Cerpen Cinta - Si Bunga Merah | Wildatuz Zakiah
Si Bunga Merah - Wildatuz Zakiah
KakaKiky - “Nyonya Hana, Anda sudah siap?” tanya seorang kru pada wanita berambut panjang bergelombang, Kim Hana, yang duduk menyandar di kursi rias. Wanita itu duduk tegak seraya mengangguk, memberitahu ia sudah siap naik ke atas panggung.
“Baiklah, silahkan ikut saya.” kemudian,
kru tersebut melangkah keluar ruangan mendahului Hana
Hana pun bangkit dan menyusul kru
tersebut. Namun sebelum ia mencapai pintu, langkahnya terhenti. Ia berbalik,
menghadap cermin besar yang ada di sampingnya. Ia terdiam. Lalu tersenyum. Ia
amati pantulan dirinya di cermin itu. Ada begitu banyak perubahan pada
tubuhnya. Badannya terlihat lebih gemuk, kulitnya juga tak sehitam dulu. Ah, ia
tak ingat perawatan apa saja yang telah ia lakukan demi penampilan sesempurna
ini.
“Nyonya Hana?” Hana menengok, mendapati
kru tersebut menantinya untuk segera keluar
“Ah, maaf.” Ia pun berjalan ke luar
ruangan
Riuh tepuk tangan penonton mendominasi
studio ini. Hana menyamankan posisi duduknya di sofa merah marun yang berhadapan
dengan tribun penonton. Ada banyak kamera di sekelilingnya. Tentu, ini adalah
acara televisi nasional yang menyajikan informasi di dunia perfilman. Dan untuk
pertama kalinya ia diundang di sini. Tak sembarang orang bisa duduk di sofa ini
dan mendengar antusiasme penonton saat namanya disebut. Membutuhkan kerja keras
ekstra untuk bisa tampil di acara ini.
Si pembawa acara, Niken, menyapa para
penonton. Ia memperkenalkan Hana pada penonton lalu mengucapkan selamat atas
keberhasilan Hana sebagai aktris terbaik 2016 di acara Movie Award semalam.
Hana yang tersipu malu hanya tersenyum simpul dan mengatakan terima kasih.
Niken pun mengawali inti acara dengan menanyakan motivasi Hana untuk menjadi
aktris terbaik. Hana sempat terdiam karena bingung harus menjawab apa. Namun
sebuah ide muncul.
“Sebenarnya, aku pernah mengalami hal
yang sama seperti Dea.” kata Hana
“Maksud Anda, tokoh yang Anda perankan?”
“Iya. Aku memiliki masa yang sulit
seperti Dea. Mungkin kalian tidak pernah mendengar cerita hidupku yang sebenarnya.
Bagaimana aku tumbuh sebagai Hana saat ini adalah sesuatu yang kurahasiakan.
Tidak banyak yang mengerti siapa Hana dalam dunia nyata.”
“Bisakah Anda ceritakan sedikit? Kami
jadi penasaran.” kata Niken seraya tersenyum simpul
“Haruskah?” tanya Hana menggoda
“Ayolah, aku jamin mereka pasti
penasaran.” Hana mengedarkan pandangan, memastikan apakah penonton juga
penasaran dengan ceritanya. Dan ia terkejut saat mendapati penonton terdiam
menatapnya dengan raut penasaran.
“Hmm, baiklah.”
Dan Hana pun mulai bercerita tentang
kehidupannya. Tentang dirinya yang tumbuh dengan belas kasihan banyak orang.
Juga tentang perjuangannya melawan trauma itu. Yah, trauma yang mengacaukan
hidupnya.
Rumah Sakit Jiwa Taemin, Seoul, Korea
Selatan, 2009…
“Lepaskan!”
“Diamlah! Atau aku akan memukulmu!”
“Sayang, cepat bawa dia ke dalam!”
“Lepaskan!”
“Diam kau anak nakal! Kau seharusnya
tinggal di sini. Bukan di rumah kami.”
“Tidak! Aku tidak gila! Aku tidak gila!
Lepaskan aku!”
Seorang dokter dan beberapa suster
berseragam sama menghampiri mereka. Dokter itu, Yoo, menyuruh susternya membawa
gadis berambut acak itu ke dalam rumah sakit sementara ia berbincang dengan
paman dan bibi gadis itu. John, paman gadis itu, meminta dokter Yoo merawat
sang keponakan selama ia pergi ke Paris bersama keluarganya. Ketika ditanya
kapan kembali, John hanya mengatakan secepatnya. Dokter Yoo tidak bisa bertanya
lebih karena John dan istrinya terburu-buru. Mereka bilang, mereka harus segera
pergi ke bandara karena pesawat akan take off.
Hana memberontak. Mencakar, mendorong
dan melakukan apa saja agar suster-suster itu tidak menyuntiknya. Ia harus
pergi dari tempat ini. Ia tidak mau terperangkap di sini. Sudah cukup rumah tua
pamannya membuatnya menderita. Tempat ini akan membuatnya lebih menderita.
“Hey, tenanglah. Kami tidak akan
menyakitimu. Jadi, kau tidak perlu takut.” kata Dokter Yoo dengan nada
lembutnya. Diam-diam, ia merampas suntikan itu dan meletakkannya di keranjang
obat. Hana berjalan mundur, berusaha menghindar.
“Tidak! Aku tidak gila! Aku tidak gila!”
teriak Hana
“Iya, kau tidak gila. Jadi, tenanglah.”
“Suster, siapa nama pasien ini?” tanya
dokter Yoo
“Kim Hana. Usianya 17 tahun dan
mengalami gangguan psikis sejak 2 bulan lalu karena orangtuanya meninggal.”
kata seorang suster. Dokter Yoo mengangguk.
Hana melangkah, berencana kabur. Namun
sayang, dokter Yoo berhasil menahannya. Lelaki itu mengatakan bahwa Hana akan
baik-baik saja di sini. Ia tidak perlu takut karena semua yang ada di sini
tidak akan menyakitinya. Dokter Yoo menatap mata Hana. Gadis itu tidak
menangis. Tetapi teriakannya sangat menyakitkan.
“Aku akan mengurusmu, kau tidak perlu
takut. Aku orang yang baik, sebenarnya. Ah, tidak. Aku memang orang yang baik.
Tetapi aku tidak sebaik yang kau kira. Jika kau terus memberontak, aku akan
marah. Jadi, tenanglah.”
“Aku tidak gila! Lepaskan. Aku mau
pulang.” teriak Hana.
Tanpa disadari seorang suster
menyuntikkan obat penenang itu dan membuat Hana perlahan-lahan terlelap. Dokter
Yoo mengangkat tubuh Hana dan membawanya ke ruang pemeriksaan. Di bantu seorang
dokter senior dan beberapa suster, ia melakukan pemeriksaan psikis dan fisik
pada Hana.
Setelah melihat data pemeriksaan,
ternyata Hana menderita sosiofobia. Dimana seseorang akan benci pada orang
asing. Fobia ini memang sudah umum, namun lebih parah dari anti sosial.
Seseorang yang mengidap penyakit anti sosial cenderung malas untuk berinteraksi
dengan orang lain. Sedangkan sosiofobia timbul karena ketakutan dan rasa tidak
nyaman dengan kehadiran orang asing. Selain itu, Hana juga mengidap kepanikan
tinggi pada cahaya terang dan berkedip. Ini menjadi poin penting yang harus
ditelusuri lebih dalam karena penyebab timbulnya penyakit jiwa itu belum
diketahui pasti. Namun, dokter Yoo yakin ada alasan tersendiri di balik trauma
itu.
“Jika kau bisa menyembuhkan pasien ini,
aku akan menaikkan jabatanmu.” kata Dokter Kim, saat ia dan dokter Yoo tengah
berbincang mengenai Hana. Dokter Yoo tertarik dengan tawaran itu, tetapi ia
ragu. Apakah ia bisa menyebuhkan Hana si gadis traumatik itu?
2 hari kemudian…
Hana terbangun saat ia mendengar bunyi
knop pintu. Seseorang baru saja keluar dari sini. Ia memejamkan mata lalu
membukanya lagi. Ia mengedarkan pandangan. Hanya ada kasur, meja, dan kursi.
Untuk beberapa saat ia pandangi ruangan serba putih itu. Ini tak asing. Ia
pernah berada di ruangan seperti ini. Yah, ruangan ini adalah kamar tidurnya.
Tetapi, mengapa kasurnya seperti kasur di rumah sakit?. Oh tidak, apakah ia
sedang sakit?
Tak sengaja, ia menyenggol sesuatu.
Setangkai bunga mawar jatuh ke lantai tepat di bawah ranjangnya. Ia bangkit
untuk mengambil bunga itu. Lalu meletakkannya di atas meja.
“Apa ini? Kenapa ada kertas dan
bolpoin?” batinnya.
Hana meraih kertas itu dan membawa dua
kalimat di tepi atas kertas itu.
Selamat pagi bunga merah, mulai hari ini
aku adalah temanmu. Maukah kau menceritakan sesuatu padaku?
Hana terkekeh membaca kalimat-kalimat
itu. Aneh. Mengapa ia harus berteman dengan kertas? ada-ada saja. Hana pun
mengacuhkan kertas itu.
Kasur empuk itu lebih menarik
perhatiannya. Ia pun kembali berbaring. Namun sayang, ia tidak bisa terlelap.
Walau matanya terpejam, ia tidak bisa terlelap. Hana bangkit, menarik kursi dan
mendudukinya. Ia pun menulis sesuatu di kertas itu. Tak banyak, hanya
menuliskan bahwa ia suka berada di ruangan ini karena mirip dengan kamarnya.
Setelah itu, ia pergi ke luar ruangan. Di sana, tepat di depan pintu, dokter
Yoo berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jas dokternya. Begitu dia
melihat Hana keluar, dia langsung melambaikan tangan dan menyapa Hana. Namun,
hal itu membuat Hana mempercepat langkah karena ketakutan. Senyum dokter Yoo
benar-benar mirip dengan orang jahat itu. Dan Hana benci itu.
“Hana, kau mau ke mana?” Hana tak
menjawab. Ia terus berjalan dengan cepat agar dokter Yoo tidak bisa mengejarnya.
Namun, ia gagal.
“Lepaskan! Aku tidak gila!” teriak Hana.
Tanpa sadar, ia mencakar sesuatu. Dokter Yoo meringis kesakitan karena cakaran
Hana melukai lengan kirinya. Hana semakin ketakutan. Dia berlari menjauhi
dokter Yoo.
Keesokan harinya…
Setibanya di ruangan putih, sebutan
untuk ruang inapnya, Hana mendapati selembar kertas putih, bolpoin dan
setangkai mawar merah telah menantinya di atas meja. Hana menulis sesuatu di
kertas itu.
Ibu, ayah, disini aku punya teman yang
baik. Dia selalu ada untukku. Aku menyebutnya kertas putih. Jika ada waktu, aku
akan memperkenalkannya pada ibu dan ayah. Dia memanggilku bunga merah dan
selalu memberiku mawar merah. Ibu, ayah, 4 hari lagi hari ulang tahunku. Aku
selalu berdoa agar paman dan bibi tidak akan menjemputku. Mereka sangat kejam.
Mereka memarahiku setiap hari. Aku benci cahaya lampu. Itu mengingatkanku pada
kecelakaan yang kita alami. Aku tidak suka. Tetapi bibi dan paman selalu
menyalakan lampu. Jika aku berteriak, mereka memukulku. Ibu, ayah, tidak bisakah
aku tinggal bersama kalian? Tidak apa-apa jika aku harus mati. Asal aku bisa
meninggalkan tempat ini dan berada di sisi kalian. Bawa aku, ibu. Bawa aku,
ayah.
Tak terasa, air mata mengalir perlahan.
Membasahi kedua pipi Hana yang pucat dan kusam. Ada perih yang tergambar jelas
di wajahnya. Juga kekecewaan yang mendalam atas kepergian ayah-ibunya. Ia tahu,
ini tindakan bodoh. Ia tahu, ayah-ibunya pasti sedih melihatnya terpuruk
seperti ini. Tetapi, apa yang bisa ia lakukan? Tak satupun keluarganya yang mau
merawatnya. Mereka benci pada Hana. Hanya karena dia mengidap trauma pada
cahaya lampu dan interaksi, mereka tega membuang Hana ke tempat ini. Yah,
setidaknya ia sedikit bersyukur. Berkat traumanya ini, ia tahu bagaimana
karakter keluarganya. Terutama paman dan bibinya. Yah, mereka benar-benar
buruk.
Sejenak Hana terdiam. Sudah tiga hari
dia menerima kertas putih ini. Setiap harinya kertas itu diperbarui. Dan di
samping kertas itu pasti ada bunga mawar, bunga kesukaannya. Ia penasaran,
siapa yang meletakkan ketiga benda itu setiap harinya di meja ini? Apakah
dokter Yoo? atau suster-suster? Entahlah, Hana tak tahu. Ia sangat terbantu
dengan kertas itu. Ia tidak merasa kesepian. Setidaknya, untuk beberapa saat.
Kehadiran si kertas putih itu menenangkan hatinya. Ia tahu, dokter Yoo berusaha
menyembuhkannya karena dia menerima tawaran dari atasannya. Jika dia berhasil
melakukannya, ia akan menjadi psikiater tetap di rumah sakit ini. Hana tak
menyangka, lelaki itu begitu licik. Ia memanfaatkan Hana untuk memperoleh
keuntungan.
Di ruangan serba putih tanpa lampu ini,
Hana menghabiskan hari-harinya. Ia hanya akan keluar saat pagi hingga sore
hari. Sedangkan malam, ia mengurung diri di kamar. Setiap pagi ia bangun dengan
semangat untuk menceritakan hal-hal baru pada si kertas putih. Mawar merah itu
ia kumpulkan di sebuah kaleng bekas yang telah ia isi dengan air. Setiap hari,
kaleng itu semakin penuh dengan mawar. Walau beberapa mulai layu, Hana tak
pernah bosan merawatnya. Bila malam tiba, kamar ini akan benar-benar gelap.
Tetapi Hana tidak merasa takut. Ia bisa melihat bulan dan bintang melalui
jendela kamar inapnya. Lalu ia akan mengingat lagu tidur yang selalu ibunya
nyanyikan untuknya. Dengan begitu, ia bisa tidur.
Dokter Yoo mengumpulkan kertas–kertas
putih itu dalam sebuah kotak. Setiap hari, ia membaca dan menyelidiki semua
tulisan di kertas-kertas itu. Tepat pukul 04.00 pagi, ia pergi ke kamar Hana.
Meletakkan mawar merah, bolpoin dan kertas putih baru yang masih mulus.
Kemudian, ia akan pergi tanpa suara. Terkadang dia berdiri sejenak di samping
ranjang Hana. Memastikan gadis itu baik-baik saja. Ia tak tega pada gadis itu.
Ia telah mengatakan bahwa ia tidak menerima tawaran Dokter Kim. Menjadi
psikiater memang cita-citanya sejak kecil. Tetapi memanfaatkan seseorang demi
keuntungan sendiri benar-benar menjijikkan baginya.
Setelah melewati sekian banyak peristiwa
buruk, Hana justru diserahkan kepada pihak rumah sakit. Tidak ada yang tahu
keberadaan keluarga Hana. Yang ia tahu, Hana memiliki paman dan bibi yang
‘ternyata’ kejam. Berdasarkan cerita yang Hana tulis, ia dapat menyimpulkan
bahwa Hana mengalami trauma mendalam karena keluarganya sendiri. Seharusnya,
mereka mengerti jika Hana ketakutan bila melihat cahaya terang dan berkedip.
Namun, mereka malah memarahi Hana dan menganggap gadis itu hanya meminta belas
kasihan. Oh Tuhan, apa dosa gadis itu? Hingga keluarganya pun tak sudi
merawatnya.
Sekarang, Hana mulai nyaman berada di
dekat Yoo. Mereka sering berbincang, walau terkadang Hana mendadak berteriak
ketakutan saat Yoo tersenyum. Hana bilang, senyumnya seperti orang yang telah
menabrak ia, ayah dan ibunya. Ternyata kecelakaan itu telah direncanakan. Saat
mobil yang dikendarai keluarga Hana melintas di pertigaan Gangnam, sebuah truk
melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan dan menghantam mobil
mereka. Hana melihat cahaya terang dari lampu truk itu dan membuat Hana
ketakutan. Karena Hana melihat sendiri truk itu menindas mobil yang ia
tumpangi. Semua keluarganya meninggal saat itu juga. Hanya dia yang sempat
melihat si pelaku. Tetapi ia tak tahu bagaimana wajahnya. Ia hanya ingat
senyumannya, benar-benar menakutkan.
Dari sanalah, Yoo mengetahui penyebab
trauma Hana. Ia rutin memberi Hana kertas putih dan mulai membiasakan Hana
dengan lampu. Saat pertama kali Hana tahu jika di kamarnya ada lampu, ia
berteriak histeris hingga pingsan. Hal itu membuat Yoo merasa bersalah. Namun,
ini satu-satunya cara agar Hana tidak terkejut lagi saat melihat lampu. Yoo
akhirnya berinisiatif membuatkan lampion mawar merah, dengan cahaya yang tidak
terlalu terang.
Saat itu Hana tidak mau masuk ke dalam
kamar karena ada lampion. Tetapi ia mencoba memberanikan diri. Ia berjalan
dengan ketakutan menuju kasurnya. Ia tak punya pilihan lain. Ia sudah berjanji
tidak akan berteriak karena itu akan mengganggu pasien lain. Ia tidur memunggungi
lampion itu. Berharap keajaiban datang dan membuat lampion itu mati, walau ia
tahu itu sangatlah konyol. Namun, ia penasaran. Ia berbalik seraya menutup
matanya. Saat ia mengintip lampion itu dari sela-sela jemarinya, ia terpukau.
Bentuk lampion itu indah. Cahayanya semerah mawar, bunga kesukaannya. Oh,
apakah ia berhasil mengatasi traumanya?
“Lalu, bagaimana dengan dokter itu? Apa
kalian masih saling berkomunikasi?” tanya Niken setelah mendengar rentetan
cerita masa lalu Hana.
Pertanyaan itu sukses membungkam mulut
Hana selama beberapa saat. Ia tertunduk kembali. Merangkai kata-kata yang tepat
untuk menjawab pertanyaan itu. Matanya melirik sekilas ke tribun penonton lalu
menarik nafas dan tersenyum pada Niken.
“Sebentar lagi, kami akan menikah.
Dokter Yoo ada di antara penonton di studio ini.”
Sontak, Niken berdiri dan memanggil
dokter Yoo. Tak lama kemudian, seorang pria jangkung bertubuh ideal memakai jas
biru tua turun dari tribun dan menghampiri Hana.
Yoo dan Hana duduk berdampingan di satu
sofa sementara Niken duduk di kursi yang berbeda. Suasana studio mendadak
hangat karena kehadiran Yoo. Diam-diam, Hana dan Yoo saling memandang. Membuat
lidah Niken gatal untuk menanyakan banyak hal tentang mereka.
“Jadi, berapa perbedaan usia kalian?”
“Kami berbeda 3 tahun. Yoo lebih tua
dariku.”
“Dan Anda, Dokter Yoo, bagaimana kesan
Anda saat merawat Hana?”
“Saat pertama kali bertemu, aku takut
dia akan menjadi liar. Aku ingin menanyakan banyak hal tentang Hana pada paman
dan bibinya, tetapi mereka terburu-buru. Setelah lama menunggu, aku baru sadar
kalau mereka membuang Hana ke rumah sakit kami. Aku tahu, Hana gadis yang
menyenangkan. Dia bisa diajak bicara. Tetapi butuh waktu lama untuk sekedar
mendapat balasan halo darinya. Setiap kali bertemu Hana, yang terpikirkan
olehku hanyalah lampu dan lampu. Jujur, dia pasien terunik yang pernah
kutangani. Dia trauma pada cahaya yang terang dan berkedip. Dan itu membuatku
penasaran. Kenapa bisa begitu? Seburuk apa peristiwa yang membuatnya trauma?.
Dan pertanyaan-pertanyaan itu mengantarkanku pada sebuah ide. Ibuku pernah
mengatakan, menulis bisa menyembuhkan trauma seseorang. Karena saat menulis,
kita seperti tengah bercerita kepada orang lain. Karena itulah, aku merawatnya
dengan memberinya kertas putih, bolpoin dan mawar merah setiap hari.”
“Bagaimana kau tahu kalau Hana suka
mawar merah?”
“Hari pertama tiba di rumah sakit, ia
berjongkok di depan pot mawar merah selama hampir satu jam. Aku pikir dia
sedang melamun, ternyata dia sedang berbincang dengan mawar itu dan sesekali
tersenyum.”
“Benarkah? Jadi kau mengamatiku saat
itu?” tanya Hana tak percaya. Yoo mengangguk dan tersenyum.
“Astaga. Waktu kita sudah habis.
Sungguh, ini adalah acara yang menarik. Aku sekarang tahu bagaimana perjuangan
seorang Hana melawan rasa traumanya dan menjadikannya seorang aktris
profesional. Sungguh, aku berterima kasih karena kau memberiku dan penonton
banyak pelajaran. Aku janji akan mengundangmu lagi nanti.”
“Hahaha… kau bisa saja. Tapi terima
kasih sudah mengundangku. Berkat acaramu, tidak ada lagi yang kurahasiakan.”
Niken mengarahkan pandangannya pada
kamera lalu mengucapkan terima kasih kepada penonton yang telah menyaksikan
acara tersebut. Sebagai akhir, sebuah soundtrack film yang dimainkan Hana
diputar. Semua penonton berdiri dan bergoyang menikuti irama lagu. Sementara
Hana dan Yoo berdiri saling bergandengan.
Tak ada yang mengira Hana akan sesukses
ini. Tetapi semua tak berarti tanpa Yoo dan Tuhan. Yah, masa lalu itu
membuatnya bangkit dan melangkah ke depan. Maju sedikit demi sedikit. Memang,
tak ada yang mudah dalam hidup. Tetapi kesulitan yang ia alami menjadikannya
lebih kuat dan mandiri. Hana memeluk Yoo, lalu mengucapkan terima kasih atas
semua kebaikan yang telah lelaki itu berikan padanya. Sementara Yoo terus
tersenyum. Merawat Hana adalah pengalaman yang tak terlupakan.
Cerpen yang berjudul "Si Bunga Merah" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Wildatuz Zakiah. Kamu dapat mengunjungi blog penulis di www.youngie12.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Si Bunga Merah | Wildatuz Zakiah"