Cerpen Kehidupan - Kembalinya Seorang Aktivis | Magvirasari Lestari Linra
Kembalinya Seorang Aktivis - Magvirasari Lestari Linra
Catatan dari 30 Maret 2012
Siang hari disaat matahari terik membakar Kota Makassar. Tampak air turun dengan derasnya dari gas air mata petugas keamanan dan asap tebal yang membubung tinggi di angkasa dari ban bekas yang dibakar para demonstran. Seperti airmata rakyat yang menangis karena penderitaan dan kabut akan masa depan mereka yang semakin tidak jelas.
Mahasiswa lalu datang atas nama pahlawan
untuk menolong, tapi pada kenyataannya jutru menorehkan luka pada sebagian
masyarakat. Tak tahu lagi siapa yang akan disalahkan, mahasiswa ataukah
pemerintah sepertinya sama saja. Rakyat sama-sama tidak merasa damai, tidak
percaya, dan tidak nyaman lagi atas kehadirannya.
“Gulingkan Pemerintah!”
“Gulingkan Pemerintah!”
“Pemerintah anj*ng!”
“Turun… Anj*ng…!”
“Turunkan BBM… Turunkan BBM…!”
Sumpah serapah sambung menyambung dari
berbagai arah, kata yang sebenarnya tak pantas diucapkan mahasiswa sebagai
mahkluk bermartabat dan berilmu tinggi. Barangkali teman-teman mahasiswa lupa
kalau mereka selain sebagai agent of change dan social control, mereka juga
mempunyai label sebagai moral force. Tapi pada kenyataannya, tidak ada lagi
bedanya antara mahasiswa, tukang becak, dan buruh dalam menyampaikan pandapat.
“Betul-betul ini mahasiswa, apa sih
maunya? Bikin macet aja, mending tidur di rumah”. Kata seorang penumpang
angkutan kota kesal. “Iya ya mahasiswa sekarang pada keterlaluan, harusnya kita
sudah sampai kantor jam segini, eh… malah terdampar disini. Gini-gini kita juga
rakyat juga kali, katanya membela rakyat yang dibilang rakyat itu yang bagaimana
sih? Kayak bisak asih makan saja kalau kita ngak kerja?” Sungut penumpang yang
lain. “Yang lebih para itu kemarin bu, macet sampai seharian penuh. Baru ini
demo BBM, baru itu kan mobil kalau macet begini bensin banyak terbuang” Sopir
angkutan kota juga ikut menimpali. Banyak lagi ocehan negatif lainnya namun aku
memilih diam, meski aku juga mahasiswa. Toh relitasnya di lapangan memang
begitu.
Pandangan kita tentang demonstrasi
berbeda-beda, bahkan dikalangan kita sesama mahasiswa saja sudah beda-beda, apalagi
untuk ‘sebagian’ rakyat yang masih awam. Teman saya yang kontra mengatakan:
“Demonstrasi hanya pekerjaan sia-sia, tak lebih dari orang gila berteriak parau
di bawah terik matahari.” Untuk beberapa dari kita hal ini memang tidak masuk
akal. “Demonstrasi hanya membuat jalan macet dan menimbulkan anarkisme.” Tambah
teman lain yang tidak setuju. Kata seorang teman lagi “demonstrasi hanyalah
kebodohan, tindakan sia-sia, dan tidak ‘intelek’. Sementara di sisi lain,
mereka yang setuju pada aksi demo percaya bahwa demontrasi adalah perjuangan
untuk membelah kebenaran. Teman saya yang pro mengatakan “Mereka yang tidak
setuju dengan aksi adalah orang pasif dan tidak memiliki kepedulian. Mereka
lalu mencap kelompok kontras sebagai burjois, hedonis, arogan, dll.
Jika ditanya “siapa yang benar?”,
jawabanku “hanya Tuhan yang tahu.” Karena tujuan para demonstran banyak, ada
yang betul-betul untuk membela rakyat, ada yang mencari jodoh, ikut arus karena
disuruh senior dan berbagai alasan lainnya. Tapi yang parah jika ikut
demonstrasi karena uang (demonstran bayaran). Untuk mereka yang kontra,
tergantung bagaimana alasan mereka juga, jika ingin membenarkannya.
Teriakan membahana memakakkan telinga,
di antara puluhan demonstran bermata nanap saat aku lewat di depan gedung DPR.
Mungkin tidak semua mengerti kenapa sebenarnya ada disitu. Seperti sebelumnya
saat aku bertanya pada seorang MABA di jurusanku “Sebenarnya tujuan kamu ikut
demo itu apa sih?” Terlihat dia hanya manggaruk-garuk kepala sambil tersenyum.
“Ya, karena disuruh senior jadinya ikut-ikutan aja walaupun ndak mengerti sih
sebenarnya ngapain teriak-teriak. Itung-itung cari pengalaman langsung di
lapangan aja, demonstrasi itu kayak gimana”
Akan halnya aku yang lebih memilih untuk
menjadi pengamat, karena aku bukan orang yang suka mengikuti arus jika tidak
mengerti akar permasalahan. Tapi aku bukan Sok Hoe Gie seperti yang dikatakan
temanku pada suatu waktu. “Kamu itu sok-sok jadi Sok Hoe Gie banget deh” Aku
hanya tersenyum kecut “Yang jelas aku berbeda dengan Sok Hoe Gie, dia ikut
turun langsung menjadi pengamat dalam demonstrasi sedang aku hanya melihat dari
luar. Tapi aku lebih memilih menjadi Soe Hoe Gie, dibanding menjadi
teman-temannya yang munafik pada akhirnya karena uang dan kekuasaan.”
“Kawan-kawan, penindasan di Indonesia
sampai hari ini belum juga selesai. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 hanyalah simbolik belaka. Kenyataannya, kita belum
merdeka 100%! Kawan-kawan, kita tertindas di tanah kita sendiri. Terjajah oleh
penguasa negeri kita sendiri, negara kita minyak memiliki bumi berlimpah. Tapi
mereka nyata-nyata telah melakukan penindasan terhadap rakyat, kenaikan BBM
akan menyengsarakan rakyat kecil. Betul tidak, kawan-kawan?!” Suara sang orator
terdengar lantang saat aku lewat di fly over depan gedung DPR yang menjadi
basis utama berlangsungnya aksi.
“Betuuul… betul…!” suara sang orator
disambut parademonstran seperti ingin meruntuhkan langit.
“Revolusi belum selesai, kawan-kawan!
Apakah kalian siap untuk sebuah revolusi?” “Siiiap!”
Memang bukan hal baru, bila masyarakat
(mahasiswa) menggunakan demonstrasi sebagai cara untuk menyuarakan aspirasi
mereka. Bahkan sejarah bangsa ini telah mencatat bahwa demonstrasi benar-benar
telah membawa pengaruh besar pada alur perjalanan bangsa Indonesia, yaitu
sekitar tahun 1966 dan 1998. Namun, melihat perkembangan demonstrasi
akhir-akhir ini, barangkali kita juga merasa jengah, prihatin, bahkan miris.
Sebab, tak jarang demonstrasi-demonstrasi tersebut diwarnai dengan tindakan
anarkis yang merugikan banyak pihak, termasuk rakyat sendiri. Bukannya
menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru
“Hidup Mahasiswa! Hidup rakyat
Indonesia! Hancurkan penindasan!” “Hidup…” Sambung-menyambung suara lain
memekakkan telinga menyambut ucapan sang orator.” Seketika suasana berubah,
asap hitam mulai menghalangi pandangan bersama teriakan-teriakan yang sudah
tidak jelas lagi. Hingar bingar orang berlarian bersamaan dengan pagar besi
gedung DPR diguncang-guncang demonstran.
“Ayo serang…!” Seperti zaman penjajahan
saja. Ayo serang…! serang… serang…!” yang lainnya ikut berteriak sekaligus
bergerak maju. Polisi yang sedari tadi berjaga segera ambil tindakan, menghalau
para demonstran. Aksi saling dorong dan lempar-lemparan batu terjadi, beruntung
aku sudah jauh dari lokasi meski masih terlihat jelas dari lokasi.
Aparat pun menjadi bulan-bulanan
lemparan batu dan serangan mahasiswa. Barangkali teman-teman mahasiswa juga
sudah lupa kalau sebenarnya aparat itu rakyat juga, mereka hanya menjalankan perintah
dan tugas saja. Aparat seringkali berada pada pihak yang salah ketika terjadi
peristiwa anarkis dalam demonstrasi. Dari pihak pemerintah dikatakan tidak
tanggap, sedang dari mahasiswa menganggapnya sebagai momok yang menghalangi
aksi mereka.
Padahal, sebagaimana kalimat iklan
“prajurit juga manusia”, sehingga aparat (prajurit) harus dipahami sebagai
manusia yang memiliki berbagai problem, memiliki cita-cita, bisa marah, bisa
gundah, bisa menentang hal yang tidak sesuai dengan nuraninya, dan sebagainya.
Apalagi pada dasarnya sebagian besar mahasiswalah yang mulai, bagaimana mungkin
aparat akan diam saja ketika diserang. Sama saja kayak kita kalau diserang
pasti melakukan defence mechanism.
Aku jadi ingat cerita yang pernah kubaca
berjudul “prajurit jatiman”, tapi lupa siapa penulisnya.
“Kalian demonstran! Demonstrasi! Tapi
kalian bukan orang susah! Sebentar lagi kalian jadi sarjana. Jadi ahli hukum
pembela konglomerat busuk dan koruptor! Jadi ahli ekonomi yang menguntungkan
orang kaya dan bikin miskin rakyat jelata! Jadi politikus, menipu rakyat kecil!
Jadi menteri dan presiden!!! Huh!! Dulu juga mahasiswa demonstrasi-demonstrasi
begini, hasilnya rakyat tetap miskin!! Demonstrannya yang kaya, jadi pengusaha,
jadi macam-macam ahli-ahlian, semuanya bikin sengsara!! Sekarang begini lagi, demo-demoan
lagi, jadi penguasa lagi, jadi politisi lagi, jadi menteri lagi, kaya sendiri,
senang sendiri, kami tetap sengsara!!”
Memang benar, di antara teman-teman
aktivis banyak yang kemudian mengisi kursi-kursi di pemerintahan dan mereka
‘aparat’ tetaplah jadi rakyat. Di demo seperti sebelumnya yang pernah mendemo.
Jika sebelumnya beringas ketika pemerintah tidak mendengar dan membiarkan
mereka lama-lama terpanggang matahari hal yang sama kembali dilakukan. Hal yang
sama dilakukan “sebagian” aktivis tiap generasi, giliran mendapat kekuasaan
mereka justru menutup mata dan telinga dan lebih parahnya lagi justru
ikut-ikutan merongrong rakyat dengan korupsi.
Selepas dari kemacetan panjang dan
sesampai di rumah sore itu (jumat, 30/3/13) langsung kuserbu tempat tidur
saking lelahnya. Namun terlihatlayar HP ku berkedip-kedip, perlahan kupancet
tombol hijau.
“Halo… assalamualaikum.”Sapaku membuka
percakapan dengan suara lemah.
“Waalaikumsalam” Balasnya bersemangat.
“Tadi ikut demonstrasi ngak? Kok sampai
loyo gini suaranya?” Tanyanya
“Ngak, aku ngak ikut. Aku baru sampai
rumah, kejebak macet tadi. Hampir seharian di jalan”
“Bagaimana sih kamu ini gitu aja sudah
mengeluh, harusnya sebagai mahasiswa kamu ikut membela rakyat dong. Kamu
mahasiswa atau bukan sih?
“Ya mahasiswa lah,” Balasku sedikit
emosi.
“Tugas mahasiswa bukan hanya belajar,
tapi juga punya tanggung jawab moral: memperjuangkan rakyat.” Ceramah dari
temanku yang “katanya” kini jadi aktivis. “Mahasiswa tak boleh terpisah dari
rahim rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei).” Lanjutnya
bersemangat.
“Ya kita memang sama-sama mahasiswa,
tapi persepsi kita beda juga halnya dalam paradigma. Bagiku “jika dasar tidak
kuat untuk memprotes, aku tidak mau berdiri selama berjam-jam dibawah terik matahari
sambil berteriak-teriak.”
“Oh gitu ya! Terus bagaimana pandangan
kamu tentang demonstrasi?” Tanyanya kini dalam suara normal
“Lepas dari fenomena ‘demonstrasi
berbayar’ atau semacamnya, sejujurnya saya pikir aksi demontrasi punya niat
yang baik. Tidak semua dari kita punya kepedulian terhadap sesama. Kebanyakan
dari kita lebih suka ‘belajar tekun, lulus, kerja, hidup bahagia’. Itu tak
salah, tapi jelas lebih tak salah lagi kita punya kepedulian sosial itu
memikirkan bagaimana perasaan korban penggusuran atau dampak dari kenaikan BBM
dan sebagainya. Teman-teman tidak hipokrit dengan menutup mata atas kenyataan
pahit di sekeliling dan atleast teman-teman berbuat sesuatu. Jika yang kita
bicarakan adalah demonstrasi, ya demontrasi adalah “cara”. Cara penyampain
pendapatnya itulah yang aku tidak setuju, bayangkan ketika kita membelah rakyat
yang tertindas tapi kita sendiri menindas rakyat dengan anarkisme. Jadi
daripada mempertanyakan apakah saya pro atau kontra dengan demonstrasi, mungkin
pertanyaan yang semestinya ditanyakan adalah: Apakah demonstrasi memang cara
yang efektif untuk menuntut sebuah perubahan?
“Menurutkamu bagaimana?” Temanku balik
bertanya
“Kalau menurutku demonstrasi sekarang
tidak efektif lagi, buktinya kita yang katanya membela rakyat. Tapi kok rakyat
justru tidak terima dengan apa yang kita lakukan dan kian tidak simpatik dengan
aksi demo. Pemerintah atau rektorat juga mulai capek (atau terbiasa) mendengar
aksi demo. Itu adalah masalah besar, karena syarat utama dari sebuah tuntutan
atau gerakan perubahan bisa sukses adalah kalau suara tuntutan itu memang
‘cukup keras’ untuk didengar.
“Kita berhak punya persepsi
masing-masing tapi menurut aku ‘kadang kita juga perlu anarkis’, anarkis juga
belum tentu di dengar apalagi kalau lembek. Rakyat belum paham aja, hingga
melihat kita hanya dari sisi negatifnya saja!” Katanya tegas.
Ada benarnya juga, hanyalah demonstran
yang terlalu sensitif dengan apa yang salah disaat oknum pemerintah enak-enakan
menikmati buah dari kesalahannya terhadap rakyat. Karena rakyat kadang belum
berani menyampaikan aspirasinya” Dibenak saya lalu terbayang pemerintah yang
makan enak, dimanjakan dengan kamar mandi mewah, diberi kenyamanan nomer wahid
bahkan jika dalam penjara sekalipun. Memang tidak adil pemerintah sedang asik
main sendiri dengan uang rakyat, lebih mirip orang autis yang sibuk sendiri.
Tapi benarkah mereka sedang main? Atau mereka menyumpal kuping mereka dan
menutup mata mereka? Kembali lagi “Hanya Tuhan yang tahu” mungkin kata inilah
yang lebih tepat.
Demonstrasi punya banyak cerita,
kudengar selentingan di kalangan teman-teman yang suka demo “cinta bersemi di
kala aksi”. Di tengah-tengah perjuangan begini, masih sempat-sempatnya orang
mencoba mencuri keuntungan. Dasar pecundang!” Tak bisa dipungkiri ada cerita
cinta juga di lapangan saat demonstrasi, tak kalah dari cerita lovein Perth dan
love in Paris.
Aku sebut saja nama temanku Arya (nama
samaran), anak pensiunan polantas yang jauh-jauh ke makassar untuk menuntut
ilmu.
Orang tuanya pernah berpesan, kebetulan
waktu itu kami sama-sama sebagai calon mahasiswa baru yang sudah lulus tahap
SNPTN: “Nak, rajin belajar disana dan jangan tinggalkan shalat serta
baik-bailah selama di Makassar. Jangan kau lupakan pesan ibu dan bapak, nak.”
Pesan yang sama kudapatkan dari orangtuaku, beberapa menit sebelum mobil yang
kutumpangi menjemput Arya.
“Iya bu, saya akan selalu ingat nasehat
ibu, saya pamit dulu bu!” Ujarnya tergesa dan naik mobil sebelum mencium tangan
ibunya.
Pesan itu tak berlaku lagi untuk Arya,
buku paket kuliah pun sudah berubah diganti dengan bukunya Marxis, Che Guevara,
Mao Tse Tung, Jean Jacques Rousseau, dan buku-buku lain seputar revolusi. Suatu
waktu dia bertanya padaku “Masih rajin pergi kuliah Vhir? Kuliah itu hanya
pembodohan, jadi ngaku sah terlalu rajin-rajin amat jugalah”. Aku hanya
tersenyum, bagaimanapun itulah tujuanku datang ke Makassar “untuk kuliah”. Kini
dia menjadi bagian dari organisasi bernama Komite Mahasiswa Revolusioner (KMR).
Kata bundanya saat aku pulang liburan
semester (2) kemarin, selama kuliah di Makassar Arya belum pernah pulkam
(pulang kampung). Jika ditelpon “sibuk terus” itulah kata bundanya. Dunia pun
jadi terbalik, bundanyalah yang datang menjenguk setiap bulan ke Makassar,
sementara ayahnya marah besar dan menganggapnya anak durhaka.
“Nak, ibu kangen sama kamu!” Kata
pertama yang diucapkan ibunya setelah berbulan-bulan tidak ketemu.
“Aku juga kangen kali, ibu. Jangan
peluk-peluk disini dong bu! Malu ni diliatin banyak orang?” kata Arya risih
diliatin teman-temannya yang lagi ngumpul-ngumpul di halaman depan kostnya
waktu itu.
“Kau sudah lupa dengan orang tua, kamu
tidak pernah pulang lagi. Kenapa, Nak?” Bundanya mencium Arya bertubi-tubi
untuk melepas rasa rindu.
“Saya tidak lupa, Bunda. Hanya saja, ada
tanggung jawab besar yang lebih penting.
“Apa itu, Nak?” Tanya bundanya heran
“Membela rakyat, bunda. Yah, membela
rakyat adalah tugas setiap intelektual revolusioner.” Ibu Arya hanya
mangut-mangut antara mengerti dan tidak mengerti, lalu mengalihkan pembicaraan.
“Kamu belum melupakan Tuhan kan nak,
masih shalat kan?”
“Bunda, tidak ada waktu lagi, banyak
kegiatan.” Ya kegiatan rutin Arya tiap hari adalah diskusi dan aksi. “Itu
ibadah yang lebih penting, ibadah sosial.” Sambung Arya lagi, bundanya hanya
mengurut dada. Tak menyangka anak kesayangannya berubah sedrastis ini.
“Jadi kau tak sholat lagi, Nak?” Kata
bundanya dengan isak tangis
“Bunda, saya anggap agama itu hanya
sebagai aturan konyol. Itu hanya membuat orang miskin agar tak melawan. Apa
gunanya beribadah? toh Tuhan hanya diam saja melihat penderitaan rakyat akibat
penindasan. ‘Suara rakyat’ itulah suara Tuhan, Bunda.”
Bunda tak kuasa lagi membendung
tangisannya. Anaknya yang tercinta telah melukai hati dan meninggalkan
amanatnya. Mungkin Arya lupa, kalau ibunya juga rakyat, berarti dia belum
menyadari kalau sebenarnya suara ibunya saat itu adalah suara Tuhan dan dia
begitu lama telah mengabaikan suara Tuhan itu. Ya tidak sesuai dengan yang Arya
katakan, karena demi suara Tuhan yang lain Arya telah meninggalkan suara Tuhan
‘bundanya” sendiri.
Bram tak kuasa melihat air mata ibunya.
Ia segera menjatuhkan diri ke lantai dan mencium kaki ibunya.
“Maaf bunda.., ampun… ampuni aku bunda!
Saya akan ikuti pesan ibunda. Tapi, maafkanlah anakmu bunda, aku akan tetap jadi
aktivis.”
“Aku tak pernah melarangmu nak, menurut
ibu itu mulia nak. Hanya saja ibu menginginkan kamu tetap berjalan di jalan
Tuhan dan pulang jika ada waktu nak. Ayahmu merindukanmu dan sangat kecewa
melihat kamu seperti ini nak”
“Insyah Allah, bunda.” Ujar Arya panik,
takut jika ibunya terus menangis
“Jangan hanya janji, nak.”
“Iya, bunda, pasti… nanti akan
kulakukan.”
Tangis ibunda Arya mulai reda berganti
dengan sanyuman di wajah yang mulai menua itu. Arya, sang pemberontak muda,
takluk juga di bawah telapak kaki ibunya.
Kembalilah nak. Kata bunda sambil
memeluk Arya.
“Aku akan kembali ibu, tapi aku akan
tetap berjuang”
Demonstrasi memang kadang membuat kita
terlena “menghianati diri sendiri dan teman-teman.” Contoh kecil banyak di
antara teman-teman yang katanya pencinta alam, tapi saat demo malah merusak
alam. Menghianati rakyat, juga dilakukan sebagian orang dengan tujuan pribadi
yang terselebung. Harusnya demonstrasi tidak merubah kita jadi sangar, lupa
Tuhan, lupa orang tua atau hal negatif lainnya. Demonstrasi seharusnya merubah
kita menjadi lebih mulia, karena kita berjuang atas nama kemuliaan untuk mendapatkan
kebenaran dan keadilan.
Dalam pergerakan massa seperti
demonstrasi mencari yang salah adalah hal yang sulit. Sebaiknya kita tidak
langsung menggeneralisasikan kalau mahasiswa atau pemerintahlah yang salah.
Sebagian dari mereka hanya sebagai alat atau korban yang tidak tahuapa-apa.
Terus siapa yang bersalah? Ya merekalah
yang berbuat kesalahan. Sebagian dari pemerintah, sebagian dari aparat, dan
juga sebagian dari mahasiswa. Pemerintah lebih sedikit jika dibandingkan kita
untuk menampung keluhan-keluhan kita, yang salah adalah ketika mereka melanggar
aturan seperti korupsi dan melakukan tindakan kriminal lainnya atau semacamnya.
Aparat memang tugasnya untuk menegakkan keamanan, kita juga tidak bisa
menyalahkan jika kita melakukan kesalahan dan mereka mengamankan kita, yang
salah ketika mereka menerima suap dan melanggar aturan-aturan lainnya sesuai
dengan kode etik mereka dan kita sebagai mahasiswa, sebagian dari kita telah
melakukan kesalahan dengan memprovokasi untuk melakukan tindakan agresi atau
melakukan langsung serta tindakan lain yang melanggar aturan.
Catatanku:
Sepertinya kita perlu inovasi dalam
menyampaikan pendapat, sekarang bukan lagi pendapat kita yang perhatikan, tapi
justru tindakan kita. Tindakan unik yang seharusnya dilakukan orang kreatif
seperti kita ‘mahasiswa’, namun yang nampak justru kesangaran dan tindakan
agresifitas yang menuai kecaman dari sebagian masyarakat dan pemerintah. Jika
terus berkaca pada tumbangnya rezim ORLA, sepertinya sistem dulu dan situasinya
sudah berbeda dalam hal ini juga, kita memerlukan inovasi. Marilah kita
sama-sama melakukan hal baru yang kreatif yang belum pernah ada dari sekarang,
jika ingin kita di dengar lagi…
Cerpen yang berjudul "Kembalinya Seorang Aktivis" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Magvirasari Lestari Linra. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Vhirsha Lestari Linra.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Kembalinya Seorang Aktivis | Magvirasari Lestari Linra"