Cerpen Sedih - Wika Pergi | Sandy A Pertiwi
KakaKiky - Panggil saja aku Aki, sebagaimana Wika, wanita yang membuatku menahan rindu bertahun-tahun. Aku sedang memandanginya sekarang. Dia terlihat sangat bahagia, sesekali mengangkat Arka yang senyum-senyum di pangkuannya. Memberikan gelitikan kecil padanya agar tangan kecil itu dengan gemas memukul-mukul tangan Wika. Dress biru langit berlengan panjang itu, seandainya bukan Wika yang memakai, tidak akan aku puji-puji begini dalam hati. Belum aku temui perubahan apapun padanya, selain angka yang bertambah di KTP-nya.
Jam di dinding kamarku menunjukkan
sekarang pukul 3 dini hari. Dan setengah jam yang lalu, aku baru saja pulang
dari sebuah klub malam. Aku belum bisa tidur karena orangtuaku yang masih terus
memarahiku karena aku pulang pagi dalam keadaan mabuk. Terutama ibuku yang
mulai membawa-bawa kuliahku, dan masa depanku. Entah masa depan yang mana? Masa
depan yang mereka harapkan ataukah masa depan yang aku inginkan. Dulu aku
memang tidak pernah pulang selarut itu, baru dua bulan terakhir ini. Aku sering
pulang ke rumah teman mainku, lebih tepatnya teman-teman bandku untuk
menghindari amarah orangtuaku. Mereka tinggal jauh dari orangtua, anak
perantauan, jadi santai saja pulang sepagi itu.
Aku mulai gemar main band sejak tahun
ketiga kuliahku. Kini sudah hampir satu tahun aku bersama mereka. Genre musik
kami aku nilai cukup keren, rock metal. Kami mulai diberi tempat untuk tampil
di beberapa klub malam di kota ini. Aku lupa siapa yang duluan memulai atau
mungkin memang kami terbawa oleh lingkungan main kami, kami mulai minum-minum
sesudah manggung dan nongkrong di sana sampai pagi. Aku senang bersama mereka,
aku merasa menemukan dunia baru yang tidak membosankan. Kuliah kami jadi
sedikit terganggu meski nilaiku masih bisa dianggap aman, tapi Wika, pacarku
mulai protes padaku karena aku sudah mulai kehilangan kontrol diriku.
“Aku mau kita putus” Aku lalu diam,
menanti tanggapan dari Wika.
“Aki bangun, hari ini masih ada UAS.
Jangan lupa janji kamu jemput aku dari tempat praktek hari ini.” Dan tutt..
tutt… Sambungan telepon itu mati. Lagi, pagi ini dia membangunkanku lewat
telepon. Dia tau aku tak ikut kelas pagi ini. Ini juga sudah kedua kalinya aku
mengantakan putus pada Wika, namun entah sengaja atau tidak, dia tak pernah
menjawab atau menanggapinya. Seperti kata itu tak pernah aku ucapkan dan dia
dengar. Dan asal kau tahu, namaku bukan Aki. Narendra Koesmadji, itu namaku.
Tapi menurut Wika, Narendra adalah nama yang sulit diucapkan dan terlalu
panjang. Jadilah dia sematkan nama Aki, panggilan khusus darinya.
Sorenya aku jemput dia. Bahasa tubuhnya
tak menunjukkan kalau kami sedang bertengkar atau renggang. Hanya kami lebih
banyak diam di jalan. Aku membawanya ke salah satu cafe di kota Bandung ini.
Wika, adalah gadis yang sudah aku pacari tiga tahun terakhir. Dulu aku masih
kelas 3 SMA dan dia adalah adik kelasku. Bagiku dulu dia sempurna sekali
untukku, cantik yang sederhana, banyak bicara memang dia. Tapi itu membuatku
betah berlama-lama dengannya. Dulu susah sekali mendapatkan hatinya karena
akunya memang sedikit pendiam. Perjuangan mendapat cintanya berat, dan memakan
waktu yang tidak sebentar. Kami memang tak pernah punya masalah cukup serius
yang membuat kami bertengkar sampai mengatakan kata putus setelah resmi pacaran
dan setelah tiga tahun berlalu. Tapi sekarang ini, masalah itu datang.
“Habis ini kita ke mana? Eh iya, mama
nanyain kamu. Kangen dia sama roti bakar pak Tisna” Katanya,
“Wik, udahan yuk?”
“Eh, bentar deh, itu belum habis makanan
kamu.”
“Gak, bukan itu. Kita udahan, putus.”
Kata-kataku aku buat datar saja. Entah kenapa aku mulai benar-benar bosan
padanya yang sering memarahiku, melarang-larangku melakukan apa yang aku suka
dan, menyalahkan teman-temanku.
“Kayaknya tadi mama nitip roti bakar
pak…”,
“Wika, udah. Aku tau kamu paham. Aku
bosan sama kamu, dan lagi, aku gak mau dilarang-larang lagi.” Wika diam. Aku
pun diam menunggunya menanggapiku.
“Bosan, kenapa?” Kini dia mulai
memandangku dalam. Sorot matanya meminta penjelasan lebih dariku.
“Iya, aku mau lebih nyaman menjalani
hariku sesudah hari ini, tanpa kamu merengek padaku memintaku tidak menjadi
diriku.” Kenyamanan itu nanti nyatanya hanya aku dapatkan disaat-saat aku
bersamanya. Rengekan dan suaranyalah nanti yang akan aku rindukan setiap hari.
Dan untuk kata-kataku selanjutnya, aku sengaja memberi jeda karena sesungguhnya
aku hanya mengarang. “Aku menyukai selain kamu, sekarang.” Kata-kataku sangat
telak dan pasti sangat menyakitinya.
“Putus?” Katanya,
“Sudah tiga kali. Dan harusnya kamu
masih ingat hari apa saja aku bilang ke kamu, kita putus.”
“Aki yang bagaimana yang kamu tuntutkan
padaku sekarang?”
“Aki yang hidup, tanpa harus ada Wika di
dalamnya”
“Kamu bukan Aki, Aki tidak mungkin
setega itu padaku?” Suaranya mulai bergetar. Lalu dia berdiri, masih
memandangku cukup lama. Lalu dia berbalik, melangkah keluar dari cafe dan
seperti berbicara pada angin. “Aki kamu di mana? Ayo antar aku pulang.”
Hari itu aku mengantar dia pulang. Di
jalanan menuju rumahnya, hanya suara tangis dan sesenggukan yang aku dengar.
Aku mulai ragu kalau apa yang aku lakukan ini benar. Kenapa dia tidak seperti
gadis lain yang ketika diputus oleh si lelaki, selalu menuduh si lelaki
selingkuh atau kata-kata lain yang memojokkan si lelaki. Tapi tidak, aku sudah
memutuskan semua ini berakhir, hari ini juga. Wika itu gadis yang cantik dan
pintar. Dia akan segera mendapat pengganti yang lebih baik dariku.
Setelah malam itu, aku memang merasa
lega, dan lebih bebas lagi membawa diriku ke mana dan melakukan apapun yang aku
mau. Wika masih berusaha menghubungiku, dan dengan teganya aku menyuruh pacar
temanku untuk mengangkat telepon darinya dan menyuruhnya berbohong mengaku
bahwa dia pacar baruku. Aku sudah menjadi sejahat itu padanya namun ia masih
saja mempedulikanku. Sampai pada akhirnya aku memang memiliki pacar baru. Ia
lebih cantik, namun dia bukan gadis sebaik Wika. Aku membawanya menemui Wika,
di hari wisudanya. Ia lulus lebih cepat dariku. Semenjak putus darinya aku
kehilangan kontrol sepenuhnya atas diriku. Aku memang tidak sampai menjadi
pengguna nark*ba. Tapi aku masih senang mabuk-mabukan.
Setelah hidup seperti itu selama dua
tahun. Aku mulai mendapati diriku bosan dan jengah. Iya, sudah dua tahun putus
dari Wika dan hidup tanpa aturan. Kuliahku berantakan dan orangtuaku sudah
mulai bosan mengingatkanku untuk berubah. Setiap melihat wajah lelah mereka
setelah menasehatiku, aku merasa tidak seharusnya mereka mempunyai anak tidak
berguna sepertiku. Kakak perempuanku, yang biasanya menenangkan mereka, sudah
tidak tinggal di rumah karena telah menikah dan tinggal bersama suaminya. Kini
tinggal aku, anak lelaki satu-satunya yang sayangnya berandal.
Dengan berbagai alasan aku mulai tidak
ikut kumpul-kumpul dengan teman-temanku di klub. Hanya kegiatan band saja yang
aku ikuti. Aku mulai mengurus kuliahku lagi, kini usiaku sudah menjelang 24
tahun. Teman-temanku masih suka mengajakku melakukan kesenangan kami biasanya.
Dengan tanpa ingin menyinggung mereka, aku mulai menolak dan sedikit demi
sedikit merubah diriku. Semenjak aku kuliah lagi, semenjak itu pula aku kembali
teringat kenanganku bersama Wika dulu. Ingat kembali, tinggal di kota berbeda
pada masa awal kuliah, membuat aku dan Wika hanya bertemu seminggu sekali.
Jarak memberi ruang lebih pada rasa rinduku sekarang ini. Bukan hanya fisik
yang berjarak, lebih fatal lagi, kini hati kami sudah berjarak.
Ingin melihatnya lagi, ingin mengantar
dia pulang lagi. Tapi apa aku masih pantas. Apa aku lupa sudah membuatnya
sesakit apa. Sudah membuatnya begitu kecewa dengan membawa macam-macam wanita
di hadapannya hanya untuk menjauhkannya dariku. Apa sudah tidak waras ingin
mendatanginya lalu meminta maaf?
Setahun setelah aku mulai aktif kuliah
lagi, kini aku harus tugas lapangan berupa magang selama 2 bulan. Aku memilih
sebuah bank swasta yang cukup besar di kota Bandung. Di sana aku akan dibimbing
oleh Ibram, teman SMA-ku dulu yang sudah bekerja di sana semenjak dua tahun
yang lalu. Bukan bertemu Ibram yang membuatku girang. Tapi Wika. Siang itu
Ibram mengajakku untuk keluar makan siang di dekat kantor. Tak jauh dari kantor
ada sebuah Rumah Makan Padang yang cukup besar dan ramai. Maklum jam makan siang.
“Bram, kok bisa sih kamu di sini?”
Tanyaku pada Ibram. “Bukannya dulu kamu suka keluar masuk hutan, aku kira kamu
bakal milih kerjaan yang gak jauh-jauh dari itu”
“Iya Ren, aku masih suka. Tapi ya
menurut aku, cukup hobi aja. Kalau untuk profesi, menurutku bekerja di sini
lebih menjanjikan.”
“Keren!!” kataku sambil menepuk bahunya.
Meski tak sepenuhnya benar, aku juga tidak menyalahkan pendapatnya. Aku seperti
melihat diriku yang kalah oleh ambisi mengejar kepuasan sesaat. Nyatanya aku
gagal. Lalu obrolan kami berlanjut pada masa-masa SMA dulu. Dari membahas guru
yang suka tidur di kelas, sampai kejadian seorang murid sedang kebelet kencing,
kami kurung di kelas sampai ngompol. Kami tertawa terpingkal-pingkal. Tapi
tiba-tiba otot wajahku kaku. Mataku tertuju pada wanita dengan dress hitam
sampai di bawah lututnya, masuk ke rumah makan ini.
“Lihatin siapa, Ren?” Ibram lalu
menengok ke arah wanita itu. “Wika? Oh dia memang kerja di perusahaan asuransi
yang ada di seberang kantor kita.”
“Sudah berapa tahun dia bekerja di
sana?”
“Sekitar dua tahun, sama sepertiku.
Setelah lulus dia langsung apply ke situ dan ditahun kedua dia udah jadi
pegawai tetap.” Lalu aku hanya ber-oh menanggapinya.
“Kenapa sih, putus? Kalian dulu cocok
banget menurutku.” Katanya.
“Panjang Bram, kapan-kapan aja ya”
“Mau nyapa dulu?”
“Gak usah, yuk balik kantor” Aku sama
sekali tak siap bertemu dengannya sekarang. Apalagi posisinya sekarang sudah di
atasku. Aku yang baru magang dan dia sudah pegawai tetap. Sambil berjalan
menuju kantor, kutanya Ibram, dari mana dia tau Wika sudah pegawai tetap.
Ternyata memang mereka sering tak sengaja bertemu di sekitar sini, Wika yang
pertama kali mengenali Ibram sebagai teman sekelasku dulu. Dia sering menanyakan
bagaimana kabarku sekarang.
“Dia udah tau kok kamu magang di sini
sejak sebulan yang lalu.”
“Eh kok, kamu baru bilang sekarang,
Bram?” Aku jengkel. Dia hanya mengangkat kedua bahunya sambil senyum-senyum
padaku.
“Dia masih ngarep tuh sama kamu, coba
temuin dia. Wika itu kan perempuan, gak mungkin dia duluan kan? Aku tahu kok
kamu masih ada rasa sama dia.”
“Gak mungkin, Bram. Udah masa lalu.
Pasti dia udah ada penggantiku sekarang.” Ibram menggelengkan kepalanya. Aku
berusaha merubah topik pembicaraan kami hingga sampai lagi di kantor. Aku
memang masih berharap pada Wika, ingin sekali menyapanya tadi.
Seminggu setelahnya, akhirnya kami
bertemu. Bukan di Warung Padang waktu itu, tapi di sebuah kedai Ramen masih di
area kantor kami. Awalnya kami bertiga, lalu Ibram pulang duluan karena alasan
ada janji. Kini tinggallah aku berdua saja dengan Wika.
“Aki, apa kabar?” Suaranya yang khas
kembali aku dengar setelah dua tahun tidak bertemu.
“Baik, Wika. Kamu bagaimana?” dia
tersenyum manis sekali. Aku lupa, kapan terakhir kali aku mencubit pipinya yang
manis itu. aku berharap bisa berlama-lama mendengarkan dia bercerita. Tapi demi
meningat apa yang sudah aku lakukan dulu, itu tak akan terjadi. Wika bilang
ingin bertemu lagi kapan-kapan denganku. Dia berharap kita bisa kembali baik
dan dekat seperti dulu lagi. Harusnya aku yang menyampaikan semua itu. Namun
malah penolakan yang keluar dari mulutku.
“Aku mau nunggu kamu, nunggu kamu jemput
aku di rumah. Alamatnya masih sama, sama seperti perasaanku yang tidak berubah
padamu.” Tak lama ia pamit pulang. Aku mohon maaf karena tidak bisa
mengantarnya pulang malam ini.
Sejak saat itu, dia berusaha membangun
komunikasi ringan denganku. Aku senang, senang sekali. Akhirnya rasa rinduku
selama setahun belakangan terobati sudah. Tapi aku tetap tak bisa membiarkan
dia terlalu dekat denganku. Aku takut menyakitinya lagi. selama dua bulan aku
magang, kami hanya bertemu dua kali saja, ketika di kedai ramen dan hari
terakhir aku magang. Aku pamit padanya dan sampai menjelang aku wisuda, aku
sering menolak ajakannya bertemu denganku atau ajakannya main ke rumahnya. Aku
tidak bisa bohong. Aku tidak bisa sehari tidak memikirkan dia.
“Bram, aku harus gimana ya sama Wika?
Aku pengen balikan, tapi aku takut dia sakit hati lagi gara-gara aku. Gak ada
orang normal yang sejahat aku ke orang baik kayak dia.”
“Ya udah sih, dia udah maafin kamu juga.
Balik lagi aja gih, sebelum Wika berubah pikiran.” Katanya meyakinkan aku.
“Thanks ya, Bram. Eh, aku wisuda nanti
Desember. Udah gak usah datang, hahaha” jawabku kemudian.
“Wah anak baru lulus aja sombong gini,
mau jadi apa nanti. Hahaha”
Berkat saran dari Ibram, aku beranikan
diri pergi ke rumah Wika untuk mengundangnya datang ke wisudaku nanti.
Menjelang senja, aku sudah sampai di rumahnya. Benar, rumahnya masih sama, cat
hijau toska dengan dua pohon mangga di pekarangannya. Yang beda adalah jumlah
mobil yang parkir di situ. Ada 3 mobil di dalam pekarangan, dan satu di luar,
tepatnya di sampingku memarkir motor. Mungkin keluarganya sedang berkumpul di
dalam. Diterangi cahaya senja yang agak temaram, aku melihat Wika keluar dari
dalam rumah bersama seorang pria. Pria itu sedikit lebih tua dariku, mungkin
sekitar 29 atau 30 tahun usianya. Mereka lalu duduk di beranda rumah. Tiba-tiba
perasaan cemburuku datang. Siapa gerangan pria itu? saudaranyakah? Atau calon
suaminya? Selama 3 tahun kami pacaran dulu, Wika belum mengenalkannya padaku,
jadi pasti bukan saudaranya. Mereka terlihat akrab meski pria itu yang lebih
banyak bicara. Aku ragu apakah aku akan masuk atau tidak. Dan pada akhirnya aku
pulang. Mungkin bisa besok saja aku kembali.
Malamnya sebuah pesan dari Wika masuk.
Sudah bertahun-tahun aku menunggu kamu.
Jemput aku. Tapi kamu tak datang. Kini aku sudah dijemput orang lain. Hari ini dia
melamarku. Besok temui aku.
Kamarku tiba-tiba berubah gelap.
Pandanganku gelap. Aku melempar semua barang yang dapat dijangkau oleh
tanganku. Aku menangis, karena kini aku benar-benar sudah terlambat.
Kami bertemu di sebuah taman di kota
Bandung ini. Sudah satu jam aku duduk di sini, sendirian menunggu Wika. Ini
baru jam 7 malam, sementara ia ingin bertemu denganku satu jam lagi. Perasaan
akan kehilangan Wika yang kuat, membuat pikiranku sedikit kacau.
“Sudah menunggu lama?” suara Wika
membuyarkan lamunanku. Dia memelukku dari belakang. “Kenapa gak bilang kalau
sudah datang sejak tadi?” Jadi Wika juga sudah di sini sejak tadi.
“Jangan begitu Wika, kamu akan menikah.
Pria mana yang suka melihat calon istrinya di punggung lelaki lain.” Kataku
“Lelaki lain siapa, Aki pacar aku, kan?”
“Wika,” Kupanggil namanya, kupanggil
pula tangisnya. Dia menangis lama sambil bersandar di bahuku. Kubiarkan dia
menangis sampai dia berhenti sendiri. Aku pun sebenarnya tak rela kalau ia
menikah dengan orang lain. Setelah percakapan kami selesai, kuantarkan dia
pulang. Bertemu dengan ibu Wika setelah sekian lama, membuatku canggung
sekaligus malu. aku segera berpamitan pulang. Wika seperti tidak ingin
melepasku pulang.
Hari ini adalah hari wisudaku. Tak
sampai mulutku meminta Wika datang. Jadilah hanya ada keluarga dekat serta
teman-temanku yang datang memberikan selamat. Kutanyakan pada Ibram, sepertinya
memang Wika tidak tahu perihal wisudaku ini, menurutnya sudah satu minggu Wika
tidak terlihat makan siang di sekitar kantor. Teman Wika bilang, Wika mengambil
cuti satu minggu untuk pergi ke Kendari mengurus pernikahannya. Jelas sudah,
Wika akan menikah.
Tepatnya hari sabtu, satu minggu sesudah
hari wisudaku, Wika datang ke rumah. Dia meminta waktu berbicara denganku
sebentar.
“Ini buat kamu. Kamu harus datang.
Jemput aku dan bawa aku pergi” sambil menyodorkan undangan pernikahannya,
perkataannya meluncur begitu saja. “Kalau kamu memang mencintaiku, datang,
jemput aku, dan bawa aku pergi.” Itu saja, dan dia langsung pergi dari
hadapanku. Ia tak butuh jawaban dariku, karena itu bukan kalimat tanya, tapi
itu adalah kalimat perintah bagiku. Kalimat pembuka jalan antara aku dan Wika.
Dan kau tau apa yang aku lakukan setelahnya?
Aku datang ke acara pernikahannya. Aku
temui suaminya dan aku ucapkan selamat kepada mereka berdua. Wika menangis
melihat aku datang, karena menurutnya, bukan sekarang harusnya aku datang. Tapi
tadi malam dan kita akan lari bersama. Tapi tidak, saat itu usiaku sudah 26
tahun dan aku tak akan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Aku tidak
mungkin egois, lalu menghancurkan rencana dan impian indah orang lain. Wika
datang menghampiriku yang berdiri di sela-sela tamu undangan yang lain. Singkat
dan penuh penekanan darinya.
“Kamu pengecut!”
Iya Wika, aku memang pengecut. Biarlah
kau memulai hidupmu yang baru, dengan anggapanmu yang seperti itu terhadapku.
Kuharap kau menangis bahagia duduk di pelaminan dengan suami sekarang, bukan
menangisi aku yang jelas-jelas belum bisa membuatmu bahagia, baik yang telah
lalu, sekarang dan puluhan tahun lagi. Kuharap kau tak lagi menginginkan aku.
Lupakan aku dan hiduplah tanpa perasaan sesak menungguku seperti yang telah kau
lakukan selama ini. Berbahagialah mulai sekarang.
Dan sekarang, aku telah berusia 30
tahun. Aku belum menikah. Dan yang sedang aku pandangi sekarang adalah, iya kau
benar, mantan pacarku dulu dan istri dari orang lain. Aku tak pernah berusaha
muncul di hadapannya. Cukup dari jauh saja, aku memandangnya. Melihat dia dan
anaknya bahagia. Melihat kini dia telah sepenuhnya melupakan aku dan memilih
mencintai suaminya. Itu memang pilihan yang paling benar. Dan merindukannya
sekarang, untuk beberapa alasan, adalah salah. Dan aku salah. Entah kapan aku
tidak tahu Wika, aku akan menikah, mendapatkan cinta baru. Cinta yang seperti
cintaku padaku. Entah kapan aku tidak tahu, yang pasti belum sekarang.
Cerpen yang berjudul "Wika Pergi" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Sandy A Pertiwi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Wika Pergi | Sandy A Pertiwi"