Cerpen Horror - Time Ghost | Islaa Ed
Kakakiky - Beberapa hari yang lalu aku dan teman-teman seangkatan berhasil berperang di atas selembar kertas putih dengan bersenjatakan sebatang pensil runcing.
Ujian Nasional telah kami lewati. Semua
berjalan lancar. Rencana kami, tak-tik para guru, dan kecerdikan pengawas
membuat kami yakin akan lulus seratus persen dengan nilai yang
amat-sangat-sangat baik.
Untuk merayakan hal itu, kami sepakat
mengadakan kemah bersama di halaman belakang sekolah selama 2 hari 2 malam.
Dimulai sejak malam ini, malam minggu yang cerah.
Aku menyiapkan peralatan berkemahku.
Beberapa potong baju, makanan ringan, perlengkapan mandi, dan segala
serba-serbinya. Urusan tenda, para guru sudah bersedia menyiapkan. Ini akan
menjadi kenangan yang tak terlupakan sebelum kami berpisah dengan seragam SMP
dan menggantinya dengan seragam putih abu-abu.
Pukul 19.30 aku berangkat bersama dua
orang sahabat karibku. Hilmi dan Helmi, mereka berdua kembar. Namanya saja
sudah mirip, apalagi orangnya. Mungkin mereka berdua hanya berbeda sedikit dari
segi watak. Hilmi si kakak yang pendiam dan cenderung pasif. Sementara Helmi
sangat aktif dan macho. Hahaha… Sebenarnya dia `sok macho` saja.
“Anak-anak, ada sedikit kendala dalam
acara kita malam ini” Kata Pak Joko, pemandu utama acara kemah SMP 1 Selompang.
“Tenda yang disiapkan panitia ternyata tidak memenuhi target yang kita
butuhkan.”
Spontan kami semua yang berkumpul merasa
kecewa dengan menggerutu panjang-pendek tidak jelas. Beberapa anak bahkan
sampai mengepalkan tangannya meninju ke arah angin yang diam. Cara pelampiasan
emosi yang paling aman memang.
“Ssstt! Harap tenang anak-anak!” Seru
Pak Joko dengan suara yang sengaja dikeraskan. Suara gerutuan itu
perlahan-lahan mereda. Suasana kembali tenang.
“Kalian tidak usah khawatir, acara kemah
ini tetap bisa dilaksanakan di dalam gedung sekolah” Pak Joko menjelaskan.
“Kita bisa memanfaatkan ruang kelas untuk tidur dan ruang aula untuk
acara-acara kita.”
Mendengar hal itu, beberapa anak tampak
setuju. Sementara beberapa lainnya terlihat kecewa dan enggan.
Kalian tahu, sekolahku ini terkenal
angker dan banyak ‘penghuninya’. Sudah banyak siswa yang mengaku pernah melihat
sosok-sosok hantu bergentayangan di area sekolah. Mendengar suara-suara aneh,
dan hal-hal diluar nalar lainnya.
Namun akhirnya, acara “kemah indoor” ini
benar-benar terlaksana. Mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain. Pak Joko
juga pandai mempengaruhi murid-muridnya agar tidak perlu takut. Lagipula kita
kan bersama. Begitu kata Pak Joko.
Anak laki-laki kebagian tempat di ruang
kelas IX A dan B. Sementara anak perempuan di ruang kelas VIII A, B dan C. Para
guru menempati kantor. Memang tidak semua murid bisa hadir. Tapi jumlah yang
hadir sudah cukup untuk mewakili semuanya.
Sebelum tidur, kami berkumpul di aula
sekolah. Acara pembuka, makan malam bersama. Saling bertukar snack dan
bernyanyi bersama. Teman-teman memintaku memainkan gitar. Tentu aku tidak
menolak, karena aku memang menyukainya. Mereka bernyanyi meramaikan suara
gitarku. Bahkan Pak Joko yang terkenal suka bertingkah lucu itu mengajak
seorang murid perempuan berdansa dan menari bersama. Teman-teman yang lain
menjadi iri. Kulihat, satu persatu dari mereka mulai berdiri, menghampiri
pujaan hatinya, lalu mengajaknya menari. Suasana aula menjadi ramai dan hangat.
Seru sekali. Meski aku hanya berperan memainkan gitar, tapi aku turut merasa
senang dan gembira.
Setelah beberapa lama, hampir semua anak
mendapatkan pasangan menari. Mungkin hanya tinggal aku yang duduk dan bermain
gitar. Tak apalah…
“Hai, boleh kutemani?”
Aku menoleh. Tika sudah duduk di
sebelahku. Senyumnya mengembang.
“Ya, tentu saja” Jawabku tak keberatan.
Tika dan aku diam-diaman saja. Tak
banyak yang bisa kami bahas. Aku dan Tika tidak terlalu akrab selama ini. Tika
yang pendiam dan bintang kelas. Dengan diriku yang bukan apa-apa dan banyak
bicara. Mungkin tidak akan ada kecocokan di antara kami.
“Kamu pandai sekali bermain gitar.”
Pujian Tika itu, jelas-jelas membuat
petikan gitarku terhenti. Beberapa anak menoleh heran ke arahku. Kemudian
tersenyum maklum dan kembali berjoget menari tak karuan. Rupanya panitia telah
menyiapkan sound system untuk memutar lagu-lagu malam ini.
“Enggak juga” Jawabku merendah. Kemudian
kuulang kembali petikan tanganku di atas gitar. Mengalunkan nada sendu.
“Sejak kapan suka main gitar?” Tanya
Tika. Wajahnya tampak antusias.
“Sudah sejak dulu, waktu SD aku sudah
bermain gitar.”
“Hebat! Apa ayahmu juga pandai
memainkannya?”
“Ya. Kakakku juga pemain gitar” jawabku
bangga.
“Waw! Mau berbagi cerita tentang
pengalamanmu dengan gitar-gitar itu?”
Aku mendengar nada ingin tahu yang tulus
dari suara gadis itu. Dan aku pun menceritakan banyak hal kepadanya. Berawal
dari bagaimana aku belajar gitar, sampai ke berbagai topik lain. Fakta tentang
Tika ‘si pendiam’ mulai terungkap di hadapanku.
Setelah bercerita banyak, menurutku
ternyata Tika bukanlah anak yang pendiam dan pasif. Dia hanya tidak suka akrab
dengan banyak orang. Ia tipe yang pilih-pilih teman. Bukan karena sombong, tapi
demi kebaikan pergaulannya sendiri. Kurasa orangtua Tika telah mendidiknya
dengan baik. Dan aku senang karena termasuk ke dalam cowok yang dipilih untuk menjadi
temannya.
Acara pembukaan malam ini baru selesai
sekitar tengah malam. Kami segera kembali ke kelas yang telah ditentukan untuk
beristirahat. Aku tidur berjejer bersama Hilmi dan Helmi, seperti biasa.
Sebelum terlelap, Helmi sempat bercerita
padaku tentang hantu di gedung sekolah ini yang benci sekali pada detik jam.
Menurut Helmi, itulah sebabnya sekolah kami tidak memiliki jam dinding. Hanya
ada satu jam besar yang diletakkan di atas tugu di halaman sekolah. Jam itulah
yang selama ini menjadi panduan kami, jam itulah yang selalu mendentangkan bel.
“Tapi buktinya, teman-teman kita banyak
yang ke sekolah menggunakan jam tangan. Mereka tidak apa-apa” elakku masih tak
percaya.
“Yang benar saja. Kita kan sekolah di
siang hari. Mana ada hantu siang-siang bolong?” ralat Helmi. Lagi-lagi
ucapannya kuanggap suatu kebenaran yang logis.
“Kamu bawa jam tangan?” tanya Helmi.
Suaranya sengaja dibuat besar dan menakutkan.
“Ya, tentu saja” jawabku.
Helmi mengernyitkan kening. “Lebih baik
jangan dipakai, bisa bahaya. Jam tanganku sudah kuletakkan di bawah pohon di
luar gedung”
Aku tertawa mendengar penuturan Helmi.
Dia benar-benar percaya cerita hantu itu. Dasar! Konyol sekali pemikirannya.
“Sudahlah. Aku kan cuma mengingatkan”
gerutu Helmi melihat tawaku yang terlalu lepas dan kentara mengejeknya.
“Oke-oke. Biar kuletakkan dalam tas
saja” ucapku mengalah setelah puas tertawa. Aku tidak ingin melukai perasaan
sahabat baikku itu. Dengan segera, kuletakkan jam tangan hitamku ke dalam tas
ransel yang aku bawa.
“Bagaimana? Sudah aman sekarang?”
tanyaku dengan tersenyum geli.
“Semoga saja!” Helmi menjawab ketus.
“Hahaha…” aku kembali tertawa melihat
reaksinya. Bahkan Hilmi sang kakak juga terlihat sangat ingin mentertawai
kekonyolan adiknya. Tapi aku tahu Hilmi menahan tawa di mulutnya. Dia hanya
tersenyum-senyum melihat kami.
“Kalau begitu aku akan mengingatkan
teman-teman yang lainnya juga” kata Helmi sembari beranjak pergi. Aku hanya
tertegun diam. Niat sekali dia. Cerita horor itu sudah mempengaruhi akal
sehatnya.
Beberapa saat kemudian, suasana mulai
benar-benar sepi. Helmi belum datang dari kegiatan baikknya mengabari perihal
hantu yang benci detik jam itu. Aku belum mengantuk, sementara Hilmi di
sebelahku sudah terlelap. Aku memutuskan menggunakan cara lama untuk tidur.
Kubayangkan ada sebuah lapangan hijau luas dipenuhi domba-domba putih bersih.
Aku menjadi penggembala dengan pakaian koboi yang keren. Lalu aku mulai
menghitung domba kepunyaanku satu persatu. Baru pada hitungan ke-30, kudengar
sesuatu bergerak di dalam tas ranselku yang tergeletak di samping bantal. Tapi
aku sudah tidak terlalu peduli. Aku benar-benar mengantuk sekarang. Dombaku…
Kuingat hanya ada 38 ekor…
Keesokan paginya, semua gelisah. Rasa
takut dan penasaran berbaur menjadi satu. Semua jam tangan yang kami bawa
tiba-tiba saja menghilang. Termasuk jam tangan hitamku. Terjadi saling tuduh di
antara kami. Kecurigaan hampir tertumpah seluruhnya kepada Helmi. Hanya dia
yang percaya kisah tentang hantu jam tangan itu. Mereka mengira Helmi dendam
karena tak ada yang mempercayainya. Jadi dia mencuri semua jam tangan yang ada
untuk menakut-nakuti mereka.
“Aku enggak mencuri jam tangan kalian!
Sumpah!” tegas Helmi untuk yang kesekian kalinya. Tapi tatapan sinis
teman-teman tetap tidak berubah.
Helmi bebalik ke arahku yang berdiri di
belakangnya. “Kamu percaya padaku, kan?” tanyanya.
Aku hanya meringis ragu. Ingin sekali
kujawab ‘ya’, tapi nyatanya aku juga curiga kepada Helmi. Jika kujawab ‘tidak’,
aku takut akan melukai hati sahabatku itu.
“Sudahlah!” Helmi akhirnya kehabisan
kesabaran. “Yang jelas aku benar-benar nggak mencuri jam tangan kalian.
Terserah apa kata kalian!” Helmi terlihat sangat marah. Dia berjalan pergi
meninggalkan aku dan teman-teman yang mengelilinginya. Kasihan sekali.
“Tunggu Helmi!” panggil seseorang.
Helmi menoleh, “ada apa lagi?”
“Kamu harus mengembalikan jam tangan
kami!” seru anak perempuan bernama Susi, dia yang memanggil Helmi tadi.
“Bagaimana bisa?! Bukan aku yang
mengambil!”
“Mana ada maling ngaku?!!”
Helmi terdiam. Rahangnya mengeras
dikatai maling seperti itu. Mukanya merah padam menahan marah.
“Aku bukan maling!” teriaknya. “Bukan
aku yang mencuri! Kenapa kalian enggak percaya padaku?!!”
“Pokoknya aku mau jam tanganku kembali.
Itu jam pemberian papa dari Inggris!” Susi ngotot, tangannya mengepal kesal.
“Jangan minta padaku!” jerit Helmi.
“Kamu kan malingnya!”
“Ya! Kamu harus tanggung jawab!” sahut
salah seorang anak laki-laki.
“Kembalikan jam tangan kami!” tambah
anak lainnya.
“Kalau enggak, kami akan mengeroyokmu
dan membawamu ke penjara!” seru seorang murid bertubuh tinggi dan gemuk.
Helmi diam membeku. Matanya
berkaca-kaca. Bibirnya bergetar sedih dan marah. Tangannya mengepal kuat. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Hilmi bahkan hanya bisa diam menunduk malu dan
kasihan. Kami berdua sama-sama takut menjadi sasaran kemarahan teman-teman
selanjutnya karena kami punya hubungan baik dengan ‘tersangka’.
“Kami beri waktu sampai besok pagi! Kamu
bisa mengembalikan jam tangan kami nanti malam” kata Andrea, sang ketua kelas
yang terkenal bijak itu.
Helmi tampaknya tak mampu berkata-kata
lagi. mungkin hatinya kini terasa amat sangat perih. Helmi hanya mampu
menggeleng lemah. Matanya menyipit karena air mata terus mengalir dari sudut
mata itu. Suasana menjadi hening. Antara kami dengan Helmi, mungkin kini
terjadi semacam perang batin.
“Terserah apa kata kalian. Tapi aku akan
buktikan kalau aku tidak bersalah” Helmi berkata pelan. Suaranya bergetar dan
parau. Setelah berkata seperti itu, Helmi beranjak pergi entah kemana.
Teman-teman menatap kepergian Helmi penuh kebencian.
Aku menatap punggungnya yang berlalu
dengan penuh perasaan bersalah dan kasihan. Disaat seperti ini, aku justru
tidak berani membela sahabat baikku sendiri…
Pak Joko menanyakan tentang apa yang
telah terjadi. Beberapa anak menjadi juru bicara. Mereka blak-blakan
menceritakan kecurigaan mereka pada Helmi. Mereka menjelek-jelekkan Helmi,
seolah Helmi benar-benar mencuri semua jam tangan yang ada. Pak Joko
mengangguk-angguk paham akan kecurigaan mereka yang beralasan. Memang aneh,
karena jam tangan para guru tidak ada yang hilang.
Sorenya, selesai kami melakukan
pendakian di bukit belakang sekolah, aku kebetulan lewat dan melihat Helmi ke
luar dari gudang. Dia membawa sebuah buku tebal dan sebilah kapak. Aku berusaha
pura-pura tidak melihatnya, tapi Helmi justru menghampiriku.
“Aku akan buktikan” katanya lirih dan
terdengar menusuk.
Kulihat wajah Helmi lusuh dan pucat.
Bibirnya kering, matanya sembab dan merah. Penampilannya berantakan, rambutnya
acak-acakan sekali.
“Sudahlah. Jangan dengarkan perkataan
teman-teman” saranku.
Tapi Helmi justru menatapku seolah penuh
kebencian. Aku melangkah mundur, waspada. Tiba-tiba feelingku mengatakan Helmi
sudah tidak waras dan hendak melukaiku. Helmi melangkah mendekat, dan sekali
lagi aku melangkah mundur.
“Sudahlah Helmi! Lebih baik sekarang
kamu pulang dan menenangkan dirimu. Masalah teman-teman, biar aku minta bantuan
Pak Joko untuk membereskannya.” Aku berkata tegas. Takut-takut Helmi kehilangan
kendali dan menyerangku dengan kapak di tangannya itu.
“Aku tidak akan lari dari masalah”
jawabnya tenang dan penuh keyakinan. Helmi menatapku dalam. Kemudian
melanjutkan ucapannya. “Karena aku bukan pengecut yang meninggalkan sahabatnya
dalam masalah sendirian”
Aku tersentak. Dadaku terasa panas dan
sesak oleh rasa bersalah. Perkataan Helmi itu sangatlah benar. Aku sahabatnya…
Tapi kenapa aku justru pergi dan lari dari tanggung jawab sebagai seorang
sahabat. Aku justru meninggalkan Helmi disaat dia benar-benar membutuhkan
pertolongan dari seseorang yang disebut dengan sahabat. Aku jahat. Aku kejam.
Aku pengecut. Memalukan sekali diriku ini…
“Maaf, Helmi…” ucapku lirih.
Sangat-sangat lirih hingga aku sendiri tidak yakin telah mengucapkan sepatah
kata.
Helmi hanya diam, kemudian berbalik
meninggalkanku yang dipenuhi rasa bersalah. Kutatap punggung Helmi. Dia
berjalan pelan ke arah gedung sekolah. Entah apa yang akan Helmi lakukan dengan
kedua benda yang diambilnya dari dalam gudang itu.
Ketika matahari tenggelam dan langit
menjadi gelap, beberapa dari kami baru saja selesai mandi. Gedung sekolah hanya
memiliki 8 kamar mandi. Empat untuk murid laki-laki dan sisanya untuk
perempuan. Alhasil saat ke kamar mandi kami harus mengantre seperti di
pondok-pondok yang sering kulihat di televisi.
Selesai makan malam, seperti biasa kami
berkumpul di aula. Mengobrol dan bernyanyi bersama. Bedanya, hari ini tidak ada
Helmi di antara kami. Entah kemana dia, tapi ranselnya masih ada di dalam kelas
tempat istirahat. Tempat dimana aku, Hilmi dan Helmi melepas lelah.
“Hai…” sapa seseorang. Tika. Lagi-lagi
dia menghampiriku. Kali ini wajah cerianya tampak agak murung.
“Boleh aku duduk?” tanya Tika. Aku
menjadi salah tingkah karena dari tadi hanya diam menatapnya.
“Oh! Boleh-boleh” aku menggeser dudukku,
memberi ruang untuk Tika duduk.
“Gimana keadaan Helmi?” tanya Tika tanpa
basa-basi.
Darahku berdesir. Kenapa Tika harus
bertanya tentang Helmi? Aku selalu merasa bersalah saat ada teman yang
menanyakan perihal Helmi kepadaku.
“Tidak tahu. Terakhir aku melihatnya…
Kacau” jawabku asal.
Tika menyipitkan sebelah matanya.
“Kenapa tadi kamu enggak membela Helmi sama sekali?”
DHEG!!…
Aku hanya bisa diam.
“Kudengar kamu sahabatnya kan?” tuding
Tika.
“Kalau aku jadi kamu” Tika melanjutkan.
“Bagaimanapun keadaannya, aku akan tetap membela sahabatku”
“Bukan begit-”
“Pengecut” potong Tika. “Aku kira kamu
anak yang baik dan bisa diandalkan. Ternyata perkiraanku meleset jauh sekali”
Kutatap mata Tika yang nyalang
memandangku. Nanar sekali rasanya. Apa aku sehina itu di hadapan Tika? Apa iya,
aku ini pengecut… Apa aku salah…
“Kasihan Helmi. Ternyata sahabat yang
dibanggakannya selama ini hanya seorang pengecut yang jahat” kata Tika.
Kali ini aku sudah tidak bisa
menyembunyikan rasa bersalahku lagi. Air mataku menetes satu-satu. Aku tersadar
telah menyakiti Helmi. Aku sadar, dan aku menyesal…
“Air mata tidak berguna sekarang.
Tunjukkan dengan perbuatan”. Setelah mengatakan itu, Tika bangkit dan pergi
meninggalkanku.
Segera kuhapus air mata yang membasahi
pipiku. Aku mengambil handphone dan melihat jam. Sudah hampir jam sebelas
malam.
“Ini malam terakhir dan malam puncak.
Kita akan berpesta bersama untuk keberhasilan kita!”
Pak Joko muncul secara tiba-tiba dengan
pengeras suara dan seperangkat sound system yang serba lengkap. Wajahnya
berseri-seri membawa suasana hangat dan menyenangkan. Teman-temanku menyambut
dengan bersorak gembira. Mereka menghambur ke arah Pak Joko dan memeluknya
senang. Lalu Pak Joko memutar lagu hitz yang sedang populer belakangan ini.
Mereka mulai meloncat-loncat dan bernyanyi gembira.
Aku tersenyum, turut merasakan kegembiraan
yang tengah mereka rasakan saat ini. Ingin sekali aku ikut menari dan
bernyanyi. Tapi aku punya urusan yang jauh lebih penting. Aku harus mencari
Helmi dan meminta maaf. Setelah itu aku akan berjanji untuk tidak
mengkhianatinya dan menjadi pengecut lagi.
Saat kakiku mulai melangkah ke luar
ruang aula, seseorang menarik tangan dan menghentikan langkahku.
“Mau kemana?” ternyata Pak Joko. Dia
tersenyum dan memandang agak tak suka.
“Aku harus mencari Helmi” jawabku.
“Sudahlah…” Pak Joko memegang kedua bahuku.
“Ini bukan waktunya bersedih. Kita semua ada di sini untuk bersenang-senang.
Biarkan Helmi memilih jalannya, dia bukan urusanmu”
“Tapi dia sahabatku!” elakku tegas.
Pak Joko tersenyum lagi. “Saya tahu.
Kamu boleh mencarinya setelah acara puncak malam kita selesai. Ini akan menjadi
kenangan, jangan disia-siakan”.
Aku terdiam. Benar juga apa kata Pak
Joko. Sebentar lagi kami akan berpisah, tidak akan bisa bersenang-senang
bersama lagi, ini saat-saat terakhir. Helmi… Aku masih bisa meminta maaf besok
pagi mungkin…
“Ayo!” Pak Joko mengulurkan tangannya.
Aku tersenyum dan menerima uluran tangan itu. Kami berdua berjalan ke tengah
kerumunan teman-teman yang lain. Alunan lagu yang diputar membuat tubuhku
secara sadar ikut menari dan menyanyi seperti yang lain. Senang sekali rasanya,
pikiran menjadi ‘plong’. Seluruh masalah terasa berterbangan di udara seperti
kapas yang tertiup angin kencang. Apa kepuasan seperti ini yang didapatkan para
orang dewasa di diskotik? Atau kupikir, mungkin lebih menyenangkan.
Diam-diam, mataku berkeliling mencari
sosok Tika di antara banyak anak. Tak ada. Aku mencari lagi, tetap tidak
kutemukan. Aku berhenti berjoget dan berkeliling aula sambil bertanya
sana-sini, mungkin ada yang melihat dimana Tika berada. Namun nihil, tak ada satu
pun dari mereka yang melihat Tika.
Sampai akhirnya, kejadian yang
benar-benar tak kuharapkan terjadi. Tika tiba-tiba membuka pintu aula
lebar-lebar. Wajahnya muram. Semua anak berhenti bernyanyi dan memperhatikan
Tika.
“Darimana saja kamu Tika? Ada apa??” Pak
Joko berusaha bertanya. Tika diam, lalu menatapku.
“Anggit! Ada kabar buruk” kata Tika.
Sekarang semua mata tertuju padaku.
“A-apa?” aku merasa ini bukan kabar
buruk sembarangan, melihat ekspresi ketakutan Tika dan nada suaranya. Jantungku
berdegup sangat kencang.
“Helmi!” lanjut Tika. Namun dia tidak
melanjutkan perkataannya dan menggandeng tanganku ke luar aula.
Aku menurut saja. Tak ada kekuatan dalam
diriku untuk menolak ajakan Tika. Pak Joko dan beberapa murid lainnya berjalan
mengikuti kami. Mereka terdengar saling berbisik, entah membicarakan apa. Tapi
aku merasa pembicaraan mereka masih ada sangkut pautnya dengan diriku, Helmi,
atau bahkan Tika.
Tika membawaku ke ruang kelas XA, tempat
istirahatku. Aku melihat sebuah buku tebal berwarna hijau kecokelatan yang
tampak seperti buku kuno tergeletak di samping ransel milik Helmi.
“Bacalah!” perintah Tika.
Aku duduk dan membuka halaman pertama
buku itu. Hanya sekilas, lalu tanganku mencerna sebuah halaman yang mungkin
baru saja dibaca seseorang, karena mudah sekali saat aku membuka halaman itu.
Darahku terasa memanas. Bulu kudukku
berdiri. Tengkukku merinding dingin. Dalam lembar buku itu tertulis bahwa
sekolah ini dulunya bukanlah sekolah manusia, melainkan asrama para setan. Dan
memang benar apa kata Helmi, setan-setan itu tidak suka ada suara detik jam.
Jika sampai ada suara detik jam maka mereka akan ke luar dan berusaha
menghilangkan bunyi detik itu dari dalam gedung ini. Namun dikisahkan bahwa
para setan tidak mampu merusak segala bentuk jam. Sebagai gantinya, mereka akan
menyembunyikan jam-jam itu di tempat tertutup agar tak ada yang bisa mendengar
suara detik.
Jadi benar yang mengambil jam-jam kami
bukan Helmi, tapi para setan itu. Dadaku memanas menahan buncahan amarah pada
diriku sendiri yang tidak mau mempercayainya sejak awal.
“Kalian harus baca buku ini!” seruku
mantap sembari menyerahkan buku kuno itu kepada teman-teman. Dengan antusias,
mereka berebut membaca seperti semut-semut yang berebut gula.
“Kamu juga harus membaca ini” kata Tika.
Aku menoleh padanya. Selembar kertas,
seperti surat. Mungkin dari Helmi. Dengan perasaan yang masih tak karuan aku
membuka perlahan surat itu.
“Ada yang melihat Helmi?!” tanyaku
dengan volume suara yang sengaja kuperkuat. Berharap ada yang menjawab ‘ya’,
‘Helmi baik-baik saja’. Tapi nyatanya, semua temanku menggeleng tak tahu.
Aku merogoh saku celanaku, mengambil
handphone. Pukul 00.37, ini sudah lebih tengah malam! Mendadak dadaku kembali
terasa panas dan sesak.
“Kita harus mencari Helmi! Sekarang!”
seruku lantang.
“Apa yang dia katakan di surat itu?”
tanya pak Joko.
Tanpa banyak bicara kuserahkan surat
dari Helmi. Pak Joko spontan dikerumuni anak-anak yang lain. Mereka berebut
membaca surat Helmi.
Selesai membaca, tampak mimik muka
beberapa anak berubah penuh rasa bersalah. Wajah mereka yang sejak tadi pagi
penuh kebencian, perlahan melembut.
“Sepertinya bapak tahu dimana tempat
tersembunyi yang dimaksud Helmi” Pak Joko memecah keheningan. Aku segera
menaruh harapan besar. Dengan sigap, Pak Joko berjalan ke luar ruang kelas IXA
diikuti aku, Tika, lalu teman-teman yang lainnya. Suasana menjadi panas. Kami
segerombolan manusia, berdesak-desakan, berusaha berjalan tepat di belakang Pak
Joko. Kami berjalan cepat, Pak Joko membawa kami ke halaman belakang sekolah.
“Itu tempat yang misterius dan
tersembunyi yang bapak tahu” kata Pak Joko sambil menunjuk ke arah rumah gubuk
kecil di sebelah pohon mangga.
Aku mengernyit heran. Memang benar
misterius, tapi… Apa disana ya…
“Ambil kunci inggris di gudang!”
perintahnya.
Beberapa anak saling menyuruh. Lalu 3
anak laki-laki berlari menuju gudang. Tak berapa lama, mereka kembali dengan
benda yang diminta Pak Joko.
Pak guru kami itu kembali beraksi. Dia
berusaha mencongkel pintu. Satu kali, dua kali, tiga kali, gagal. Congkelan
ke-empat, pintu berhasil terbuka. Pak Joko membukanya kasar.
~ KOSONG ~
Sial! Bukan ini tempatnya. Tak ada
apapun disini. Mungkin ruang ini hanya semacam gudang yang terlupakan dan tidak
terpakai lagi. Di dasar lantai, ada beberapa genangan air. Pak Joko menyenteri
sudut-sudut ruangan. Banyak sarang laba-laba dan barang-barang disini tampak
amat sangat kotor.
“Bagaimana ini??” Tika panik. Ada
sebersit rasa cemburu menyelinap dalam dadaku, entah mengapa. Padahal aku tahu
bahwa selama ini Tika dan Helmi memang cukup akrab. Akh! Bukan saatnya berfikir
konyol. Ini saat genting, aku harus menyelamatkan Helmi.
Tiba-tiba ingatanku terlempar pada masa
dimana aku dan Helmi masih menjadi murid kelas satu. Saat itu aku menganggap
Helmi agak aneh karena dia suka bercerita tentang hantu-hantu di sekolah ini.
Helmi tahu banyak, katanya kakek Helmi dulunya adalah penjaga sekolah. Sehingga
dia sering mendengar cerita hantu di sekolah ini dari kakeknya.
Aku teringat ucapan Helmi tentang sebuah
ruang misterius di sekolah ini.
“Ada sebuah ruangan yang belum pernah
kakek masuki. Ruang itu memang ditutup, digembok, dan dirantai sejak dulu. Tak
ada yang berani membuka. Bahkan kakek yang terkenal pemberani itu juga nggak
berani, loh!”
“Kamar mandi guru!” kataku spontan.
Pak Joko menatapku heran. Matanya
menyipit, tampak berpikir.
“Aku ingat kata Helmi ada sebuah kamar
mandi guru yang digembok dan dirantai besi karena tak ada yang boleh
membukanya”
Pak Joko mengangguk. “Tapi kamar mandi
itu memang sangat dilarang untuk dibuka”
“Demi Helmi!” seruku tidak sabar.
“Tapi_”
“Ini demi sebuah nyawa manusia, Pak!
Kita harus kesana!” tambah Tika.
“Kalau Helmi sudah kesana, berarti
tempat itu sudah terbuka” kataku. Pak Joko, Tika, dan yang lain mengangguk
setuju.
“Cerdas!” Pak Joko mengacak rambut di
kepalaku pelan. Lalu dia barlari kembali ke gedung sekolah. Aku dan yang lainnya
mengekor di belakang beliau.
Ruang guru kami memiliki ruang khusus
yang luas, hampir seperti aula. Jarang sekali ada murid yang masuk ke ruang
guru. Ini saja baru kali ke-tiga aku masuk ruang guru, selama masa sekolahku
yang sudah 3 tahun lamanya.
“Kesini!” komando Pak Joko. Kami
berbelok kekanan, menuju sebuah lorong berlampu remang-remang. Di kanan-kiri
lorong ada banyak pintu bertuliskan ‘TOILET’. Pak Joko terus berjalan menuju
ujung lorong. Benar saja, disana ada sebuah pintu bercat putih yang terlihat
tua dan pudar warnanya. Pegangan pintu itu terantai dengan gembok besar. Sama
sekali belum terbuka dan tidak ada tanda-tanda seseorang pernah mencoba
membukanya.
“Helmi belum kesini, dia tidak kesini”
kata Pak Joko melihat semuanya masih rapi.
“Kita cari ke tempat lain” pak Joko
berbalik. Tapi naluriku mengatakan Helmi ada di dalam sana.
“Tunggu, Pak!” cegahku. “Setan, hantu,
dedemit, atau apalah namanya. Bukannya mereka memiliki kekuatan ghaib? Bisa
saja, setelah Helmi masuk mereka menggembok pintu ini seperti semula”
Pak Joko berpikir sebentar, kemudian
mengangguk. “Ya, benar juga” katanya. Guru kami itu menatap sekitar seratus
orang muridnya yang menunggu tak sabar. Yang rela berdesakan demi mencari orang
yang telah mereka fitnah dengan begitu kejamnya, Helmi.
“Siapa yang mau mengambil kapak di
sebelah ruang kepala sekolah?” tanya Pak Joko.
Hening. Tak ada satu pun yang tampak
berminat. Gudang di sebelah ruang kepala sekolah memang terkenal angker.
Apalagi ini sudah lewat tengah malam.
“Biar aku saja!” aku memutuskan. Tak ada
waktu untuk takut dan jadi pengecut lagi.
“Kamu sendiri?”
“Aku mau menemani” sahut Tika. Aku
menoleh dan tersenyum. Tika menepuk bahuku. “Kita bersama”
Aku mengangguk. “Ayo!”
Aku dan Tika menembus gerombolan
teman-teman yang menatap kami. Dengan langkah cepat kami ke luar dari ruang
guru. menuju gedung depan, tempat ruang kepala sekolah berada. Sekolah terlihat
sangat gelap. Beberapa kali aku dan Tika tidak sengaja menabrak pot-pot dan
guci bunga yang berjejer menghias ruang demi ruang. Kami tak peduli, tekad kami
sudah bulat.
“Gelap, aku enggak bisa melihat dimana kapaknya!”
kataku bingung sambil meraba-raba ruang kecil yang dimaksud Pak Joko.
“Kita cari bersama” usul Tika.
Aku terus meraba-raba dalam kegelapan.
Tika juga melakukan hal yang sama. Ada banyak perkakas di tempat ini. Buku-buku
tebal, dan alat-alat lainnya. Tanganku juga merasakan adanya kotoran dan debu.
Sendok, piring, sepatu berdebu, kursi, almari besi, dan akhirnya…
“Aghkk!” teriakku spontan, perih.
Mungkin aku terlalu kasar mencari. Sebuah benda tajam melukai pergelangan
tangan kananku.
“Anggit! Kenapa kamu??” suara Tika
terdengar panik.
“Aku menemukan kapaknya”
“Oke, bagus! Ayo ke luar” Tika berlari
ke arah pintu yang sedikit lebih terang daripada ruang pengap ini.
Aku membawa kapak dengan tangan kiri.
Berat juga, kapak ini besar. Aku melirik tangan kananku yang mengucurkan darah
dalam kegelapan. Benar-benar perih rasanya, tapi aku harus bertahan. Tika tidak
tahu keadaan tanganku yang sebenarnya.
Kami kembali meraba-raba, berharap bisa
melangkah lebih cepat tapi keterbatasan cahaya menghalangi langkah kami. Aku
tahu, mungkin besok pagi saat semua kembali terang akan ada banyak darah
berceceran di lantai dan menempel mengotori tembok.
Setelah berjalan beberapa lama dalam
kegelapan akhirnya kami sampai ke ruang guru yang terang. Tanpa di komando aku
dan Tika kompak berlari cepat. Begitu melihat kami, teman-teman membuka jalan.
Kudengar, anak-anak perempuan menjerit histeris melihat darah menetes dari
tangan kananku.
“Ini kapaknya!” aku menyerahkan kapak
kepada Pak Joko dengan tangan kiri. Pak Joko terlihat heran juga. Dia
memiringkan badan dan kepalanya berusaha melihat tangan kananku yang
kusembunyikan di belakang punggung. Aku menatap Pak Joko dan berjalan mundur
selangkah sembari berkata “tak ada apa-apa”.
Pak Joko diam, dia sepertinya percaya
karena setelah itu Pak Joko meraih kapaknya dan dengan sigap mengayunkan kapak
itu ke arah gembok yang membelenggu pintu toilet.
PRAAKK…! Gembok terbuka, terjatuh di
lantai.
PRAKK! Suara rantai yang terkena kapak.
PRAKK! PRAAKK! Rantai besi yang besar itu jatuh berantakan di lantai.
Pak Joko melempar kapak ke pojok tembok
lalu memutar gagang pintu cepat. Spontan, aku berjalan mendekat berusaha
melihat ke dalam. Pak Joko segera menyenteri ruang toilet yang sudah lama tidak
dibuka itu.
“ASTAGA! Helmi…!”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Beberapa anak perempuan yang melihat ke
dalam toilet menjerit histeris. Mereka secara reflek menutup mata dan wajah
mereka dengan telapak tangan dan berjalan mundur tak sanggup melihat.
Aku hanya bisa diam membeku, rasanya
kepalaku berputar. Aku berpegangan pada lengan Pak Joko. Tak kupedulikan lagi
darah yang terus mengalir mengotori baju guruku itu. Kulihat, Tika sudah menangis
di balik punggung Pak Joko.
Semuanya sudah terungkap. Semua jam
tangan ada di sini. Ada puluhan atau bahkan mungkin ratusan! Semuanya menumpuk,
berserakan. Ada yang menggantung di langit-langit tolilet, menempel di dinding,
tergeletak di lantai, memenuhi bak mandi dan WC. Bermacam-macam dan penuh
warna. Jam dinding, jam tangan, jam weker, jam lonceng, banyak sekali. Dan
semua jam itu berdetik bersamaan. Paduan suaranya memekakkan telinga. Terdengar
begitu kompak namun berisik.
Di antara semua jam yang berserakan, di
antara detik-detik jam yang bagaikan irama kematian itu, sesosok manusia yang
amat sangat kukenali tergantung di atap. Entah bagaimana, kepala Helmi bisa
terlilit jam tangan dengan karet gelang yang panjang. Jam itu menempel di
langit-langit seperti ada lem yang merekatkannya begitu kuat. Helmi tergantung
tak berdaya disana. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Matanya melotot sampai
bola mata itu kupikir akan bisa menggelinding jatuh. Terpancar ketakutan yang
amat sangat dari sorot mata itu. Tangannya terkulai lemah dengan jari-jari yang
mengejang seperti seseorang yang terkena stroke. Tidak ada tanda-tanda
kekerasan, tapi darah segar masih terus keluar dari sudut mulut Helmi. Yang
paling menakutkan, tubuh Helmi tidak diam layaknya mayat. Tubuhnya terus
bergerak, ke-kanan dan ke-kiri. Mengikuti suara detik demi detik jam di
sekeklilingnya. Ya… Tubuh Helmi bergerak mengikuti suara detik. Seperti lonceng
jam besar di gereja, benar-benar bergerak sendiri. Padahal kami sangat yakin
bahwa Helmi sudah kehilangan nyawanya, dia sudah tidak ada.
Aku tak sanggup lagi, kepalaku
benar-benar pusing sekarang. Pemandangan mengerikan itu membuat mentalku jatuh.
Aku merasa amat sangat bersalah. Aku menoleh melihat Pak Joko, ingin sekali
kusandarkan tubuhku ke dada Pak Joko yang tampaknya masih saja tertegun melihat
semua kenyataan ini.
“Pak… Rasanya aku ingin pingsan…”
lirihku. Pak Joko tidak menggubris. Aku mengalihkan pandangan pada tangan
kananku yang berdarah. Aku belum sempat memperhatikannya sama sekali sejak
tadi.
DEEGH!!
Kali ini aku sudah tidak sanggup lagi
berdiri, kekuatanku lenyap sudah. Kulihat tangan kananku hampir putus. Tulangku
terlihat jelas, putih. Darahku banyak mengotori baju Pak Joko, di lantai juga
banyak sekali darah. Aku tidak menyadari hal ini sejak tadi. Akhirnya aku jatuh
terduduk, mataku berkunang-kunang.
“Seharusnya saya tidak terlibat semua
ini” terdengar suara Pak Joko.
Dengan sisa kekuatan yang ada. Aku
mendongak. Pak Joko masih berdiri sambil menatapku jijik. Oh Tuhan… Beginikah
rasanya dibenci dan dikhianati. Sakit sekali melihat Pak Joko dan Tika, mereka
memandangku dengan tatapan ngeri dan jijik. Tidak ada tanda-tanda mereka akan
bergerak menolongku.
Setelah melihat mereka, aku ambruk.
Kepalaku rasanya jatuh tepat pada genangan darahku sendiri. Aku sempat melihat ke
arah Helmi yang terus bergerak mengikuti nada dari detik-detik jam. Maafkan aku
Helmi, mungkin ini memang balasan yang tepat untukku. Pengkhianat… Aku
pengkhianat yang pantas dikhianati. Maafkan aku Helmi… Maaf…
Perlahan-lahan semuanya berubah gelap.
Kepalaku pening. Ah… Aku bisa melihat, ada cahaya terang. Disana ada Helmi.
Seseorang berjubah hitam memaku lehernya ke tengah jam besar. Helmi
dijadikannya sebagai jarum jam penunjuk detik jam besar itu. Bergerak dan terus
bergerak. Suara detik itu… Aku benci suara detik…! BENCI!!
“Bencilah detik jam yang menyiksa itu…
Jadilah bagian dari kami, setan-setan pengkhianat yang memusnahkan semua benda
penghasil suara ‘tik-tik-tik’”.
Cerpen yang berjudul "Time Ghost" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Islaa Ed. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Islaa Edogawa.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - Time Ghost | Islaa Ed"