Cerpen Cinta - Rasa Ini | Ulfa Nurul Hidayah
KakaKiky - Ifal duduk termenung menghadap ke barat di balkon rumahnya. Dia menatap bentang cakrawala yang mulai berwarna merah lembayung itu. Matahari mulai meninggalkan belahan bumi di mana Ifal berada dan melaksanakan tugasnya di belahan bumi lain. Hal ini bukan pertama kalinya bagi Ifal. Entah sudah berapa kali cewek yang mempunyai kulit sawu matang itu suka memandang sunset.
Pikirannya pun tidak jauh beda dengan
hari-hari sebelumnya, yaitu memikirkan satu nama cowok yang sudah mengusiknya
setiap malam, yang telah membuat dirinya hampir frustasi, yang telah membuat
dirinya serba salah, yang telah membuat pikirannya selalu dipenuhi
kekhawatiran. Cowok itu bernama Alfat. Cowok yang sangat ramah pada semua
teman-temannya, cowok yang friendly, cowok yang fair dan sangat cerdas.
Ifal juga tidak ingin menebak-nebak
sejak kapan dia mulai menyukai cowok itu. dibandingkan cowok-cowok yang pernah
ditaksirnya, Alfat kalah jauh. Cowok yang pernah ditaksir Ifal merupakan
cowok-cowok populer di sekolahnya. Sementara Alfat, dia hanya cowok manis dan
‘keren’. Itupun pada saat tertentu cowok itu bisa disebut keren.
Kali ini Ifal merasa frustasi memikirkan
cowok itu. Alfat bersifat baik dan ramah pada semua teman-teman di kelasnya.
Termasuk pada dirinya. Begitu rasa suka itu berakar dan tumbuh menjadi cinta.
Kini Alfat sudah menemukan tempat untuk berlabuh. Kabar Alfat telah memilih
salah satu cewek di sekolahnya membuat Ifal semakin serba salah dan bingung.
Dia harus bagaimana kali ini? Cowok itu selalu bersikap ramah padanya.
Mengajaknya pulang bareng dan terkadang menanyakan sesuatu yang menurut Ifal tidak
penting untuk ditanyakan.
Dan kini Ifal sadar. Dia tidak mungkin
mengharap cowok itu bagaikan dia mengharap matahari menjadi hitam, karena dia
tahu hal itu akan menguap kekosongan. Dan sebelum awan itu menjadi kepingan
lalu berbaur dengan udara. Sebelum cinta itu semakin membeku menjadi batu lalu
sulit tuk dihancurkan. Ifal berharap cintanya musnah ditelan kegelapan.
Keesokan harinya di kelas, semua
teman-teman Ifal sibuk dengan lomba classmeeting yang akan diadakan nanti sore.
Ifal hanya duduk menyaksikan teman-temannya ngoceh di depan walaupun sebenarnya
pikirannya fokus pada Alfat yang berdiri di antara teman-temannya yang lain
yang berada di depan itu.
“nanti kita mau tanding sama kelas XI
IPA4! Jadi jangan terlalu ngeremehin ya!” ucap Alfat menatap teman-temannya
satu persatu.
“elo itu yang harus serius! Jangan sampe
kena pelet sama wajah cantik Pipit. Dia kan cewek yang lagi elo taksir
sekarang.” Ardi berdiri disamping Alfat dengan bibir melengkung ke atas.
“apaan sih!” Alfat hanya tersenyum
menanggapinya.
Tapi bagi Ifal, itu sudah cukup sebagai
jawaban. Ifal bisa melihat cara Alfat merespon candaan Ardi. Cowok itu terlihat
salah tingkah. Sepertinya Alfat memang serius pada Pipit, cewek cantik yang di
kelas sebelah itu.
“cieeelaah… udah deh Alfat, elo cepetan
jujur sama cewek itu! entar keburu disambar orang lagi!” teriak Ana dari
belakang.
Alfat semakin salah tingkah dibuatnya.
Sementara Ifal hanya bisa ikut-ikutan teman-temannya yang asik menggoda Alfat.
Pertandingan basket antara XI IPA 5 dan
XI IPA 4 merupakan pertandingan sengit dan menakjupkan bagi penonton. Apalagi
bagi Ifal. Ifal senang melihat Alfat main bakset apalagi ketika cowok itu
men-drible bola. Alfat benar-benar pintar mengecoh lawan dan menguasai bola.
Hingga waktu tak terasa sudah selesai dan dimenangkan oleh XI IPA 5. Ifal
bersorak di pinggir lapangan saling sahut-menyahut dengan teman-temannya yang
lain. Dia senang melihat Alfat tertawa dan saling berpelukan dengan
teman-temannya karena telah memenangkan pertandingan.
Begitu Ifal keluar dari gerbang sekolah,
dia menghela napas, dia akan kembali jalan kaki menuju rumahnya yang berjarak
500 m. Hal ini sudah biasa baginya. Ifal mulai melangkahkan kakinya perlahan.
Tiba-tiba sebuah motor Jupiter berwarna hijau berhenti tepat di hadapannya.
“mau pulang bareng nggak, Fal?” tanya
Alfat, sang pemilik motor Jupiter itu.
Ifal sedikit ragu. Kenapa cowok ini
selalu bersikap baik? Itu membuat dirinya semakin sulit untuk melupakan
perasaannya. Setelah diam sedikit lama, akhirnya Ifal mengangguk pasrah. Karena
disisi lain dia ingin berdua dengan Alfat, sementara di sisi lainnya lagi, dia
tidak ingin perasaannya semakin melambung tinggi.
“selamat ya, Al.” ucap Ifal begitu motor
itu mulai melaju.
Alfat tertawa renyah. “iya… makasih.
Semoga kelas kita bisa mempertahankannya sampe besok.”
Ifal hanya mengangguk. Karena dia tidak
sanggup berbicara lagi. hanya berdua dengan Alfat, dia sudah merasa senang.
Apalagi jika Alfat mempunyai rasa yang sama terhadapnya. Tapi dia tidak boleh
larut dalam kesenangan ini, karena Ifal tahu. Walaupun Alfat dekat dengannya,
tapi cowok itu jauh di sana. Dan Ifal tidak mungkin mengecilkan lautan yang
telah terbentang kecuali tuhan mentakdirkan.
Kali ini Ifal tidak tahan untuk
mengungkapkan isi hatinya pada Alfat. Pagi-pagi sekali Ifal datang ke sekolah
dan diam-diam meletakkan sesuatu di bangku cowok itu. Lalu secepat kilat dia
keluar dari kelas untuk mengelilingi sekolahnya agar dia bisa masuk ke kelas
begitu teman-temannya telah datang.
“dari siapa nih?” tanya Alfat sambil
membuka kertas berwarna biru di atas mejanya itu.
Ardi, Rizal dan Farel langsung
menghampiri cowok itu. Begitu kertas itu terbuka. Semuanya terpana membacanya.
I’m scared to lose you…
I’m scared to be far with you…
Even though we’re just a friend…
But with you beside me…
It has made me happy…
“lo dapet puisi dari siapa tuh?” celetuk
Rizal seketika.
“kayaknya penggemar lo deh.” Farel
menimbrung.
Alfat hanya tersenyum melihatnya.
Disimpannya kertas itu di ranselnya. Semenatara Ifal yang sudah masuk kelas
diam-diam melihat mimik wajah Alfat. Cowok itu terlihat datar dan sepertinya
tidak terpengaruh dengan kertas yang dikirimnya.
“teman-teman!!! Dengerin gue ya! Ada
kabar bagus! Alfat sudah deket dengan Pipit. Kayaknya sebentar lagi bakal ada
yang mau traktiran nih!” teriak Risky dengan mata melirik Alfat yang hanya
senyam-senyum.
Kata-kata itu kembali menusuk-nusuk
Ifal. Dadanya bagaikan ditusuk oleh beribu-ribu jarum dan perlahan mulai terasa
perih. Ifal berusaha keras agar sakit itu tidak berubah menjadi air mata.
Walaupun tatapannya menatap ke depan. Tapi tatapan itu kosong. Dia terpukul
jauh di sana.
“nanti bisa dateng kan?” tanya Alfat
sepulang sekolah pada Ifal.
Ifal menggeleng pelan.
“kenapa?”
“gue ada acara keluarga.” Jawabnya
simpul.
Alfat terdiam lalu manganguk-angguk.
“owh… kalo gitu gue duluan deh!”
Lagi-lagi Ifal menjawab tanpa kata.
Cewek itu hanya mengangguk dengan mata menatap kepergian Alfat. Dan hati itu
kembali sakit begitu dilihatnya Alfat pulang bersama Pipit. Dengan cepat Ifal
menundukkan wajahnya karena air mata itu mulai membasahi matanya yang semakin
lama terasa panas. Dadanya sesak tak tertahankan.
Dan aku harus tetap tenang… bertingkah
seolah-olah rasa ini tak pernah ada, dan aku lagi-lagi harus menahan air mata…
agar tidak menetes sia-sia, dan lagi-lagi aku harus menahan rasa sakit karena
harus melihatmu dengan terpaksa… agar aku bisa tegar dengan semua ini, dan
berkali-kali aku harus menghela napas… agar rasa sakit ini bisa aku tahan… agar
aku bisa terus melihat ke depan bahwa di seberang lautan masih ada lautan… di
atas langit masih ada langit… bahwa jagat raya ini sangatlah luas… bahwa
hidupku masih panjang dan masih banyak yang harus kucapai…
Dada Alfat terasa sesak membaca kertas
itu. Dia mulai tidak tahan dengan semuanya. Ini kedua kalinya dia mendapatkan
surat. Akhirnya Alfat keluar dari kelas untuk mencari siapa pengirim kertas
itu.
Dia pergi ke Pak Pur, penjaga sekolah
yang bertugas membuka semua kelas setiap pagi. Dia yakin Pak Pur tahu siapa
yang sering datang pagi di kelasnya. Dihampirinya Pak Pur yang sedang menyapu
halaman sekolah itu.
“permisi pak, saya anak kelas XI IPA5.”
Jelas Alfat.
Pak Pur menghentikan pekerjaannnya dan
beralih pada Alfat dengan kepala mendongak karena lebih tingi darinya. “ada
apa?”
“gini pak… bapak tau nggak siapa yang
sering datang pagi-pagi di kelas saya? Bapak pasti tahu kelas XI IPA5 kan?”
Pak Pur menganggukkan kepalanya. “saya
tau kelasnya nak Alfat. Sudah dua hari ini nak Ifal selalu datang pagi. Bapak
bahkan sempat ngobrol sama dia. Biasanya dia sering ke belakang sekolah.” jelas
Pak Pur pelan.
Alfat sedikit tertergun. “terima kasih
pak!” katanya kemudian berlalu dari hadapan Pak Pur yang terbengong-bengong.
Semenatara Ifal berdiri di belakang
sekolah. menikmati taman-taman yang menghiasi halaman belakang. Ifal memutuskan
untuk melupakan cowok itu jauh-jauh. Dia tidak ingin larut dalam harapan yang
tidak pasti. Sementara banyak sesuatu yang telah ia lewati di belakang sana.
Dia berjanji akan menyenangkan dirinya sendiri kali ini. Ifal mendongak sambil
menghela napas dengan senyum manis di bibir. Namun tiba-tiba ada yang menarik
tangannya membuat dirinya tersentak.
“Alfat?!” sentaknya tak percaya.
Alfat diam dengan mata menatap lekat
pada mata Ifal. Hembusan napasnya memburu berbaur dengan napas Ifal yang juga
memburu karena takut.
“lo kan yang nulis puisi itu?” ujar
Alfat pelan dengan mata lekat pada Ifal.
Ifal menelan ludah, dia menundukkan
wajahnya. “maafin gue…,” gumamnya.
Seketika cekalan tangan Alfat pada
pergelangan tanga Ifal mengendur.
Ifal mendongak dengan air mata bening
mulai menggenang di pelupuk matanya. “gue… gue nggak tau sejak kapan… gue… gue
hanya takut lo… lo ngebenci gue.” Katanya terbata-bata.
Alfat menghela napas. “kenapa gue harus
ngebenci lo?” balasnya lirih.
Ifal menunduk.
“semua orang punya hak buat suka, punya
hak buat ngungkapin rasa sukanya. Tapi… gue baru pertama kalinya ngelihat cewek
yang menanggung rasa sakit sampai segitunya… gue yang harusnya minta maaf ke
lo. Karena gue… lo jadi kayak gini.”
Ifal mendongak sambil menggelengkan
kepalanya. “seharusnya gue nggak ngirim kata-kata itu ke lo.” Ucapnya
ragu-ragu.
Alfat tersenyum. “terimakasih Fal. Tapi
maaf gue nggak bisa ngebales semuanya… mungkin kita bisa jadi sahabat. Lo mau
kan jadi sahabat gue?”
Ifal hanya mengangguk. Air matanya mulai
mengalir deras di pipinya. Dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Tapi jauh di
lubuk hatinya. Cewek itu merasa senang. Menjadi seorang sahabat saja dia sudah
merasa cukup. Ifal tahu sahabat lebih berharga dari pada seorang pacar, dan dia
tahu, masih ada banyak di dunia awan yang belum mencair, dan semuanya tidak ada
yang terlambat. Dan cintanya belum membeku, karena masih banyak orang yang
membutuhkan cinta darinya.
Cerpen yang berjudul "Rasa Ini" merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Ulfa Nurul Hidayah.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Rasa Ini | Ulfa Nurul Hidayah"