatu?’ aku
menatap matanya.
‘Apa?’ Balasnya.
‘Senja itu apa sih, kak?’ matanya
menerawang.
“Senja!! Senjaa!!”
“Ngh..” aku mendesah pelan dan mencoba
untuk membuka mataku yang terasa berat. Aku menatap lurus ke arah Ridwan yang
memandangku dengan cemas.
Seminggu sudah sejak kejadian itu. Aku
duduk termenung di sudut taman. Jujur saja, sejak kejadian itu aku trauma
bertemu dengannya. Aku juga tidak tau apa yang telah terjadi padaku.
Walau terlihat tanpa alasan yang jelas,
tetap saja aku gelisah tiap kali melihatnya. Semakin hari, ia semakin
mengingatkanku pada kakakku. Menyebalkan! Ah.. Aku mengacak-acak rambutku dan
menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Senja!” sapanya sembari tersenyum. Aku
mendongak dan memutar bola mataku, bersiap untuk pergi dari tempat ini.
“Eh, tunggu jangan pergi! Aku
mengganggumu ya?”
“Sangat!” jawabku cepat.
“Maaf ya! Kenapa sih, kau sepertinya tidak
menyukaiku?”
“Aku bukan salah satu laki-laki di
sekolah ini yang memujamu!” jawabku ketus.
“Oh ya? Aku tidak merasa seperti itu!”
ucapnya pelan.
Aku menghembuskan nafas.
“Senja..” ia memanggil ragu. ”Aku tau kau
tidak menyukaiku karena namaku, kan?” dia menatapku sedih.
“Lupakan! Pasti Ridwan yang telah
memberitahukanmu kan? Sudahlah! Malas aku disini bersamamu!” aku berjalan
menjauh darinya dengan langkah cepat.
Bel pulang sekolah berdentang dengan
keras. Aku sedang marahan dengan Ridwan. Jadi, ia tidak duduk di sebelahku
sekarang. Tentu saja semua ini karena gadis itu.
Aku berjalan keluar kelas, namun
lagi-lagi langkahku terhenti. Memang, ini karena gadis itu tapi, kali ini lain
perkaranya karena kulihat dia sedang diseret oleh 3 orang siswi yang selalu
menyebut diri mereka itu cantik dan selalu membuatku muntah dengan gaya mereka
yang menurutku norak! Sekarang, apa yang sedang mereka rencanakan dengan membawa
gadis itu bersama mereka?
Ah, sejak kapan aku menjadi begitu
peduli pada gadis itu? Itu bukan urusanku! Tapi, kakiku sama sekali tidak bisa
kuajak untuk menjauh dari sini. Sesenti pun aku tak mampu berpindah dari
tempatku berdiri, sedangkan mataku terus memotret gerakan mereka setiap inci.
“Ehm..” aku berdehem keras begitu aku
sampai di depan pintu gudang. Tentu saja aku melakukannya dengan sengaja.
“Se.. Senja?!” mereka bertiga dengan
kompak membelalakkan mata.
“Mmm.. para gadis yang menjijikkan! Mau
tidak apabila perbuatan yang kalian lakukan ini diketahui oleh kepala sekolah?
Hukuman apa ya, yang pantas diberikan kepada siswi yang suka melakukan
kekerasan?” aku menatap mereka dengan senyum menyindir. Tanganku bergerak
perlahan ke dalam saku celana. Mereka menatapku ketakutan, “Oya.. satu lagi!
Aku punya bukti rekaman soal perbuatan kalian barusan, akan kutunjukkan dengan
senang hati apabila kalian menginginkannya!”
Aku menatap mereka tenang dan hanya
membiarkan mereka lewat saat mereka berlari keluar gudang dengan ketakutan. Aku
tersenyum lega. Entah kenapa aku bisa berada di sini, kakiku terkadang memang
bergerak sendiri.
“Senja, terimakasih!” terdengar suaranya
yang lemah.
“Bukan untuk menolongmu!” aku menjawab
ucapannya tanpa menoleh ke arahnya.
“Ridwan?” panggilku. Dia menoleh dengan
seulas senyum tipis di bibirnya.
“Hai, Nja!” balasnya singkat. Aku duduk
di depannya. Dia memegang sebuah surat ber-amplop putih di tangannya.
“Mau apa ke rumahku? Kalau minta maaf
aku juga..”
“Nja..” dia memotong ucapanku, lalu dia
menatapku dengan sedih. “Pelangi..”
“Jangan nama itu!” aku ganti memotong
ucapannya. Aku mulai gelisah.
“Yah.. dia..” kata-katanya menggantung.
Aku semakin gelisah melihat gelagatnya yang tidak biasa itu.
“Kau menemukannya di gudang?” aku
mencoba untuk menebak inti pembicaraanya.
“Ya! Bukan itu!” dia benar-benar
membuatku mati penasaran.
“Ada apa?” tanyakun tak sabar.
“Ini!” dia menyerahkan amplop yang
sedari tadi digenggamnya padaku, tanpa banyak bicara kubuka dan kubaca surat di
dalamnya.
‘Untuk Senja,
Maaf telah membuatmu kembali teringat
akan masa lalumu. Tapi, bukankah itu juga bukan kehendakku? Aku akan pergi! Aku
meminta untuk sekolah di Singapura saja. Maaf untuk seminggu yang mengganggumu.
Kukira, kita akan bisa berteman baik saat pertama kali aku melihatmu. Tapi, kau
membenciku.
Tidak apa-apa! Aku tidak menyalahkanmu.
Dan untuk kakakmu, aku turut berduka.
Pelangi’
Aku menatap surat singkat itu dengan
tangan gemetar. Aku tidak bisa menahan kegelisahanku setelah membaca isi surat
itu.
“Dia pergi, kan? Kau pasti tidak
mendengarnya tadi pagi! Kau terlalu cuek padanya! Sekarang dia pergi,
bagaimana? kau puas?” aku hanya menunduk mendengar ucapannya, “Kupikir kau akan
senang dengan kedatanganya karena dengan begitu kau akan punya kesempatan untuk
menjaga 1 pelangi lagi!”
Aku masih menunduk tak percaya. Tubuhku
semakin gemetar. Kau akan punya kesempatan untuk menjaga 1 pelangi lagi!
Kata-kata Ridwan itu terus terngiang di telingaku. Panas aku mendengarnya.
“Tapi, sekarang kau membuang kesempatan
itu! Apa yang seharusnya bisa kau lindungi malah kau campakkan! Kau telah
kehilangan semuanya sekarang!” Ridwan mengatakannya dengan penuh penekanan pada
setiap kata-katanya. Aku menutup wajahku, butiran keringat dingin telah
memenuhi seluruh dahiku.
“Jika..” dia melanjutkan. Aku sudah
tidak sanggup mendengarkan kalimat selanjutnya. Rasa apa ini? Rasa yang
perlahan-lahan menyusup ke dalam hatiku. “Dia baru berangkat! Apa kau masih
ingin meraih pelangimu?” setelah itu dia menyebutkan bandara dan juga jadwal
keberangkatan pesawatnya. Perlahan, aku membuka kedua tanganku dan menatap
wajahnya yang menyunggingkan senyum. “Kejarlah langitmu!” imbuhnya.
Ya, aku menyukainya! Sejak pertama kali
aku menatap matanya. Akan tetapi, mengapa selama ini aku sama sekali tak
menyadarinya? Pikiran dan hatiku telah tertutup oleh kebencian yang tak
beralasan hanya karena namanya yang mengingatkanku pada kakakku. Aku bodoh!
Benar-benar bodoh! Dan sekarang, aku akan kehilanganya apabila aku tidak
cepat-cepat sampai di bandara untuk mencegahnya.
Aku berlari secepat yang kubisa, tepat
di depan bandara itu aku berhenti. Langit berubah kelabu dan hujan turun dengan
deras. Aku berlari masuk. Aku baru sadar, harus kemanakah aku mencarinya? Aku
melihat jam di tanganku. Kurang 5 menit lagi. Oh, Tuhan! Dimana dia?
Aku tidak bisa menemukannya di antara
orang-orang berkoper besar ini. Bodohnya diriku! Mengapa aku tadi berlari
seakan aku masih memiliki harapan? Tidakkah aku berpikir bahwa ia takkan kembali?
Aku benar-benar menyesal telah menyia-nyiakannya.
Pandangku buram dan otot kakiku
sepertinya sudah tak mampu lagi menopang berat tubuhku. Aku terduduk. Tak
kupedulikan pandangan orang-orang yang menatapku aneh. Air mataku mulai menetes
dengan perlahan. Tiba-tiba, kudengar bunyi pesawat yang lepas landas. Air
mataku tak henti-hentinya mengalir. Payah! Aku memukul lantai dengan kepalan
tanganku. Tubuhku berguncang karena tangis.
Semakin deras air mataku mengalir. Aku
tak kuasa menahannya dan dadaku mulai terasa sesak. Aku kehilangan semuanya
sekarang! Disaat aku bisa mendapatkanya aku membuangnya! Dan disaat aku
membutuhkanya, dia berbalik pergi! Selamanya!
Aku berdiri dengan langkah gontai. Aku
berbalik dan melangkah keluar bandara. Aku menatap sayu pada hujan. Selesai
sudah! Semua telah selesai disaat aku baru menyadarinya!
“Senja?” panggil orang yang baru keluar
dari dalam sebuah taksi heran, “Mengapa kau ada disini?” dia menatapku bingung.
Aku menatapnya tak percaya. Aku sama sekali tak percaya pada mataku sendiri.
“Pelangi?” aku ganti memanggilnya tak
percaya.
“Hei! Ada apa denganmu?” dia bertanya
dengan nada cemas melihat keadaanku. Dalam pikiranku terjadi kegaduhan rumit.
Padahal, aku baru saja menangis karenanya tapi, sekarang dia sedang berdiri menatapku.
“Pelangi..” kali ini, suaraku terdengar
bergetar. “Jangan, kumohon jangan..” aku menggigit bibirku. “Jangan pergi!
Kumohon jangan pergi!” aku mengeraskan suaraku hingga membuatnya terkejut. ”Ya,
aku pikir aku membencimu! Tapi, ternyata aku salah! Ternyata.. aku.. aku..
menyukaimu!”
Dia menatapku tak percaya. “Tapi, tapi
aku..”
Bagiku itu adalah sebuah jawaban.
‘tapi’-nya itu telah membuatku sadar sekaligus membuat hatiku hancur
berkeping-keping. Aku tak memandang matanya untuk sesaat.
“Hm..” aku memaksakan untuk tersenyum,
“Ya! Itu pantas untukku! Aku benar-benar orang yang bodoh! Pergilah! Aku tidak
berhak untuk memintamu kembali setelah aku mencampakkanmu!” aku menangis lagi.
Aku baru sadar betapa cengengnya aku. ”Maaf..” Bibirku semakin bergetar, ”Aku,
benar-benar menyesal!”
Aku berbalik. Melangkah lagi dengan
langkah pelan dan mengubur semua kenangan semu. Hujan berhenti turun. Harapanku
telah runtuh, luluh jadi debu. Aku merasakan sakit yang luar biasa pedih.
Bagus. Aku kehilangan semuanya sekarang.
“Kau mau pergi?” suara itu terdengar
sedih. Aku menoleh pelan. “Pesawatnya bahkan sudah meninggalkanku.. Kini kau?”
air matanya mulai turun perlahan. “Aku kan belum selesai bicara, bodoh!” ia
terisak.
Jantungku berdebar keras.
“Jangan campakkan aku lagi!” dia
mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Aku sejenak ragu.
“Kau mau pulang, Pelangi? Bersamaku?”
pertanyaan itu keluar begitu saja dari dalam mulutku, aku mengulurkan tangan
padanya.
“Mmm!” dia mengangguk, “Senja,” ia
memanggil.
“Ya?”
“Menurutmu pelangi itu apa?” aku kaget
mendengarnya. Pertanyaan bodoh yang sama denganku dulu pada kakakku.
“Pelangi, ya? Mm..” aku sengaja
menggantungkan kalimatku, “Di mataku..” lanjutku,
“Pelangi itu biasan cahaya yang sangat
indah! Bahkan, ciptaan terindah yang pernah kulihat! Tapi, pelangi itu akan
terlihat lebih indah lagi apabila ia bersama dengan senja..”
Dia memandangku. Aku tak mengerti apa
arti tatapanya itu. Tetapi, sedetik kemudian, dia menyambut uluran tanganku.
Cerpen yang berjudul "Pelangi Di Mata Senja" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Ratna Juwita.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Pelangi Di Mata Senja | Ratna Juwita"