Cerpen Sedih - Hujan Terakhir | Erna Cahyani
Oktober 2012, 00:25, hujan rintik.
Sorotan lampu belajar masih memenuhi
meja belajar nya, dia tidak peduli seberapa besar rasa kantuk yang menggelayuti
kelopak matanya untuk segera turun mengantongi kedua bola mata cokelat itu.
Masih menatap berbagai rumus bangun ruang di atas kertas putihnya, pythagoras
yang tak pernah terpecahkan. Di kertas coret-coretan nya berbagai macam angka
dari satuan hingga ribuan telah bertebaran dengan hasil operasi hitung nya,
tidak juga ketemu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membenarkan posisi
duduknya hingga bangku yang ia duduki berdecit, matanya memandang ke sebuah
pigura yang terletak manis di atas meja belajar nya. Foto dirinya dan mantan
kekasihnya yang tidak tahu ada di mana sekarang, tarikan nafas nya berat, entah
ia merasa lega atau melepaskan beban di dadanya yang terkadang sulit ia
lepaskan.
Ia melirik lemah berbagai rumus di
depannya, tugas akhir dari dosen yang kadang tidak mampu ia pecahkan sendiri,
tetapi jika belajar kelompok pun tidak akan membantu banyak, paling hanya
mengobrol dan menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan topik pertandingan
bola atau balapan motor, obrolan umum khas lelaki. Ini tugas akhir yang sangat
menyita waktu, mengerjakan lima puluh soal yang diberikan dosen dengan waktu
kurang dari satu minggu, belum lagi tugas akhir dari mata kuliah yang lain.
Punggung nya tidak kuat lagi menahan pegal yang menggantung, ia hempaskan
tubuhnya ke atas kasur single nya yang empuk, tak kurang sepuluh menit ia
memejamkan mata, pikirannya sudah terbang jauh ke alam mimpi.
Lorong jurusan Teknik Elektro hari ini
cukup ramai, UAS memang selalu menjadi momen yang membuat mahasiswa belajar.
Yang tadinya hanya nongkrong-nongkrong di koridor kampus sambil mengotorinya
dengan kulit kacang rebus, minimal sekarang ada buku yang dijepit di sela-sela
jari mereka, walaupun sedikit yang terhapal.
“Ega!” seseorang memanggil lelaki yang
memiliki postur tubuh jangkung dan berambut gondrong.
Ia menatap wanita mungil yang berlari
kecil ke arah nya dengan menenteng buku di tangannya.
“Ada sesuatu buat lo” ucap wanita itu
kepada Ega.
“Apa Wen?”
Wanita kecil yang bernama Wendy kemudian
membuka tas ranselnya dan mengeluarkan undangan berwarna putih susu dan berpita
cokelat manis di atasnya.
“Dari Keysha, sudah seminggu ada di gue,
tapi baru sempat gue kasih ke lo hari ini. Maaf ya, Ga”
“Dia ulang tahun?” Tanya Ega speechless,
hanya pertanyaan bodoh itu yang mampu keluar dari bibirnya. Wendy menepuk bahu
kiri Ega tiga kali dan lanjut berjalan meninggalkan Ega yang belum berani
membuka undangan yang di sampulnya bertuliskan inisial nama H&K. Hendri
& Keysha .
10 Oktober 2010
“Happy Anniversarry yang ke tiga tahun
ya, Key” ucap Ega sambil membawa strawberry cheesecake dengan lilin angka 3
yang tertancap cantik di tengah kue. Wajah sumringah wanita cantik yang
mengenakan mini dress hitam dengan rambut ikal terurai itu kini menebarkan
senyum yang manis dengan kedua lesung pipi yang dalam di kiri dan kanan
pipinya.
“Egaaa, terimakasih banyak. Aku
terharu.” Kemudian mereka sama-sama meniup api kecil yang tercipta di atas
lilin angka 3 itu, waktu yang tidak sebentar.
Sebuah kecupan kecil didaratkan di
kening Keysha, hal yang tidak pernah dilakukan Ega, mengingat Ega bukanlah
sosok pria yang romantis, bahkan terkesan cuek. Pipi Keysha bersemu merah, dia
tak mampu lagi menyembunyikan luapan rasa bahagianya.
“Semoga kamu gak banyak ngambek lagi ya,
Key” Permintaan yang sederhana dari seorang Ega yang memang sesederhana
sifatnya.
“Iya, semoga kamu juga gak sibuk terus
ya”
Ega tersenyum manis sekali, setidaknya
itu adalah hal yang paling disukai oleh Keysha, senyum manis dari lelaki yang
selama tiga tahun ini ia kejar dan perjuangkan walaupun sesibuk apapun dan
seegois apapun Ega.
“Gimana kalau kita bikin surat? suratnya
kita tukar, nanti kita baca pas kita sudah sampai di rumah. Seperti surat-surat
annive biasanya? Gimana? setuju?” Ajak Keysha yang kemudian disambut kernyitan
dahi Ega, tetapi akhirnya ia mengangguk juga. Keysha meminta dua lembar kertas
dan bolpoin ke waitress restoran dan memberi Ega satu buah keduanya.
Mereka bertatapan sejenak, dan mulai
menulis. Ega lama berpikir sebelum akhirnya menulis beberapa kalimat yang
mungkin akan mengubah air muka Keysha sesampainya ia di rumah.
“Aku sudah! Kamu sudah belum?”
Ega menatap wajah Keysha lama sebelum
akhirnya ia melipat-lipat kertas itu hingga membentuk pesawat kecil dan
memberikannya ke Keysha.
“Nah, janji ya bacanya kalau sudah di
rumah? Hehe. Makan kue nya yuk? sepertinya enak”
Keysha tertawa lebar, Ega merekam semua
itu, ketika itu mungkin menjadi tawa terlebarnya yang terakhir.
Keysha tak pernah sesedih ini, setelah
diantar pulang oleh Ega sampai di depan gerbang rumahnya, ia segera naik ke
lantai dua dan masuk ke kamarnya, mengeluarkan pesawat kertas kecil yang
merupakan surat anniversarry nya yang ke 3. Dengan pelan dan amat hati-hati ia
membuka lipatan-lipatan kecil itu hingga menjadi kertas utuh dengan tulisan Ega
yang sangat ia kenali. Hanya ada beberapa kalimat, sedetik, dua detik, satu
menit. Keysha membaca itu berulang kali, senyum yang terkembang di bibirnya
memudar, berharap yang ia baca bukanlah surat annive nya, berharap surat yang
ia baca bukan dari seorang Ega Putranto. Tetapi ternyata benar, berkali-kali
Keysha mengulang kalimat yang ada di atas kertas itu, beberapa kalimat itu
berputar-putar di otak nya. Bulir-bulir air mata pun menetes dari rintik hingga
menderas, mengalahkan ritme rintik lain yang turun di luar sana.
Ega menatap kertas putih dengan tulisan
rapi di depannya dengan nanar, perasaannya sudah kebal dengan rasa sesal,
membayangkan wajah Keysha yang tak semanis tadi.
To: Ega Putranto
From: Keysha Melia
Selamat hari jadi ke tiga tahun ya, Ga.
I’ll always be yours, forever and more. Jangan terlalu banyak cuekin aku ya,
tadi itu kejutan paling membahagiakan dalam hidup aku. Thanks for being mine.
Aku cinta kamu, Ega 🙂
Ega menyimpan kertas itu, di tempat
tersembunyi yang tak ia harapkan akan ia lihat lagi. Maafin aku Key. Rintik
hujan pertama di bulan Oktober yang kemudian menderas.
Hempasan tubuh Ega membuat per spring
bed nya memantul lebih keatas dan mengguncangkan tubuh Ega seperti baru
diterjunkan dari lantai sepuluh. Ujuan Akhir Semester kalkulus yang sangat
rumit membuat pikiran Ega bercabang-cabang. Mahasiswa seperti Ega adalah
seorang yang tak pernah main-main dengan kuliah, pekerja keras, sampai
terkadang ia melupakan orang di sekitarnya. Tas ranselnya tergeletak di
sampingnya, memandangnya sejenak, ada sesuatu yang belum sempat terbaca sejak
siang tadi. Ia membuka resleting tas ranselnya, melihat sebuah undangan manis
berwarna putih susu, membuka plastik pelindungnya dan mulai membaca isinya. Ada
sesuatu yang tak beres berkecamuk dan mendidih di dalam dada nya.
Undangan pernikahan Keysha. Keysha akan
menikah beberapa hari lagi, tanggal 10 Oktober 2012, sial! wanita yang ia
cintai tapi selalu ia sia-siakan kebaikannya, selalu ia abaikan senyumnya, dan
menganggap perhatiannya sebuah gangguan.
Ega mengetik sebuah nomor yang ia hapal
di luar kepalanya, bukan rumus matematika, bukan rumus kalkulus, menekan tombol
hijau dan berharap nomor itu masih menyambungkan dirinya ke orang yang dulu.
09 Oktober 2012, Skydinning. Angin
kencang, mendung.
“Aku kaget begitu dengar suara kamu di
telepon. Mendadak sekali minta ketemunya, hehe” Ujar Keysha sambil menyeruput
strawberry milk tea nya. Ega berusaha terlihat tenang, gadis di depannya ini
tambah cantik dengan bolero biru yang ia kenakan sebagai luaran.
“Mengapa secepat ini Key?” ucap Ega yang
tertahan. Air muka Keysha tidak lagi setenang tadi, rahangnya mengatup, menahan
sesuatu yang beberapa hentak lagi akan keluar.
“Ya, secepat itulah, Ga. Seperti pesawat
bencana yang kamu kirim ke aku dulu, secepat itu juga kan kamu mengambil
keputusan itu setelah kita bersama-sama meniup lilin anniversarry kita?.
Seharusnya aku yang bertanya saat itu, tetapi aku tahu, egomu lebih besar, dan
pertanyaanku pun akan kau jawab dengan berjuta alasan yang sering kali
kudengar. Saat itu aku pasrah, mengapa? Karena tidak ada lelaki manapun yang
tega memutuskan hubungannya di hari jadinya, tidak ada, kecuali lelaki brengsek
seperti kamu, Ga.” tutur Keysha, matanya mulai berair dan terasa panas.
“Aku mencintaimu, Key. Aku hanya tidak
ingin sesuatu menghambatku untuk mencapai cita-citaku” sergah Ega cepat.
“Aku sudah terlalu hapal dengan
alasanmu, bahkan sebelum kamu menjawab pertanyaanku dulu. Kamu egois, lelaki
paling egois. Telat Ga, kalau kamu selalu berpikir aku menghambat masa depanmu,
maka malam ini, pertemuan ini sangat menghambat masa depanku. Aku mempunyai
masa depan yang harus kutatap besok. Besok, jari manisku sudah tidak kosong
lagi, sudah ada yang melingkar manis. Aku tidak ingin pertemuan ini merusak
segalanya, seperti kau merusak semua mimpi-mimpiku bersamamu dulu.”
“Key, aku mohon.” Pinta Ega sekali lagi,
matanya berair.
“Maaf Ga. Tidak seharusnya aku berada
disini.” Keysha berdiri, hendak meninggalkan Ega, masa lalunya. Kemudian
sesuatu hal menyeretnya kembali ke meja dan menemui Ega.
“Oh iya, ini pesawatmu. Selamat tinggal
Ega”
To: Keysha Melia
From: Ega Putranto
Aku mencintaimu, Key. Tetapi, aku tidak
bisa melanjutkan ini semua. Aku ingin mengejar masa depanku tanpa harus
khawatir meninggalkanmu. Demi kebaikan kita berdua, agar kamu tidak selalu
khawatir akan aku, aku meminta maaf, aku kira tiga tahun cukup waktuku untuk
mengenal cinta yang kau berikan. Terima kasih, selamat tinggal.
Ega tertawa sinis, rasa sesal bukan lagi
kebal untuknya. Tapi rasa sesalnya kali ini menguap dan berkondensasi sehingga
merintikkan air mata. Rintik itu menderas dan menambah rintik lain yang kini
turun membasahi tanah dan rumput, membuat setiap orang menyeduh kopi dan
menarik selimut ke atas tubuhnya. Dan seseorang yang lain lagi memandang rintik
hujan malam ini dari dalam mobil, matanya masih menatap jalan di depannya.
Pertemuan pertama dan terakhir bersama seseorang yang pernah ia cintai, yang
pernah ia kecup keningnya di hujan pertama bulan Oktober. Ia masih menanti,
kapan tetes hujan terakhir turun dan meluruhkan semua rasa yang sesak di dalam
dadanya.
Cerpen yang berjudul "Hujan Terakhir" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Erna Cahyani. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Erna Cahyani.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Hujan Terakhir | Erna Cahyani"