Cerpen Inspiratif - Jalan Hidupku | Nur Isna Aulya
Jalan Hidupku - Nur Isna Aulya
Ku pandangi langit sore ini. Terasa kelam dan redup, meski sebenarnya hari ini cerah. Namun hati yang risau ini membuatku merasa kelam. Aku duduk di depan rumah yang hanya berdinding kardus-kardus bekas. “Sampai kapan aku terus begini? Huft… Aku ingin sekolah,” ucapku dalam hati sambil melamun. “Dion, kamu nggak ngaji, Nak?” Tanya Ibu yang keluar dari pintu rumah. “Nggak, Bu. Dion lagi malas,” jawabku singkat.
Ibu menyandingku duduk di atas kursi
panjang. Dan memberiku nasehat, agar aku tetap semangat dalam segala hal. “Lho,
nggak boleh gitu donk. Memangnya kamu tidak ingin jadi orang sukses? Kamu ingin
jadi dokter, kan? Ayo donk semangat, Dion nggak boleh malas ngaji yach. Siapa
tahu kamu bisa jadi penerusnya Ustadz Falah (guru ngajiku),” tutur Ibu sambil
mengelus rambutku. “Bagaimana Dion bisa jadi dokter kalau Dion nggak sekolah?
Dion ingin sekolah, Bu…” jawabku cetus. Ibu hanya diam dan menundukkan kepala. Mukanya
terlihat gelisah dan sedih. “Sabar ya, Nak. Bapak dan Ibu akan berusaha mencari
uang untuk biaya sekolah kamu. Yach?” ucap Ibu sembari memelukku. Aku bersyukur
mempunyai orang tua yang sangat menyayangiku. Akhirnya aku mau berangkat ngaji.
Karena tak perlu mengeluarkan biaya, dengan semangat aku melangkah menuju
masjid di dekat kampungku. Aku termotivasi oleh nasehat-nasehat Ibu tadi. Aku
harus bisa bahagiakan Bapak Ibuku.
Di rumah…
Ketika Bapakku baru pulang kerja
memunguti sampah, Ibu sudah menunggu di teras. Dia menjelaskan bahwa aku
benar-benar ingin sekolah seperti teman-temanku. Bapak dan Ibu begitu resah
memikirkan bagaimana mendapatkan uang untuk menyekolahkan aku. Sepulang
mengaji, aku bantu Bapak merapikan dan memilah sampah dan barang bekas yang
baru ia punguti di perumahan-perumahan kotaku. Tiba-tiba Bapak menyodorkan
beberapa buku bekas yang dia ambil dari sampah-sampah untukku. “Dion, ini buat
kamu. Kebetulan tadi ada ibu-ibu membuangnya, untuk sementara kamu belajar ini
dulu ya, Nak,” ucap Bapak. Aku terdiam sejenak melihat buku-buku itu, lalu ku
ambil dan ku buka lembar demi lembar. Betapa malangnya nasib buku itu, padahal
masih memiliki banyak manfaat meski sudah jelek dan kusut.
Selesai membantu Bapak, ku rapikan, ku
tata dan ku pelajari buku-buku yang ku dapat dari Bapak tadi. Alhamdulillah aku
bisa memahaminya, meski tak banyak dan meski buku itu untuk pendidikan SMP,
padahal umurku baru 10 tahun. Melihatku sedang belajar, Ibu duduk menyandingku
sembari bertanya, “Belajar apa Dion?” “Ini, Bu. Tadi Bapak menemukan buku-buku
bekas di sampah. Trus, dikasih ke Dion. Lumayanlah buat belajar,” jawabku penuh
semangat. Tanpa sepengetahuanku, air mata Ibu menetes karena melihatku belajar.
Mungkin Ibu merasa prihatin atas nasibku yang tak kunjung sekolah karena
keterbatasan ekonomi.
“Mmmm… Bu, kok para ahli bisa tahu ya
organ-organ dan jaringan tubuh manusia. Apa mereka membunuh manusia dulu lalu
dibelah?” tanyaku tentang isi buku yang sedang ku pelajari. Ibu mengusap air
matanya, lalu menjawab “Ibu juga tidak tahu, Nak. Dulu Ibu mu ini hanya lulusan
SD. Yang jelas mereka pasti mempunyai alat-alat canggih. Tidak mungkin membunuh
manusia. ”Banyak yang belum aku pahami tentang isi buku itu, salah satunya
tentang Ilmu Alam. Tapi aku juga tak tahu, kepada siapa aku bertanya tentang
isi buku ini? Bapak dan Ibuku hanyalah lulusan SD, karena dulunya mereka juga
terhambat ekonomi.
Keesokan harinya, aku sengaja bangun
pagi-pagi sekali, sholat tahajjud, bantu-bantu Ibu, dan mandi. Lalu aku segera
bersiap untuk berangkat ke salah satu sekolah besar di kotaku dan mengikuti
pelajaran, meskipun secara diam-diam. “Mau ke mana, Dion?” Tanya Ibu yang
sedang memasak nasi. “Ke sekolah, Bu. Dion ingin melihat suasana sekolah di SMP
1 Budi Utomo,” jawabku sambil merapikan rambut di depan cermin. “Tapi kamu kan
belum sarapan. Sarapan dulu ya?” “Nggak usah, Bu. Aku minum air putih saja,”
ucapku sembari mengambil segelas air putih di atas meja. Ku cium tangan Ibuku.
Dengan semangat aku berangkat menuju SMP 1 Budi Utomo yang lumayan jauh dari
tempat tinggalku. “Assalamu’alaikum…” teriakku keluar dari pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam… Hati-hati ya, Nak.” jawab Ibu khawatir, sambil terus
melihatku berjalan semakin jauh dari rumah. Aku berjalan menelusuri rel kereta
api dan pasar-pasar yang sudah ramai sejak tadi. Fajar pagi yang mulai muncul
di ufuk timur dan lalu lalang kota metropolitan mengiringi langkahku berjalan,
semangatku semakin berkobar ketika aku melihat beberapa pelajar berangkat
sekolah dengan seragam rapi, dan mengenakan tas. Semakin dekat langkahku dengan
SMP yang kutuju, langkahku mulai ragu. Aku lihat para siswa berseragam rapi dan
mengumbarkan senyum cerah di pagi ini. Keceriaan mereka tak seperti aku, yang
hanya menghabiskan waktu untuk memunguti sampah. Awalnya aku ingin pulang lagi,
tapi nasehat dan motivasi Ibu selalu terngiang di pikiranku. Akhirnya aku
beranikan diri, aku mantapkan langkahku menuju belakang sekolah secara
diam-diam.
Ketika bel masuk kelas, jam pelajaran
dimulai. Aku perhatikan dari jendela luar sudut kelas, guru sedang mengajar
muridnya. Seolah aku juga muridnya, aku pahami betul penjelasan dari guru itu.
Dan aku catat di buku tulis bekas pemberian Bapakku.
Hal itu aku lakukan rutin sampai
beberapa Minggu, bangun pagi dan semangat menuju sekolah itu. Serasa aku sudah
bersekolah seperti teman-teman lain. Tapi suatu hari, seorang tukang kebun di
sekolah itu memergokiku, dia mengira aku pencuri. Padahal aku hanya ingin
belajar. Akhirnya aku diseret ke ruang keamanan. Seorang satpam bermuka seram
dan bertubuh besar memakiku habis-habisan. Bahkan dia sempat memukulkan
tongkatnya ke kedua tanganku. Aku hanya bisa diam dan menangis, lalu aku diusir
dari sekolah itu. Satpam itu mendorongku keluar pintu gerbang sekolah. Aku
pulang dengan langkah lunglai, tubuhku begitu lemas, aku seperti sampah kaleng
yang ditendang jauh-jauh. Ya Allah… kenapa mereka tak mengerti bahwa anak seperti
aku sangat ingin sekolah.
Sejak kejadian itu, aku sama sekali tak
pernah menginjakkan kaki di sekolah itu lagi. Rasa kesal, marah dan kecewaku
pada tukang kebun dan satpam itu masih terpendam di dalam hati. Aku sangat
kecewa karena aku difitnah. Namun tekadku untuk bersekolah dan mencari ilmu tak
akan pernah pudar. Aku ingin mewujudkan cita-citaku menjadi dokter. Semakin hari
ambisiku semakin besar. Aku selalu berdo’a kepada Allah agar cita-citaku bisa
tercapai, dan aku bisa membahagiakan Bapak Ibuku.
“Bapak, kok nggak ada buku yang dibuang
lagi ya?” tanyaku ketika membantu Bapak memunguti sampah-sampah di perumahan.
“Yahh.. semoga saja ada. Biar kamu bisa belajar,” jawab Bapak sambil
mengais-ngais sampah. Aku sangat berharap bisa menemukan buku-buku bekas lagi.
Entah angin apa yang membawaku ke jalan buruk. Ketika perjalanan pulang
melewati pasar besar di kotaku, aku lihat sebuah dompet mewah terjatuh dari
saku seorang mahasiswi. Tanpa berpikir panjang, langsung saja ku ambil dompet
itu tanpa ada yang tahu. Lalu, ku masukkan ke saku celanaku. Seolah tak ada
apa-apa, aku ikuti lagi langkah Bapak pulang. Sesampainya di rumah, hidangan
nasi dan tempe sudah disiapkan Ibu di atas meja.
“Dion, makan dulu ya? Trus sholat dan
ngaji,” tutur Ibu setelah ku letakkan barang-barang bekas hasil pungutanku
dengan Bapak. “Iya, Bu,” jawabku sembari berjalan mengambil piring.
Selesai makan dan mandi, aku berangkat
ke masjid untuk mengaji, sekalian aku sholat ashar di sana. Sebelum berangkat
ku buka sejenak dompet yang ku dapat dari pasar tadi. Aku terkejut, dua belas
lembar uang 100 ribuan dan beberapa lembar 50 ribuan memenuhi dompet warna klasik
yang terlihat mewah itu. Juga beberapa lembar foto pemilik dompet itu, beserta
KTPnya yang bertuliskan nama “Alya Nur Alita”. “Wah… uang sebanyak ini bisa
buat biaya sekolahku donk,” ucapku dalam hati yang riang ini. Pikiranku tertuju
pada khayalan ketika aku sudah berseragam rapi dan berkumpul bersama
teman-teman untuk belajar. Ah.. aku ngaji dulu, tak lama lagi aku akan masuk
sekolah. Khayalanku menghilang. Ku tutup kembali dompet itu dan ku selipkan di
bawah bantal, lalu aku berangkat ngaji. Selang beberapa menit setelah aku
pergi, Ibu sengaja merapikan kamarku dan menemukan dompet itu di bawah bantal.
“Astaghfirullahal’adzim… dari mana Dion mendapatkan barang ini?” Ibuku terkejut
dan langsung memanggil Bapak. “Mas Aryo…!!” teriaknya Mendengar teriakan itu,
Bapak bergegas menuju sumber suara. “Ada apa, Bu?” “Lihatlah Mas…” jawab Ibu
sambil menunjukkan isi dompet itu. “Hah??!! Milik siapa ini, Bu?” Bapak pun
terkejut. “Aku juga tidak tahu. Aku menemukannya di bawah bantal Dion, Pak.”
Ibu dan Bapak semakin khawatir. Dan mereka mengira bahwa aku mencuri dompet itu
dari seseorang. Mereka menunggu kedatanganku di dalam rumah. Selang setengah
jam. “Assalamu’alaikum…” Aku masuk rumah dan mencium tangan Bapak dan Ibu.
“Wa’alaikumsalam..” jawab Bapak Ibu serempak.
“Dion, duduk sini dulu, Nak,” tutur Ibu
lembut. Aku merasa ada yang aneh. Tak biasanya Bapak dan Ibu terlihat serius
seperti ini. Suasana pun hening sejenak. Hatiku bertanya-tanya, “Ada apa ini?”
“Dion, dari mana kamu dapatkan dompet ini?” Tanya Ibu memulai pembicaraan
sambil menunjukkan dompet mewah itu. Aku hanya diam menundukkan kepala.
Jantungku berdetak kencang. “Dari mana, Dion? Jawab..!!!” bentak Bapak sambil
menatapku tajam. Jantungku seperti tersambar petir, Bapakku tak pernah semarah
itu padaku. “Jawab jujur, Nak. Dari mana dompet ini?” lanjut Ibu dengan suara
lembut. Ibuku memang sangat sabar dalam menghadapi anaknya yang bandel ini. “A…
aku.. aku nemu..” jawabku gugup.
Keringatku mulai mengucur di leher.
“Jangan bohong kamu!! Kamu…” kemarahan Bapak semakin memuncak, hampir saja
tangannya diayunkan ke mukaku. Untungnya Ibu berusaha menahannya. “Mas…
Jangan!! Dia anak kita satu-satunya,” gertak Ibu sambil menahan tangan Bapak.
“Dion, kamu jangan bohong. Jawab yang jujur, Nak. Insya Allah jika kamu jujur,
Bapak tidak akan memarahi kamu lagi,” lanjutnya. Air mataku mulai menetes, dan
semakin mengalir. “Aku ingin sekolah… Aku ingin sekolah seperti teman-teman
yang lain…” ucapku sambil menangis terisak-isak. “Lalu dari mana kamu dapat
dompet dengan uang sebanyak ini, Dion…” sahut Ibu. Sedangkan Bapak masih
berusaha menahan amarahnya.
“Tadi waktu lewat pasar, dompet itu
jatuh dari saku orang. Trus Dion ambil. Dion pikir uangnya bisa untuk bantu
Bapak Ibu menyekolahkan Dion,” jawabku sambil terus menangis.
“Ya… Allah… Bukan begitu caranya, Dion…
Itu haram! Kenapa tidak kamu kembalikan pada pemiliknya?” kata Bapak yang
amarahnya mulai mereda. Aku hanya terdiam menunduk, menyesali perbuatanku.
“Dion… Bapak dan Ibu akan berusaha keras mancari uang untuk biaya sekolah kamu.
Tapi bukan dengan cara yang haram. Kita juga harus sabar dengan cobaan ini.
Bapak janji akan menyekolahkan kamu, Nak,” lanjutnya. Ibu juga mengangguk atas
perkataan Bapak. Ku coba mengangkat kepalaku dan menatap Bapak Ibu. Meski air
mata ini terus mengalir. “Maafkan Dion, Bapak, Ibu…” “Jangan diulangi lagi ya,
Nak,” tutur Ibu sembari memelukku, Bapak pun juga ikut memelukku. Air mataku
semakin mengalir deras, betapa bodohnya aku melakukan hal yang sangat dilaknat
Allah. Dan betapa bahagianya aku masih mempunyai orang tua yang sangat
menyayangiku. “Ya sudah. Besok Bapak bantu kamu mencari pemilik dompet ini, ya…”
kata Bapak. Aku mengangguk.
Esok harinya di pagi hari, aku dan Bapak
kembali menekuni pekerjaan yang dilakukan Bapak sejak aku lahir. Memunguti dan
mengais-ngais sampah di pasar, sambil mencari pemilik dompet yang bernama Alya
Nur Alita itu. Ku telusuri setiap sudut pasar sambil ku amati foto KTP yang ada
di dompet itu. Setelah kira-kira 2 jam aku mengitari pasar, akhirnya ku temukan
pemilik dompet mewah itu. “Maaf, Kak. Apa ini dompet Kakak?” tanyaku
menghentikan langkahnya. “Oh iya, Dek. Alhamdulillah… Dari mana kamu
menemukannya?” tanya perempuan berjilbab itu. “Maaf, Kak. Kemarin waktu
terjatuh dari saku Kakak, langsung aku ambil. Tapi demi Allah, aku sama sekali
tidak mengambil uangnya sepeserpun.” Dia membalasnya dengan senyum lebar, seolah
melihat kelucuan pada diriku.
“Iya… Kakak percaya kok sama kamu. Mmmm…
nama kamu siapa?” tanyanya sambil mengelus rambutku. “Dion,” jawabku singkat.
Dia pun juga memperkenalkan dirinya padaku. Panggilannya adalah Kak Alya. Aku
terlibat perbincangan dengan anak orang berduit itu, dan kita semakin mengenal
dekat meskipun baru pertama kali bertemu. Tak lama berbincang-bincang, Bapak
datang menghampiriku. Kami pun saling mengenal hingga terlihat akrab. Bahkan
Kak Alya tahu apa yang ada dalam pikiranku. Aku sangat ingin bersekolah. Pantas
saja, karena kak Alya kuliah di jurusan Psikologi. Suatu hari kak Alya
berkunjung ke rumahku yang kecil, kumuh, dan sangat tidak nyaman. Baru kali ini
aku temui seorang yang cantik dan baik hati. Aku, Bapak, Ibu dan kak Alya
berbincang-bincang dan saling bertukar pengalaman. Ketika Ibu menceritakan
kehidupan keluarganya yang selalu miskin, air mata kak Alya mulai mengalir di
pipinya, dia terharu. Begitu juga Bapak dan Ibu. Sedangkan aku, lebih tak kuasa
menahan tangis.
Aku lari keluar rumah, ku kerahkan
seluruh tenagaku untuk berlari sekencang-kencangnya. Entah bisikan apa yang
membuatku berhenti tepat di tengah rel kereta api. Pikiranku serasa kacau. Aku
ingin mengakhiri semua beban dan penderitaan ini. Aku tak mau membebani Bapak
Ibu lagi. Aku berdiri memejamkana mata, dan berharap kereta akan datang
menindas tubuhku yang tak berguna ini. Bapak, Ibu dan kak Alya berusaha
mengejarku dan mencegahku. Kak Alya pun langsung menarikku keluar dari rel dan
memelukku erat sambil menangis. “Kamu kenapa Dion?” tanya kak Alya. “Dion..
Kamu kenapa, Nak? Jawab!” sambung Bapak. Aku terdiam sejenak. “Aku tak mau
membebani Bapak dan Ibu terus. Selama ini Dion hanya menyusahkan Bapak Ibu.
Dion tidak bias sekolah. Dion tidak bisa bahagiakan Bapak Ibu. Biarkan Dion
pergi… Dion tidak berguna…!!” teriakku kencang. Suara kereta melaju kencang
mengiringi teriakanku. Angin berhembus mengikuti arah kereta melaju dan menghempas
rerumputan di sekitar rel.
“Tidak Dion!! Kamu sangat berguna buat
Bapak dan Ibu. Kamu anak kami satu-satunya…” sahut Ibu yang menangis
terisak-isak. Ibu sangat menyayangiku, dan beliau sangat takut kehilangan aku.
“Sadar Dion! Masa depan kamu masih panjang. Kakak yakin, kamu pasti akan jadi
orang yang bisa membahagiakan Ibu Bapak. Yach…” ucap kak Alya sembari memegang
kedua bahuku.
Semuanya terdiam, hanya isak tangis yang
terdengar. Kak Alya merasa trenyuh, dia berusaha berpikir dan mencari jalan
keluar untuk bisa meringankan beban keluargaku. Akhirnya dia mengajakku kembali
ke rumah, Bapak dan Ibu mengikuti dari belakang. Sesampainya di rumah, kak Alya
memutuskan untuk merawatku di rumahnya yang sungguh bagaikan istana. Sedangkan
Bapak dan Ibu membantu pekerjaan rumah. Ibu membantu kak Alya dan keluarganya
untuk merawat rumah serta memasak, dan Bapak membantu tukang kebun untuk selalu
merawat tanaman yang mengelilingi rumah keluarga kak Alya. Tak ku sangka,
keluarga kak Alya begitu baik. Mereka mau menyekolahkan aku dan memperlakukan
Bapak Ibuku seperti keluarga sendiri.
Sepuluh tahun kemudian, akhirnya aku
lulus kuliah. Bapak, Ibu dan keluarga kak Alya sangat senang mengunjungiku
waktu wisuda di kampus tempatku kuliah. Sungguh, Allah Maha Adil. Tak ku
sangka, aku juga mendapat penghargaan sebagai wisudawan termuda dan
berprestasi. “Terima kasih, kak. Dion sangat berhutang budi pada kakak dan
keluarga. Terima kasih..” ucapku ketika kupeluk kak Alya. “Iya Dion. Kakak dan
keluarga sangat senang Dion jadi orang sukses. Semoga Allah selalu melindungi
kita semua ya..” jawab kak Alya dengan senyum lebar. Kini, aku menjadi seorang
dokter spesialis bedah di rumah sakit daerahku. Aku sangat bersyukur, Allah
mendengarkan do’aku, cita-citaku sejak kecil yang ku anggap hanya mimpi yang
tak pernah menjadi nyata, akhirnya menjadi kenyataan. Dan aku bisa
membahagiakan Bapak Ibuku. Terima kasih ya Allah… terima kasih kak Alya, aku
sangat merasa berhutang budi pada kakak dan keluarga kakak.
Tapi, belum genap satu bulan aku
menjalani profesiku, musibah telah menimpa kak Alya. Dia dan suaminya mengalami
kecelakaan maut. Mobilnya jatuh ke jurang ketika perjalanan berlibur. Aku pun
berusaha membantu menyembuhkan luka mereka yang parah. Namun Allah berkehendak
lain, nyawa kak Alya dan suaminya tak bisa di tolong lagi. Ya Allah… hati ini
sangat terpukul, kenapa begitu cepat kebahagiaan ini untuk kak Alya, belum
sempat aku membalas kebaikannya, tapi dia sudah pergi ke dunia lain, selamanya.
Tapi aku selalu berharap, kebaikan yang selama ini dia berikan pada keluargaku,
akan dibalas oleh Allah. Sekali lagi, terima kasih kak Alya, kebaikanmu akan
selalu melekat di hatiku. Dan maafkan kesalahanku, Bapak dan Ibu selama ini.
Cerpen yang berjudul "Jalan Hidupku" merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Nur Isna Aulya.
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Jalan Hidupku | Nur Isna Aulya"