Cerpen Cinta - Gara-gara Si Kembar | Vika Puspita Septarani
Gara-gara Si Kembar - Vika Puspita Septarani
“Tan, kamu mau nggak jadi pacarku?”
Kata-kata itu masih terus terngiang di telingaku. Kata-kata yang singkat namun langsung mengena di hati. Kata-kata yang terlontar langsung dari bibir seorang cowok yang selama ini aku kagumi. Seorang cowok yang selama ini melindungiku bila ada bahaya mengancamku.
Rico. Itulah namanya. Nama yang paling
sering aku sebut di hari-hariku sebulan terakhir ini. Dialah cowok terpopuler
seantero SMA-ku di kota Jogja ini. Wajahnya manis, badannya tegap dan tinggi,
menunjukkan suatu karisma yang membuat semua perempuan mabuk kepayang
dibuatnya. Belum lagi dia adalah seorang komandan pleton dalam satu tim pleton
inti di sekolahku. Tapi di balik perfeksionis yang melekat di dalam dirinya itu
tidak membuatnya sombong dan angkuh. Itu yang paling aku sukai dari dirinya.
Kembali ke kata-kata yang terlontar
untukku dari Rico. Satu kalimat pertanyaan yang amat sangat tidak aku sangka
akan keluar dari mulut seorang cowok idola seantero SMA-ku, satu kalimat
pertanyaan yang merasuki otak seorang cewek biasa aja seperti aku. Aku,
Rachella Nathania, memang tidak terlihat cantik seperti cewek-cewek kebanyakan
di sekolahku. Tapi mungkin aku termasuk cewek beruntung yang dapat merebut hati
seorang cowok yang, notabene, seorang perfeksionis yang sangat digemari banyak
cewek. Hahaha, aku tertawa sendiri.
Dan tentu saja, dari kata-kata Rico
tadi, aku menerima cintanya. Itu bukan karena karismanya yang membuatku
klepek-klepek dan bertekuk lutut di hadapannya, tapi semata aku memang
mencintainya. Dia seseorang yang selalu melindungiku. Dan entah racun atau obat
bius apa yang telah membuatku seperti ini. Yang jelas, aku mencintai hatinya.
Bukan karismanya.
Seminggu telah berlalu sejak aku jadian
sama Rico. Memang, sih, banyak yang sirik denganku yang berhasil merebut hati
seorang cowok idola semua cewek di sekolahku. Bahkan sampai ada senior
seangkatan Rico yang ngelabrak aku. Tapi karena keberanian dan kenekatanku
melawan senior demi membela diriku sendiri akhirnya senior itu takluk juga.
Malam itu malam minggu. Rico berencana
ingin mengenalkanku dengan kedua orang tuanya. Awalnya aku ragu karena aku
belum siap secara mental. Tapi dengan segenap usahanya akhirnya dia bisa
meyakinkanku.
Sesampainya di rumahnya aku disambut
hangat oleh kedua orang tuanya. Rumahnya terletak di kawasan perumahan elite,
tapi rumahnya yang paling sederhana kalau dibandingkan dengan rumah-rumah yang
ada di komplek itu. Begitu dipersilakan masuk dan duduk, aku diserbu banyak
pertanyaan tentang diriku, di mana tempat tinggalku, dari mana asalku, aku anak
ke berapa dari berapa bersaudara, apa pekerjaan orang tuaku, dan masih banyak
lagi. Terkadang ada juga pertanyaan yang membuatku bingung dan membutuhkan
waktu yang agak lama untuk menjawabnya. Ketika jam sudah menunjukkan pukul
19.25, Mamanya yang seorang guru di suatu SD favorit se-Jogja itu menyuruhku
makan malam bersama dengan keluarga Rico.
Aku berjalan membuntuti Rico yang
berjalan di belakang Papanya, menuju ke ruang makan. Ruang makan yang berukuran
sekitar 5×5 meter itu penuh dengan perabotan dapur bermerk. Di meja makan yang
terletak di tengah-tengah ruangan itu duduk seorang cowok yang sangat mirip
dengan Rico. Aku sudah mengenali sosok itu. Rio. Dialah saudara kembar Rico,
seniorku pula. Wajah dan postur tubuh mereka sangat mirip. Hanya saja Rio
sedikit dingin dan agak brutal. Rambutnya dibiarkan tumbuh asal dan
acak-acakan, berbeda dengan Rico yang meskipun panjang rambutnya hampir
menyentuh kerah bajunya tapi rambutnya selalu terlihat rapi dan teratur. Tidak
terlalu ramah dengan cewek. Dia juga menjadi idola di sekolahku. Tapi sikapnya
yang cuek terkadang membuat cewek-cewek di sekolahku takut mendekatinya,
mengingat dia adalah seseorang yang tidak suka dikerumuni cewek-cewek.
Seperti biasa, Rio masih saja memasang
tampang cueknya seperti yang dia lakukan di sekolah. Tapi di tampang cueknya
itu, malam itu, sepintas terlihat seperti ada yang lain yang tidak pernah aku
lihat sebelumnya. Aku yang duduk berhadapan dengannya mengamatinya lekat-lekat,
mencoba membaca apa yang digambarkan dalam wajahnya. Ada suatu rasa
ketidaksukaan yang terpancar di sana. Apa dia nggak suka kakau aku di sini? Aku
berusaha mengusir pikiran negatif itu dan melanjutkan makan malamku bersama
keluarga itu.
Sebulan berlalu. Aku dan Rico makin
lengket saja. Membuat semua cewek di sekolahku iri padaku. Wajahku memang tidak
cantik, tapi aku beruntung karena cowok seperti Rico bisa takluk denganku. Tak
sedikit cewek fans Rico yang berpindah haluan mengejar Rio, dan ada beberapa
yang beralih ke sang ketua OSIS, Yudha namanya. Orangnya memang biasa aja.
Nggak ganteng tapi juga nggak jelek. Tapi sikapnya yang ramah banget sama semua
orang akhirnya dia bisa juga menaklukkan beberapa cewek di sekolahku.
Sore itu langit mendung gelap.
Sepertinya akan turun hujan lebat. Jam sudah menunjukkan pukul 15.54 saat aku
tersadar bahwa langit mulai bergemuruh. Aku segera membereskan barang-barangku
yang berserakan di atas meja baca di perpustakaan. Aku harus segera pulang.
Aku berjalan keluar perpus yang berada
di lantai dua dan menuruni tangga ke lantai satu. Aku mempercepat jalanku agar
aku tidak kehujanan saat pulang nanti. Aku melewati koridor lantai satu yang
berdekatan dengan lapangan basket. Di cuaca gelap seperti ini terlihat
anak-anak cowok masih bersemangat bermain basket. Awalnya aku mencoba tak acuh
pada cowok-cowok itu, tapi karena pandanganku tertuju pada salah satu cowok
yang sedang menikmati permainan itu aku mengurungkan niatku untuk langsung
pulang. Aku mengira cowok itu adalah Rico pacarku, tapi setelah melihat
rambutnya yang acak-acakan aku langsung mengenali sosok itu. Rio! Rio ternyata
jago banget main basket! Terlihat dari cara bermainnya yang begitu gesit dan
memukau. Wah.
Entah perasaan apa ini, aku ingin sekali
memperhatikan wajahnya saat dia melepas topengnya. Melepas segala ‘atribut’
yang dia pakai sehari-hari di sekolah yang membuat cewek-cewek penasaran kenapa
dia bisa nggak mau deket sama cewek. Bukan karena saat itu dia hanya
bertelanjang dada agar bajunya tidak terkena keringatnya yang melimpah. Tapi
sisi lainnya yang agak misterius.
Tanpa aku sadari hujan mulai turun.
Perlahan hujan mulai deras, membuatku kecewa karena tidak bisa langsung pulang.
Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Sambil menunggu hujan reda aku menunggu di
bangku depan kelas 10-6 yang tepat menghadap lapangan basket tadi. Seketika
anak-anak yang sedang menikmati permainan basket mereka membubarkan diri karena
hujan semakin lebat. Saat mataku mencari sosok Rio, ternyata cowok itu sudah
menghilang entah ke mana. Sedikit kecewa, sih, karena aku tidak melihatnya
lagi. Mungkin cowok itu udah pulang, pikirku.
Jam digital unguku menunjukkan pukul
16.39. Hujan masih saja belum reda. Aku biasa pulang sendirian naik bus. Tapi
ini sudah terlalu sore, pasti tidah ada bus lagi yang lewat. Aku tekadkan
niatku untuk berhujan-hujanan ria agar cepat sampai di rumah. Tapi saat aku
hendak pergi dari tempatku duduk tadi, tiba-tiba ada seseorang yang memegang
tanganku, seakan mencegahku untuk pergi.
“Kamu mau ke mana?” tanya orang itu.
Ternyata dia Rio!
“Pulang,” jawabku singkat.
“Naik apa?”
“Bus.”
“Tau nggak ini masih hujan? Mau kayak
anak kecil? Nggak lucu, tau, kalau kamu sampai sakit cuma gara-gara
hujan-hujanan.” Dia menatap mataku tajam.
Aku agak kaget dengan ucapan Rio. Kenapa
dia jadi perhatian gini?
“Bukan urusanmu kalau aku sakit. Emang
kamu siapaku?” Aku mulai sewot.
“Nggak usah belagu. Kamu pacarnya
kakakku. Jangan kayak gitu. Kita tunggu sampai hujan reda.” Suaranya mulai
melembut.
Entah, aku seperti terbius oleh
kata-katanya barusan. Aku menurut saja dengannya. Aku kembali duduk di bangku
tadi dan dia ikut duduk di kananku. Keheningan mulai tercipta di antara kami.
Dia sudah larut dengan android-nya, entah apa yang dilakukannya dengan benda
itu. Tanpa sadar aku memperhatikan wajahnya yang mirip dengan Rico. Mereka
memang saudara kembar yang sangat identik. Kalau rambut Rio tidak acak-acakan
pasti orang akan sulit membedakan mana Rico dan mana Rio.
“Kenapa ngliatin aku? Suka, ya?” katanya
tanpa menoleh ke arahku. Sepertinya dia mencoba untuk menggodaku.
Mukaku serasa memanas dan memerah. “Ih,
ge-er amat, sih!? Siapa juga yang ngliatin kamu. Adanya nanti mataku kelilipan
gara-gara ngliatin kamu!” Aku berusaha menyembunyikan mukaku, tapi mungkin dia
sudah tahu seberapa merah mukaku.
Rio hanya tersenyum kecil. Tapi ada yang
beda dari senyumannya itu. Senyuman yang tulus dan tidak terasa dibuat-buat,
seperti yang biasa dia lakukan. Aku mulai tertarik dengan sosok Rio, saudara
kembar pacarku ini. Rio yang dingin dan brutal kenapa bisa menunjukkan senyumannya
yang beda di mataku?
“Hujannya udah reda. Aku anterin kamu
pulang aja, yuk? Aku yakin jam segini udah nggak ada bus lewat.” Dia melirik
arlojinya yang bermotif tentara itu. Jam digitalku pun memang sudah menunjukkan
pukul 17.12. Jarang sekali ada bus yang lewat jam segini, bahkan hampir tidak
ada. Aku mempertimbangkan tawarannya itu. Dan pada akhirnya aku menyetujuinya.
Dua bulan berlalu sejak hubunganku
dengan Rico berjalan. Tapi beberapa hari yang lalu aku sempat bertengkar dengan
Rico. Berita tentang Rio yang menawarkanku untuk pulang sama dia langsung
menyebar ke seantero sekolah. Sontak berita itu membuat para fans Rio marah
padaku. Dan sepertinya Rico pun agak cemburu. Itulah penyebab pertengkaran
kami.
Malam ini malam minggu. Demi mengusir
kejenuhanku karena konflikku dengan Rico, aku memutuskan untuk jalan-jalan di
sekitaran titik nol kilo meter kota Jogja. Aku sengaja pergi sendirian agar aku
bisa sedikit menenangkan pikiranku yang semrawut. Ditemani motor matikku yang
sudah aku ubah warnanya menjadi ungu dan bahan bakar yang full tank aku bersiap
mengelilingi Jogja malam ini.
Suasana Malioboro sudah padat
pengunjung. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap malam minggu Malioboro selalu
macet. Tapi aku tetap menikmati pemandangan kemacetan ini. Aku menghentikan
motor di depan Mal Malioboro dan memarkirkannya. Aku masuk ke McDonald dan
memesan McFluit. Setelah beres aku langsung pergi dan ingin menikmati es krimku
itu. Tempat tujuanku adalah Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Sesampainya di
sana aku menitipkan motorku di komplek Beteng Vredeburg lalu mencari tempat di
dekat monumen yang terkena sinar lampu. Aku berhenti di tempat itu, duduk di
seberang monumen dan membelakangi jalan raya lalu segera menikmati es krimku
sebelum akhirnya meleleh tanpa sempat aku nikmati.
Dari tempatku duduk aku menikmati
pemandangan sekitar yang ramai dipenuhi anak-anak muda. Ada yang nongkrong,
foto-foto, bahkan ada juga yang mojok alias pacaran. Dari sekian pasangan yang
mojok, ada satu pasangan yang duduk di sebelah timur monumen yang sangat
menarik perhatianku. Sepasang muda mudi yang terlihat sangat bahagia menikmati
setiap detik yang mereka lalui bersama. Tapi sepertinya aku sangat mengenali
sosok si cowok itu. Seperti… Rico! Nggak, nggak mungkin itu Rico. Pasti itu
Rio. Tapi hati nuraniku mengatakan bahwa itu Rico. Terlihat dari rambutnya yang
rapi dan senyumannya yang khas. Aku mencoba mendekati pasangan itu diam-diam
dan, benar saja bahwa cowok itu adalah Rico. Pacarku! Seketika aku syok ketika
Rico memanggil cewek itu dengan sebutan ‘sayang’. Air mataku mulai meleleh. Aku
keluar dari persembunyianku dan ingin menangkap basah mereka berdua. Seketika
itu juga mereka yang aku pergoki tampak sangat terkejut, apalagi Rico. Air
mataku terus menetes.
“Tan, ini nggak kayak yang kamu pikirin.
Aku bisa jelasin semuanya.” Rico berusaha mendekatiku dan aku perlahan mundur
selangkah demi selangkah. Tapi tak disangka, entah dari mana datangnya, muncul
saudara kembarnya memukul wajah Rico.
“Kamu, tuh, keterlaluan banget, Ric! Aku
kecewa banget sebagai saudaramu! Tega banget selingkuhin pacarmu sendiri yang
selama ini kamu kejar-kejar! Ayo, Tan. Kita pergi dari sini!” Rio yang penuh
dengan amarah dan emosi itu lalu menggandeng tanganku untuk pergi dari tempat
itu. Sesaat adegan tadi sempat menjadi tontonan gratis orang-orang yang ada di
sekitar situ.
Rio membawaku ke Pojok Beteng Wetan,
tempat yang menjadi batas wilayah Kraton Yogyakarta. Di sana terlihat sepi
pengunjung. Sepertinya dia sudah tahu kalau aku membutuhkan suatu tempat untuk
menumpahkan segala emosi karena kejadian yang aku alami tadi.
“Kamu tadi, kok, tiba-tiba datang? Kamu
tau kalo kakakmu di sana?” tanyaku sambil sesenggukan menahan tangis.
“Aku ngikutin dia,” jawabnya.
Aku memandangi wajahnya yang sedang
tidak memperhatikan aku. Aku yang masih syok karena kejadian tadi terlihat
sangat berantakan.
Dia pun menoleh. Mendapati diriku yang
sedang memperhatikan wajahnya. Lalu katanya, “Kalau mau nangis, nangis aja
sepuasnya, Tan. Aku tunggu sampai kamu puas nangisnya.” Rio berjalan agak menjauh
dariku agar aku dapat menenangkan diri. Tapi, entah mengapa, aku membutuhkannya.
Sangat membutuhkannya.
“Rio,” panggilku, masih sambil terisak.
“Apa?” Dia menoleh.
“Kenapa harus kayak gini?” Tangisku
semakin keras.
Rio terdiam. Dia tampak berpikir keras
karena pertanyaan konyolku ini. “Ini semua salahku, Tan. Maafin aku.” Dia
merengkuh tubuhku dan membenamkan wajahku di dadanya yang bidang. Sontak hal
ini membuatku terkejut karena Rio melakukannya dengan tiba-tiba. Tapi aku
membiarkannya melakukan hal ini, karena aku menjadi merasa sangat nyaman berada
di pelukannya.
“Seharusnya sejak awal aku kasih tau
kamu tentang Rico.”
Aku melepaskan pelukannya perlahan dan
menatap matanya. “Ada apa sama Rico? Apa ada yang salah?” tanyaku dengan
tatapan nanar.
“Kamu tau? Cewek tadi itu sebenernya
cewekku. Mereka selingkuh. Aku tau tentang hal itu udah sekitar dua minggu yang
lalu. Tapi aku memilih diam karena aku nggak tau harus gimana. Apalagi posisi
kalian saat itu masih berantem.” Matanya menatapku dengan penuh penyesalan.
Lukaku semakin dalam kali ini. Seperti
tersayat benda yang lebih tajam daripada benda yang paling tajam sekalipun.
Kepalaku tertunduk dan tangisanku semakin keras. Aku seakan tidak percaya
dengan kenyataan. Rio kembali merengkuh tubuhku dan membelai rambutku.
“Maafin aku, Tan. Jujur, aku sayang sama
kamu. Sejak pertama kita ketemu. Tapi aku nggak tau gimana caranya deketin
kamu. Sampai pada akhirnya aku keduluan Rico. Aku nyerah dan akhirnya aku cari
cewek, tapi aku sama sekali nggak ada rasa sama tuh cewek. Aku bener-bener
nyesel, Tan, maafin aku. Aku sayang sama kamu.”
Pengakuan Rio yang blak-blakan itu
sontak membuatku terperangah. Sosok Rio yang selama ini aku kenal ternyata
menaruh hati padaku. Sesaat aku melepaskan pelukannya dan menatap matanya
lekat-lekat. Benar saja. Tidak ada kebohongan di sana. Hanya ada ketulusan. Air
mataku pun kembali meleleh.
“Rio, asal kamu tau. Entah sejak kapan
aku mulai tertarik juga sama kamu. Kamu emang mirip banget sama Rico. Tapi aura
yang kalian tunjukin beda banget. Aku ngrasa kalau di deket Rico biasa aja,
tapi seketika berubah waktu kamu ada di deketku. Aku ngerasa kamu kayak cowokku
beneran.” Akhirnya mulutku ini mengakui semuanya yang ada di hatiku.
Kali ini Rio yang terperangah mendengar
pengakuanku. “Kamu serius, Tan?” tanyanya tidak percaya. Aku hanya mengangguk
pelan sambil tersenyum. Dan dia pun tersenyum lebar.
“Makasih, ya, Tan.” Dia kembali
memelukku sebentar dan, bibir kami bertemu. Agak lama kami melakukannya. Lalu
kami kembali berpelukan. Akhirnya, sejak saat itu aku mengerti arti ketulusan
cinta yang sebenarnya. Berkat Rio. Gara-gara si kembar.
SELESAI
Cerpen yang berjudul "Gara-Gara Sikembar" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Vika Puspita Septarani. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Vika Puspita Septarani.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Gara-gara Si Kembar | Vika Puspita Septarani"