Cerpen Kehidupan - Pelangi | Imuk Yingjun
Agung bersemangat saat dirinya mengira Riana tersenyum padanya sore itu. Betapa Agung merasakan getaran cinta yang hebat dari perempuan yang diam-diam dicintainya selama ini. Jarang-jarang Agung bisa menikmati senyum seorang kembang desa yang paras kecantikan apalagi pamor namanya sudah terdengar sampai ke desa sebelah. Bisa melihat senyum Riana yang indah, apalagi gadis itu berkenan membalas, sungguh seperti mukjizat rasanya.
Dan tidak jarang pula banyak pemuda
bahkan remaja dari desa tetangga yang sering bersilaturahmi ke kediaman
orangtua Riana. Termasuk Agung yang tidak lain hanya ingin berbasa basi tanpa
peduli harga diri. Niatan itu memang bukan bersilaturahmi, melainkan hendak
menikmati paras Riana yang elok seperti bidadari. Gadis berusia 20 tahun itu
memang sedang ramai dibicarakan penduduk sekembalinya ia dari sekolah tinggi di
Jakarta.
Pun Riana gadis yang cerdas. Murah
tersenyum dan menghormati siapa saja yang ditemuinya. Menjaga pandangan dan
tutur kata. Bersosialisasi dan mengajarkan ilmunya pada anak-anak di desa tanpa
pamrih. Hal itu yang membuat anak-anak muda mulai dari anak tukang pikul hingga
anak orang berpangkat mencari simpatik gadis itu apalagi kalau bukan masalah,
mendapatkan cinta. Malam ini Agung datang ke rumah. Dia bercerita padaku kalau
kemarin sore dia menumpai Riana di ruas jalan dan mereka saling bertatap muka
kemudian diakhiri dengan perpisahan dan senyuman. Senyum sederhana antara dua
insan yang membuat Agung girang bukan kepalang. Senyum yang menjadikan Agung
merasa menjadi laki-laki yang paling beruntung di dunia ini. Agung lupa diri.
Dia terbawa indahnya paras Riana. Berkali-kali dia berbicara meninggi kalau
Riana jatuh hati padanya. Aku diam saja.
“Jarang, War. Laki-laki ganteng di
desa ini yang mau di lirik oleh Riana. Gadis itu nggak sembarangan membiarkan
matanya melihat paras setiap orang. Aku termasuk beruntung karena Riana sudi
memberikan senyumnya padaku…” ujar Agung sedikit pongah. Aku diam saja. Agung
tersenyum berseri-seri dan aku melihat wajahnya tampak semakin cerah. Aku
sadar, sejatinya Agung memang tampan. Malam itu aku dan Agung bernostalgia
hingga pagi menjelang. Ibu menyuguhi kami sepiring ubi goreng dan dua gelas
kopi hitam yang tidak terlalu manis. Karena aku dan Agung memang tidak suka
kopi yang terlalu manis. Malam terang benderang dan langit penuh bintang
gemintang. Tak sedikitpun tampak awan di atas langit. Warna biru saja yang
terlihat mendamaikan jiwa. Agung terus berbicara. Aku diam saja. Aku hanya
berkata jika Agung bertanya. Selebihnya. Aku diam saja.
Ketika angin berhembus pelan. Beberapa
nelayan sudah mulai menarik perahu mereka. Remaja-remaja tanggung yang putus
sekolah biasa menjadi kuli tetap di tepi pantai desaku ini. Contohnya Tirta,
remaja itu hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SMP saja. Ia memilih
menjadi kuli nelayan karena mendapatkan uang menurutnya sangatlah mudah
ketimbang harus sekolah dan susah-susah belajar. Apalagi harus melihat
orangtuanya mati-matian banting tulang mencari uang, toh besarnya kelak Titra
juga seperti ayahnya. Profesi nurani alias panggilan jiwa, jadi buruh
serabutan.
Angin bertiup semilir. Beberapa
nelayan sudah melesat hingga ke tengah-tengah laut. Aku masih duduk sendirian
di bawah batang nyiur sambil sesekali menggoyang selulerku mencari sinyal.
Desaku belum ada tower Telkomsel. Kalau di Kabupaten sudah ada. Itu sebabnya
aku jarang sekali menyentuh selulerku. Hanya sesekali saja. Itu pun kadang
harus naik atap rumah di tambah kursi dan meja pula.
Menjelang siang hari, apa yang sejak
pagi aku tunggu akhirnya datang juga. Satu pesan kuterima. Perasaanku langsung
tak tekendali. Rasa rindu menderu-deru penuh emosi. Kegembiraan hati
meluap-luap seperti deru ombak yang kian pasang. Kutarik napas pelan dan
membuangnya penuh perasaan. Ku buka sms itu.
“War, lamaranmu di terima. Senin lusa
kau sudah bisa berkerja. Selamat yah.” dari Dani. Sontak aku sujud syukur dan
menangis saat itu juga. Berlari aku secepat kuda menuju rumah. kusampaikan pada
ayah. Kusampaikan pada ibu. Kedua orangtuaku girang bukan kepalang. Saudaraku
semuanya berlinang.
“Nanti malam kita syukuran. Kita
undang orang satu kampong buat makan kambing guling…” ujar ayah berapi-api.
“Aih Abah ni, tak perlulah kita undang
orang sekampong. Cukup kerabat dan tetangga dekat saja. Ini hanya syukuran
kecil, tak perlu di sombongkan…” sela ibu tersenyum bahagia.
“Terserah kaulah, Fat. Aku mau ke
rumah Pak Cik Dullah…” Ayah beranjak dan tampak tergesa-gesa.
“Abah ke rumah Pak Cik Dullah? Ada
apa?”
“Nak beri tahu kabar gembira, Fat…”
“Ah, pegilah.” Sambung ibu tersenyum
masih merasakan kebahagiaan.
Malamnya aku ke rumah Agung. Aku
bercerita padanya dan keluarganya juga. Alhamdulillah, mereka sekeluarga turut
bahagia. Aku dan Agung pun melanjutkan kebiasaan kami. Berceloteh sampai pagi
membicarakan Riana. Bukan hanya Riana. Aku sempat menyinggung seorang gadis
yang tak kalah cantik dari Riana. Gadis itu namanya Nurhaliza. Diam-diam Nur
sering menjumpaiku dan kami pun bercerita panjang. Tentang harapan dan impian
kami masing-masing.
Hari yang kunantikan tiba. Dengan
bekal seadanya aku pun berangkat ke Bandung. Aku harus naik pesawat terbang
agar tidak memakan waktu. Sebelum pamit aku sempat menemui seseorang. Aku
katakan padanya aku akan kembali dan tetap mencintainya. Orang itu berjanji
akan setia menunggu juga. Dialah cinta yang selama ini aku rahasiakan dari
siapapun, termasuk sabahatku sendiri. Aku tidak ingin nantinya mereka salah
sangka. Biarlah waktu yang mengungkap semuanya.
Aku sampai di Bandung. Seminggu aku
berbaur. Sebulan aku bersungguh-sungguh. Setengah tahun aku pun mendapat
tempat. Dua tahun aku naik pangkat. Tahun ketiga ini aku bisa cuti panjang dan
pulang ke kampung. Kampung nelayan di pesisir pantai indah di Sumatera. Tak
Sabar aku ingin menjumpai ayah, ibu juga saudara-saudaraku.
Malam purnama menyambutku tepat di
tepi pesisir. Orang-orang pesta ikan dan kerang. Aku seperti orang asing dan
selebriti. Setiap berjumpa selalu disanjung dan dipuji. Aih, aku benci pujian. Aku
benci sanjungan. Tampak jelas penyanjung dan pemuji itu munafik. Hanya berbasa
basi. Aku tidak peduli. Di ujung karang aku menjumpai seseorang. Dialah Nur.
Orang yang selama aku di Bandung sering mengirim sms melalui telefon kantor
pos. Nur menceritakan semua apa yang ada di dalam hatinya kepadaku. Dia
menangis dan menitikkan air mata rindu. Hanya aku yang mengertinya. Hanya aku
yang peduli padanya. Itu kata Nur. Sewaktu kami curhat dulu.
Malam puncak pesta di akhiri dengan
doa dan makan bersama-sama orang sekampung. Hingga pagi menjelang para Pak Gaek
dan pujangga syair bersenandung dan berpantun ria. Beberapa pemuda bermain
rebana dan seruling. Indahnya malam itu sulit aku lukiskan dengan tulisan.
Masih di ujung karang aku dan Nur bercerita. Selang beberapa lama tampak Riana
mendekati kami. Nur pamit diri.
Selama seminggu ini aku masih di
kampung. Menghabiskan cuti bersama keluarga sangat menyenangkan. Tiga tahun tak
bersua bersama keluarga rasanya begitu menyesakkan dada. Berat sekali kaki ini
hendak melangkah kembali ke tanah rantau. Agung memanggilku ketika aku memberi
makan ikan di tambak.
“Aku mau bicara penting sama kau…”
kata Agung serius.
“Bicaralah…” sahutku datar.
“Soal Riana!”
“Ada apa dengan Riana?”
“Kau jangan pura-pura tak tahu…”
“Maksudmu?”
“Aih, munafik kau, War. Jahat kau.
Pagar makan tanaman. Kau tusuk aku dari belakang!”
“Hei, ngomong apa kau, Gung?” kataku
heran dengan celotehan Agung barusan. Ku dekati sahabatku itu. Dia menjauh.
Bahkan Agung berlalu tanpa meninggalkan sepatah dua kata pun. Aku menggelengkan
kepala heran.
Siang hari Pak Cik Dullah memintaku
segera mengunjunginya. Pesan itu aku terima dari Soleh. Katanya ada hal
penting. Sore itu aku pun pamit pada ayah dan ibu. Ku pakai sepeda ontel ayah
menuju rumah Cik Dullah.
“Asalamualaikum… Ada apa, Pak Cik
memanggilku…?”
“Wa alaikum salam,” sahut Pak Cik,
“Mun… Buatkan minum, Zidwar sudah datang….” selang beberapa lama Mak Cik Maimun
datang membawa nampan berisi dua gelas kopi hitam dan sepiring keripik balado.
Keripik kesukaanku.
Tak butuh lama. Pak Cik Dullah pun
mengutarakan maksudnya kepadaku. Maksud hati yang telah sekian tahun dia pendam
katanya. Sebelumnya, Pak Cik Dullah sudah membicarakan semua perihal dengan
kedua orangtuaku masalah yang agak serius ini. Sekarang keputusan ada di
tanganku. Agak syok aku mendengar penuturannya itu.
“Kalau memang, Pak Cik dan yang
lainnya sudah merestui. Insya Allah saya siap melamar dara Pak Cik. Besok saya
akan datang bersama kedua orang tua saya dan keluarga serta kerabat buat melamar
dara Pak Cik.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Setelah
kau melamar, apakah kau akan tetap pergi ke Bandung…?”
“Ya, Pak Cik. Saya masih ada kontrak
kerja di sana.” Pak Cik Dullah hanya bersungut-sungut dan tersenyum menatapku.
Gadis yang aku cintai pun keluar dari bilik. Ia membawa beberapa bungkus
keripik balado buat ibuku di rumah. Aku berterima kasih padanya, dan sentuhan
lembut tangan gadis itu membuatku melambung tinggi. Tangannya seperti sutra. Lembutnya
terasa hingga ke hati.
Pagi menjelang pergi lamaran, aku
menunggu Agung. Entah kenapa sejak sore kemarin Agung tidak tampak lagi ke
rumah. Tidak biasanya dia seperti ini. Keluarga sudah siap semua. Karena Agung
tak muncul juga, ibu meminta kami segera berangkat saja. karena tamu wanita
sudah menunggu lama. Aku menyetujui. Tepat pukul sepuluh pagi kami sampai di
kediaman Cik Dullah. Dan acara lamaran berjalan lancar. Setelah lamaran acara
di lanjutkan dengan membicarakan masalah pernikahanku dengan Riana.
Malamnya, aku menemui Nur yang
berjalan sendiri di dekat pesisir. Aku datang memenuhi panggilannya. Ku dekati
gadis itu. Dan ku katakan kalau aku sedang agak terburu-buru. Nur mengerti.
Malam itu dia hanya ingin memastikan janjiku padanya. Dia berharap aku tidak
lupa.
“Aku sudah bicara pada Agung, Nur. Aku
sudah menceritakan semua perasaanmu padanya. Tapi sampai saat ini Agung belum
memberiku jawaban. Bahkan dia seolah menghindariku. Besok, kalau aku ketemu
Agung, aku akan minta dia menemuimu segera. Kalau begitu, aku harus pergi
sekarang, Riana dan lainnya masih menunggu di rumah Cik Dullah…” aku bergegas
hendak meninggalkan Nur.
“Selamat ya, War. Kau akan menikah
dengan Riana. Gadis impianmu…” kata Nur membuatku tersenyum. Tanpa basa basi
aku pun pamit. Baru selangkah aku berjalan, tiba-tiba Nur berteriak dan memekik
kesakitan. Sontak aku terkejut dan mendekatinya.
“Kenapa kaki kau, Nur…?” tanyaku
panik.
“Aku di patuk ular itu…” Nur menunjuk
seekor ular yang telah pergi ke celah batu karang. Kaki Nur berdarah. Aku
segera membawanya ke klinik terdekat. Dalam perjalanan aku berharap Nur tidak
kenapa-napa.
Sesampainya di klinik Nur langsung
dirawat. Saat itu juga aku menghubungi keluarga Nur agar mereka mengunjungi Nur
di klinik segera. Tak kusangka. Itu adalah awal dari bencana hidupku
sesungguhnya.
Sebulan setelah menikah aku dan Riana
tinggal di Bandung. Kembali aku teringat kisah cinta pertamaku bersama Riana di
Jakarta – Bandung. Antara dua kota itu sewaktu kuliah dulu. Aku dan Riana
sering bertemu ketika hari Minggu. Jika bukan aku yang ke Jakarta. Riana yang
pergi ke Bandung. Hampir selama dua tahun kami seperti itu. Hingga akhirnya aku
memutuskan pindah kuliah ke tempat di mana Riana tinggal. Sejak itulah kami
diam-diam menjalin cinta. Kami yakin kedua orang tua kami belum setuju meski
kami yakin kedua orang tua kami juga telah mengetahui hubungan kami yang
intens.
Sedang bahagianya aku bulan madu
bersama Riana. Sebuah surat mengejutkan datang dari kampung. Isi surat itu
sangat privat dan penting. Di tulis langsung oleh pemangku adat kampung kami.
Tanpa persiapan matang aku dan Riana pun segera terbang ke kampung. Setibanya
di sana aku tidak sempat beristirahat. Penduduk langsung menggiringku ke rumah
pengadilan adat.
Astaga. Ada apa ini? Kenapa
orang-orang tampak membenciku. Tak kusangka. Nurhaliza menangis tersedu-sedu.
Ibu Nurhaliza memintaku bertanggung jawab atas apa yang menimpa putrinya.
Fitnah keji menyeruak kalau aku telah melakukan perbuatan tak senonoh pada Nurhaliza.
Anak yang di kandung Nur menurut ibunya adalah anakku. Sontak aku sangat syok.
Ayah dan ibuku bersedih. Keluargaku juga bersedih. Terlebih lagi Riana. Meski
hatinya terluka, namun aku lega karena Riana masih tulus dan sangat mempercayai
semua kesaksianku. Hal itulah yang mejadikanku kuat menjalani cobaan ini.
Sesuai hukum adat, aku di adili
seadil-adilnya. Di persidangan aku mengatakan kalau aku tidak melakukan apa
yang dituduhkan ibu Nurhaliza. Banyak orang yang tidak percaya kalau aku adalah
pelakunya. Tapi beberapa saksi palsu mengatakan kalau aku adalah orang yang
bersalah. Aku pasrahkan semuanya pada Tuhan. Aku yakin Tuhan tidak tidur. Dia
lebih mengetahui apa yang akan terjadi.
Berminggu-minggu aku di bui. Hidupku
berubah drastis. Kedua orang tuaku sangat terpukul. Istriku menderita. Sanak
saudaraku semua kecewa pada fitnah keji itu. Setelah di pastikan bersalah yang
ku tahu atas kelicikan seseorang. Hukum adat akan berbicara. Aku menerima
hukuman karena telah menodai kaum hawa. Di kampungku, itu tindakan sangat
terkutuk. Aku tak tahu kemana diriku di bawa. Terakhir yang ku tahu. Tubuhku
dililit tambang bersama sebongkah batu besar hingga membawaku masuk ke dasar
jurang. Jurang yang curam dan terjal.
Hari terus berlalu membawa sisa
kenangan. Riana berdiri sambil tersenyum menggendong anaknya. Anak laki-laki
yang tampan dan rupawan. Anak yang melipur laranya selepas ditinggal sang
suami. Riana tidak pernah bimbang. Hatinya hanya untuk suaminya tersayang.
Riana istri yang budiman, tak pernah mencemooh setiap kata orang. Riana adalah
bidadari firdaus. Membuat semua orang takjub dan kagum padanya.
Riana pergi ke ladang. Membawa
keranjang dan bubu di badan. Riana mengajak anaknya tersayang. Mencari sayur
dan ikan. Riana terpana melihat keajaiban. Keajaiban yang selama ini ingin ia
lihat atas kehendak Tuhan. Kini Riana semakin cinta pada almarhum suaminya.
Riana mengucap syukur pada Tuhan. Hidupnya kini telah tenang. Karena sumpah
suaminya benar-benar terjadi. Ingatan Riana kembali ke masa lampau. Tepat
ketika suaminya di adili.
“Jika memang aku adalah pelaku seperti
apa yang Nurhaliza dan ibunya tuduhkan. Bumi dan langit tidak akan meridhoiku
hidup di muka bumi ini. Namun jika aku benar dan tidak bersalah, biarlah karma
yang membuktikan kebenaran dan orang yang sudah memfitnahku akan mendapat
ganjarannya.
Dan kalian semua perlu ingat. Barang
siapa yang melihat langit berwarna gelap dan hitam, sedangkan cahaya pelangi
indah dan benderang melengkung di bawahnya. Itu membuktikan aku adalah orang
yang benar. Dan Nurhaliza beserta ibunya berdusta. Dan orang-orang yang
memfitnahku akan mati dengan keji…” kalimat suaminya membuat Riana tertegun dan
masih menyisakan air mata. Ia rindu pada suaminya. Suami tertampan dan termulia
yang pernah ia miliki untuk selamanya. Riana masih menangis. Kebenaran pun
terungkap.
“Bundo…,” Riana terkesiap, “Kenapa
Bundo menangis?” Zidwar kecil bersedih. Riana mengusap air matanya. Ia pun
tersenyum lebar dan melepaskan kesedihan Zidwar kecil. “Bunda menangis karena
bahagia, Nak…” lirih Riana tak sanggup menahan air matanya.
“Apa yang membuat Bundo bahagia, tapi
menangis?”
“Kelak Bundo akan ceritakan semuanya
pada Zidwar…” Riana menuntun anaknya menapaki jalan setapak di tengah pematang
sawah.
“Bundo. Bundo, lihat…” kata Zidwar menunjuk
ke arah langit tinggi.
“Ada apa, Nak…”
“Kenapa di langit hitam ada pelangi,
Bundo?” Zidwar kecil penasaran. Penasaran karena melihat pelangi terang dan
melengkung indah di bawah gelapnya awan. Seakan ada sebuah keanehan yang belum
pernah ia lihat selama ini. Riana bertasbih dan hatinya berdesir. Riana pun
berujar lirih.
“Karena pelangi itu adalah pertanda,
Nak. Bahwa kebenaran akan selalu terungkap. Dan kedustaan tak akan abadi.”
suara Riana serak.
“Kebenaran itu apa, Bundo?”
“Kebenaraan itu adalah sesuatu yang
tidak salah. Kebenaran itu adalah berbuat baik dan berbuat adil. Tidak berdusta
apalagi memfitnah. Kebenaran itu seperti ayah Zidwar. Ayah Zidwar itu adalah
contoh orang yang benar perkataan dan perbuatannya…”
“Ayah Zidwar? Memang, ayah Zidwar
sekarang di mana, Bundo?”
“Ayah Zidwar, sekarang ada di atas
pelangi itu…”
“Kalau begitu, Zidwar mau ke pelangi,
Bun. Biar bisa bertemu ayah…”
“Kalau Zidwar mau pergi ke pelangi.
Zidwar tidak boleh berkata dusta. Zidwar harus berani melakukan sesuatu yang
benar. Zidwar juga harus bisa menjadi orang yang menyayangi sesama. Jika syarat
itu terpenuhi, niscaya Zidwar akan mampu berjalan di atas pelangi…”
“Benarkah, Bundo?” Zidwar kecil
tersenyum sambil melihat pelangi yang semakin terang itu. Riana menitikkan air
matanya.
Seminggu setelah kejadian yang di
saksikan orang sekampung pesisir waktu itu. Membuat semua penduduk mengerti dan
yakin sejatinya Zidwar dulu memang di fitnah. Dan bukti semakin kuat ketika di
temukan dua jenazah dalam satu liang di semak dekat sawah. Jenazah itu menurut
kesaksian adalah jenazah Agung dan Nurhaliza. Tubuh kedua jenazah itu habis di
makan buaya dan hanya menyisakan kepala mereka. Mungkin itu adalah sebuah bukti
bahwa kematian mengenaskan masih berlaku untuk para pendusta dan pemfitnah
keji.
Cerpen yang berjudul "Pelangi" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Imuk Yingjun. Kamu dapat mengikuti twitter penulis di @_imuk.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Pelangi | Imuk Yingjun"