Cerpen Sedih - Lupus Membawamu Pergi | Setyaji Nurwansyah
Lupus membawamu pergi - Setyaji Nurwansyah
Sore itu teman-teman kuliah ku menjenguk Alvin yang sedang di rawat di rumah sakit. Sudah satu minggu Alvin dirawat, sayang aku tidak bisa ikut karena sudah berada di rumah. Di mana rumahku dengan kota di mana Alvin di rawat jauh, jaraknya sekitar dua jam kalau naik sepeda motor, sedangkan untuk kuliah aku kos, karena jarak antara rumah dengan tempat kuliahku juga jauh, sekitar 70 Kilometer. Dan setiap minggu aku selalu menyempatkan pulang ke rumah untuk menemui keluargaku dan teman-temanku.
Setelah teman-teman satu kelas menjenguk
Alvin salah satu temanku benama Rian mengupload foto saat bersama Alvin. Rian
memang salah satu teman yang paling dekat dengan Alvin. Dan sore itu akhirnya
aku dapat melihat lagi senyum dan keceriaan yang terpancar dari wajahnya yang
sempat menghilang dari pandangan ku meski hanya lewat foto yang di upload di
FB. Wajahnya masih sama, keceriaan terlihat jelas meski masih saja pucat.
Alvin adalah sahabat kuliahku satu
kelas, dia teman yang selalu membawa keceriaan, sehingga suasana kelas menjadi
tidak membosankan.
Sehari setelah di jenguk teman-teman
akhirnya alvin pun masuk kuliah kembali meski dengan wajah yang pucat. Senyum
dan canda nya masih sama seperti dulu, tak ada yang berbeda. Dan aku pun belum
tahu penyakit apa yang menyiksanya hingga ia harus di rawat selama satu minggu
di rumah sakit. Aku ingin menanyakan langsung padanya namun semua kata-kataku
seakan tertelan kembali, tidak sampai hati rasanya aku menanyakan langsung.
Saat pertama ia masuk aku langsung berjabat tangan denganya dan menanyakan
keadaanya.
“ Gimana vin ? Sudah sehat? ” tanyaku
sambil menjabat tanggannya
“ Udah sehat kog ”
“ Maaf ya ? kemarin ngak bisa ikut
njenguk”.
“ Ngak papa kog”. Jawab Alvin dengan senyum
meski wajahnya masih pucat
Saat berjabat tanggan dengan nya aku
merasa kan tanggan nya dingin sekali. Semakin membuat hati ku bertanya-tanya
sebenarnya penyakit apa yang sedang di tanggung oleh nya. Aku pun mulai
menanyakan kepada Rian yang kemarin menjenguknya di rumah sakit.
“ Yan, Alvin sebenarnya sakit apa si?”
“ Alvin sakit lupus ki”.
“ Lupus?” kataku yang tercengang
Aku bingung sebenarnya penyakit apa itu,
karena aku baru mendengarnya, dan rasa ingin tahu ku pun tumbuh dan aku kembali
menanyakan kepada Rian.
“ Lupus itu penyakit apa ian?”
“ Aku sendiri kurang paham ki, yang aku
denger–denger penyakit itu menyerang sistem kekebalan”
“ Bisa sembuh total kan?”
“ Kurang tahu kalau itu ki”.
Khayalku mulai melayang-layang mendengar
jawaban dari Rian, memikirkan kemungkinan terburuk yang dialami Alvin, namun
semua itu ku buang jauh-jauh dan jauh dalam hati ku aku yakin bahwa Alvin akan
sembuh.
Sekitar 3 mingu setelah Alvin masuk
kembali kuliah, aku tak lagi melihat guratan senyum dan keceriaan dari
wajahnya, seakan untuk senyum pun kini ia tak mampu dan ia lebih sering terdiam
merenung memikirkan penyakit yang semakin hari semakin menyiksanya. Saat Alvin
terdiam dunia pun seakan ikut diam, karena tawa-tawanya lah yang membuat kelas kami
menjadi tidak membosankan.
25 Desember 2012
Aku yang sedang terditur pulas tiba-tiba
mendengar alunan nada dari HP ku yang ku letakan di dekat kepalaku, aku pun
terbangun dan mengangkat telfon dan terkejut yang menelfon Alvin, dalam hati
aku bertanya-tanya .
“Ada apa ya Alvin telfon pagi-pagi,”.
Aku pun mengangkat telfon dari nya
“Hallo” kata pertama pun keluar dari
mulut ku meski dengan mata yang masih setengah terpejam
Hening untuk sejenak, dan terdengar
suara helaan nafas, seakan ada suatu hal yang berat untuk dikatakan
“ Assalamuailakum Mas, ini ibu nya Alvin
mau memberitahu kalu Alvin meninggal dunia mas”.
“ Yang benar bu” mata pun langsung
terbuka, seakan tak percaya
“ Iya mas, tadi malam sekitar pukul 1
Alvin meninggal, tolong kasih tahu teman-teman yang lain” sambil mengangis
tersedu-sedu
“ iya bu”
Deg… seakan alunan jantungku berhenti,
perasaan ku masih tidak percaya karena aku mengenal Alvin belum terlalu lama
namun ia sudah harus pergi untuk selama-lamanya. Tubuh kusekejab menjadi lemas
seakan semua energi ku menguap dan hilang. Rasa tidak percaya masih terus
berkecambuk dalam hatiku. Aku pun menghubungi semua teman-temanku dan bergegas
menuju rumah duka. Dan semua teman-temanku juga merasa tidak percaya dengan
kepergian Alvin yang begitu secepat ini. Sebelum berangkat menuju rumah duka
aku mencoba untuk sarapan pagi karena perjalanan yang akan ku tempuh menuju
rumah duka jauh, namun apa boleh buat aku hanya bisa menelan beberapa suap
nasi, rasa lapar seakan tak terasa yang terasa hanyalah rasa kehilangan yang
begitu besar.
Sebelum menuju rumah duka aku dan
teman-teman berkumpul di suatu tempat, agar kita berangkat bersama-sama karena
aku tak tahu rumah Alvin dan hanya ada beberapa teman ku yang tahu salah
satunya Rian. Dan pada saat itu aku melihat wajah Rian yang memperlihatkan akan
rasa kehilangan dari guratan wajahnya, matanya sedikit memerah dan
berkaca-kaca. Dia merasa terpukul sekali dengan berita ini karena dia lah
sahabat yang paling dekat dengan Alvin.
Sesampainya di rumah duka, tubuhku merinding
ketika melihat rumahnya sudah sangat ramai dan yang terdengar hanyalah alunan
ayat suci AL-Qur’an. Seolah baru sadar kalau ternyata sahabat ku telah
meninggal. Aku masuk, dan orang yang pertama aku lihat adalah ibunda Alvin.
Beliau memandang aku sendu, air matanya sudah cukup menjelaskan bahwa dia
sedang dalam keadaan sangat berduka. Tubuhnya yang sedang memeluk jasad Alvin
menjadi pemandangan yang cukup mengiris hati ku. Aku pun bergegas mengambil air
wudhu dan ikut menyolati jenazah Alvin, dalam hati aku terus menerus berdoa.
“ Alvin semoga kau tenang di taman
keabadian, dan di terima disisihnya”
“ Ya Allah, ampunilah segala dosanya ,
dan terimalah semua amal baiknya”
Doa itu terus ku ucap dalam hati.
Matahari pun semakin tinggi. Ubun-ubun
pun terasa semaki panas. Tak lama kemudian prosesi pemakaman pun dimulai, aku
melihat tubuh Alvin yang terbujur kaku di tandu ramai-ramai oleh orang-orang
dan di masukan ke dalam ambulance untuk menuju pemakaman yang jaraknya memang
cukup jauh dari rumah duka yaitu sekitar 10 Km. Dan akhirnya tanah benar-benar
menguburnya. Tak bisa ku bayangkan betapa sakitnya ketika kau terkubur tanah,
pasti rasanya sakit sekali. Meski aku tahu kelak aku akan menyusul. Kini
kematian telah memisahkanmu dari semua mimpi, cita-cita, keluarga dan teman
yang kau sayangi. Dan mataku pun menerawang jauh ke langit biru nan cerah, di
situ sekilas aku melihat guratan wajahmu dengan tawamu yang begitu khas. Aku
hanya tersenyum kepada langit dan ku tahan rindu yang berada dalam hati ku. Aku
yakin kini kau telah tenang di sana di dalam taman keabadian dan kau pasti
melihat langkah kecil ku dan teman-teman dalam meraih mimpi. Seketika aku
teringat akan sebuah kutipan yang pernah ku baca yaitu tentang takdir dan
kehidupan, yang isinya . “Tuhan telah mempersiapkan takdir manusia bahkan jauh
sebelum mereka lahir”. Dan aku yakin ini adalah jalan terbaik dari Tuhan untuk
membebaskan Alvin dari penyakit yang terus menerus membuatnya tersiksa. Dan aku
yakin karena kesabaran Alvin dalam menghadapi penyakitnya, Tuhan sudah melebur
semua dosa-dosanya.
Cerpen yang berjudul "Lupus Membawamu Pergi" merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Setyaji Nurwansyah.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Lupus Membawamu Pergi | Setyaji Nurwansyah"