Cerpen Cinta - Kesedihanku | Mia Rizkiya Romadhona
Kesedihanku - Mia Rizkiya Romadhona
Aku duduk dibangku kelas. Diam membisu seperti biasa. Menatap satu persatu teman yang sedang asyik ngobrol dengan tatapan semu. Biasanya aku, Andika, Ifan, dan Rafli akan bercerita tentang hal-hal yang lucu, romantis, ataupun horor. Tapi aku memilih diam. Menjadi pendengar yang baik untuk saat ini.
“Kamu ini kenapa sih Rizky?” tanya
Andika yang duduk dibangku depanku bersama Ifan. Suaranya memecah suasana yang
dari tadi ramai dan seakan tak peduli padaku.
“Mungkin galau karena si Uzzy itu? Iya
kan?” celetuk Rafli yang duduk disampingku. Mereka tertawa. Tertawa bahagia
tentunya. Bahagia sedangkan hatiku berduka. Kebiasaan kami berempat: menghibur
salah satu teman yang sedang bersedih. Contohnya ya seperti ini.
“Kalian ini! Aku nggak mau digoda!”
ucapku sambil berusaha memalingkan muka.
“Siapa juga yang mau goda kamu? Nggak
usah mikirin orang itu lagi deh!” saran Rafli.
“NGGAK BISA!” balasku sambil terisak.
Andika bernyanyi, dan diikuti oleh yang lainnya. Jelas sekali, mereka berusaha
menghiburku.
Meski dirimu bukan milikku, Namun hatiku
tetap untukmu
Berjuta pilihan disisiku, Takkan bisa
menggantikanmu
Walau badai menerpa, Cintaku takkan ku
lepas
Berikan kesempatan, Untuk membuktikan
Ku mampu jadi yang terbaik, dan masih
jadi yang terbaik…
Ku akan menanti, Meski harus penantian
panjang
Ku akan tetap setia menunggumu, Ku tahu
kau hanya untukku
Biarlah waktuku habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar, Cintaku
padamu
Ku tetap menanti..
Tak terasa, air mataku mengalir deras.
Sederas air terjun. Mereka menatapku iba. “Aku ingin melupakan dia..” ujarku.
“Aku nggak mau kepikiran terus.” Kataku yang masih terisak.
“First Love itu mustahil untuk
dilupakan.” Kata Rafli. Selalu saja itu yang terucap dari bibir mereka! Aku
benci! Sampai aku bosan mendengarnya. “Satu-satunya jalan yang bisa kamu
lakukan adalah, mencari orang yang bisa buat kamu jatuh cinta!” jelas Rafli.
Nggak! Aku nggak akan lakukan hal konyol itu! Biarlah ini sakit! Toh yang sakit
aku kan? Bukan dia, kamu, kita, mereka, ataupun Obama sekalipun kan?
Istirahat tiba. Ku habiskan waktuku
hanya dikelas. Ditemani bayangan dingin kehampaan tubuhku. Wajahku basah karena
air mata yang mengalir. Gara-gara masalah ini, aku jadi cewek cengeng! Ahh, bukan
sifatku! Geram lama-lama. Sylvi, sahabatku datang dan duduk disampingku.
“Jangan sedih ya.” Ucapnya.
“Sylvi, aku bukan Destroyer..” isakku.
Aku memukul tanganku pada meja. “ARGGHHH!” teriakku sekeras mungkin. Kesal,
marah, dan kecewa tentunya.
“Ya Rizky, aku tahu itu. Sabar ya
sayang, bukankah itu resiko seorang Problem Solver? Yang penting kamu sabar dan
tabah. Tiba saatnya, semua ini akan kembali seperti biasa dan dia pasti tahu
kok.” Jawab Sylvi. Aku menyandarkan kepalaku dibahunya, pertanda ucapan terima
kasihku padanya. “Tetap semangat ya. Jangan sedih terus dong. Jangan kau buat
seperti itu dirimu. Nanti kau bisa tertekan, bahkan kau bisa Stress.”
Esoknya seperti biasa: duduk termenung
dibangku! Meratapi betapa pedihnya kehidupan ini. Dulu di SD, aku terkenal
sebagai Problem Solver-nya anak Zainuddin. Sering dipuji, juga sering dibenci.
Dan terkadang, sering dianggap remeh oleh sebagian orang. Padahal sebenarnya,
Problem Solver bukanlah pekerjaan mudah. Nggak hanya menyelesaikan masalah,
tapi juga harus menghadapi resiko-resiko. Resiko terbesarnya adalah DIBENCI!
Jadi nggak usah heran kalau aku banyak yang dibenci. Pernah juga dibenci sama
anak satu sekolah, karena aku menyelesaikan masalah kakak kelas yang sedang
dibenci sama anak-anak, Pernah dicap sebagai pengatur, dicap sebagai DESTROYER,
dan fitnahan lainnya. Itulah, yang menyebabkan banyak Problem Solver berhenti
ditengah jalan. Jumlahnya aja nggak sampai 10 juta orang. Nggak sebanyak para
Gamers. Termasuk aku sendiri akan berencana berhenti dari pekerjaan membantu
orang ini. Karena aku udah capek disebut sebagai DESTROYER. Aku udah sering
mengalami gangguan mental. Dan masalah Uzzy ini menjadi masalah terakhir yang
aku selesaikan. Semakin lama aku malah jadi cewek yang begitu cengeng. Padahal
akunya nggak pernah nangis karena hal yang nggak jelas kayak gini. Nggak jelas?
Sebegitu mudahnya aku mengatakan kalau hal ini adalah hal yang nggak jelas.
Penyakit lama para Problem Solver muncul: DEPRESI!
Aku merasa aku jadi lebih berbeda dari
biasanya. Pasif, diam, merenung. Nggak pernah keluar rumah. Nggak cerita-cerita
lagi sama Andika, Rafli, atau Ifan. Nggak jadi problem solver lagi. Jarang
makan. Nggak punya gairah. Bosenan. Dan begitu hal yang banyak memperngaruhiku.
Sampai-sampai semua pada mengadu ke aku soal ini.
“Kamu kok gitu seh?”
“Kok jadi pemurung?”
“Kenapa kamu nggak kayak yang dulu?”
“Kamu jadi pasif gini sih?”
“Kenapa kamu nangis terus sih?”
“Kok cuek?”
Dan begitu banyak pertanyaan yang terlontar
dari mereka. Aku diam dan menanggapi dingin akan hal ini.
Kesedihanku tak berujung. Terus menerus
datang silih berganti. Air mataku juga tak henti-hentinya meluncur dari kelopak
mataku. Aku Cuma bisa menuliskan kesedihan ini didalam sebuah cerpen. Karena
tak mungkin ada seseorang yang mengerti. Jadi lebih baik aku menulisnya.
Biarlah, ada orang yang mengatakan, “Seenaknya saja nulis-nulis atau nyeritain
orang di cerpen! Kurang kerjaan? Atau emang nggak berani langsung ngomong sama
orangnya?” Ya Allah. Kalau dibilang kurang kerjaan, it’s okay aku terima. Tapi
kalau dibilang nggak berani ngomong langsung? Itu bukan sifatku! Aku nggak
licik. Percuma aja kalau aku ngejelasin masalahnya setinggi himalaya dan
selebar jagad raya atau apapun itu nggak bakal dia ngerti. Dipendam saja!
Itulah hal yang terbaik yang bisa aku lakukan saat ini. Mungkin itu nyakitin
hati? Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan. Maybe, Everything Gonna be Okay.
Aku berjalan tepat didepan Uzzy yang
sebenarnya aku pun tak menyadarinya. Aku membawa sebuah piring kaca yang akan
ku bawa ke kantor. Tapi sebuah hal yang tak kusangka..
BRUKK!!!
Uzzy menyenggol tubuh mungilku dengan
kuat dan akhirnya aku jatuh terpeleset sekaligus piring kaca yang aku bawa
mengenai lengan kiriku. Luka sobek yang lumayan lebar dan mengeluarkan banyak
darah. Sylvi seketika datang dan menolongku untuk berdiri.
“Astaghfirullah Rizky! Kau tak apa kan?
Ayo segera aku antar ke ruang BK!” seru Sylvi.
“Ada apa ini?” tanya Bu Dian, guru BK
kelasku. “Tadi Rizky membawa piring dan disenggol oleh seseorang. Dan salah
satu pecahan piring itu mengenai lengannya.” Jelas Sylvi.
“Ya Allah, lebar sekali lukanya. Segera
kita bawa ke puskesmas.” Perintah Bu Dian.
Akhirnya, aku dibawa ke puskesmas.
Pecahan piring itu dibersihkan oleh petugas kebersihan sekolah. Sementara Uzzy,
hanya cuek dan menatapku tajam.
Aku menatap luka jahitan yang dibalut
perban putih. Sakit sih. Namun sakitnya nggak sesakit kesedihanku. Walau aku
luka seperti apapun, cacat seperti apapun, tapi semua itu nggak sesakit rasa
sedih yang aku alami belakangan ini. Aku nggak tahu modus apa yang dilakukan
Uzzy. Mungkin balas dendam? Biarlah, itu resiko. Toh, dia nggak bakal nangisin
aku kan? Saat disekolah, tak henti-hentinya Sylvi menanyakan keadaanku.
“Eh Uzzy, kamu emang nggak punya hati
dan nggak tahu diri ya?” kata Sylvi. “Kamu nggak tahu apa? Rizky itu bukan
DESTROYER! Kamu nya aja yang salah faham! Eh, sekarang pakai modus nyelakain
Rizky kayak gituan!” Bentak Sylvi.
“So? Penting kah? Emang gue pikirin?”
tanya Uzzy dengan sebegitunya -_-
“Dasar! Kamu emang cowok yang..”
“Cukup Sylvi! Cukup!” aku memotong
perkataannya. “Aku terluka karena kecelakaan semata! Ini murni karena
kecerobohanku sendiri. Nggak usah kamu hubung-hubungkan sama masalah DESTROYER!
Sebaiknya kita pergi dari sini!” ucapku yang begitu muak.
“Kamu ini apaan sih? Aku belain kamu
buat nuntut dia ke BK kamu malah belain dia. Aku belain kamu biar Uzzy sadar
kamu malah nggak mau. Kamu juga kalau biasanya lihat darah bakal ngeraung-raung
nggak jelas kayak teroris yang ditangkap polisi. Kenapa kamu ini?” tanya Sylvi.
“Kamu ngebantu aku tapi ya nggak kayak
gini caranya. Dia malah makin salah faham. Udahlah, lupakan Uzzy. Aku muak.”
Jawabku malas. Semalas malasnya dua tingkat dari malas.
Pukul 12.00 dan artinya waktunya
istirahat. Bedanya kali ini, aku ditemani Sylvi yang sedang apel dengan Rafli
(pacaran maksudnya). Aku sedang membuka Facebook. Dan sangat tak kusangka, Uzzy
sedang online, dia meng-update status.
Ruzzy Septian Radityo
Enak aja, nuduh aku kalau aku yang salah
faham. Jelas-jelas dia salah. DESTROYER tetap DESTROYER 😀
*Evil Laugh
Ya Allah, tahu nggak status ini buat
siapa? Jelasnya buat aku! Tak mau kalah, aku juga mengupdate status.
Balas-balasan maksudnya.
Lilyana Rizky Syafira
Ya Allah, sabarkan aku dan sadarkan dia
:’)
Hari demi hari berlalu. Dan Uzzy juga
makin membenciku. Entah kenapa, aku memikirkannya malam ini. Aku heran, mengapa
dia membenciku? Sudahlah, tak perlu memikirkan dia lagi. Yang penting aku nggak
membenci dia. Aku berbaring di kasur dan menatap langit-langit kamar. Terbesit
kenangan tentang Uzzy. Dan nggak mungkin aku melupakan hal itu, nggak secepat
membalikkan halaman buku. Aku menatap jendela. Hujan kali ini begitu deras
disertai petir yang menyambar-nyambar. Begitu menyedihkan, sebegitu
menyedihkannya sampai hatiku juga ikut merasakannya. Aku memutar lagu Greatest
Day dari Take That, boyband asal Inggris. Aku mendalami lagu itu dan tertegun.
Aku melihat luka yang masih dibalut
perban itu. Aku masih teringat akan kejadian 2 hari yang lalu. Lagu berganti
dengan lagu berikutnya. Vanilla Twilight dari Owl City, yang merupakan salah
satu lagu favorite ku dan lagu favorite Uzzy. Lagu itu membuat aku makin
membuat aku menggali kenangan tentang Uzzy. Membuat aku makin ingat dengannya.
The stars lean down to kiss you,
And I lie awake and miss you.
Pour me a heavy dose of atmosphere.
‘Cause I’ll doze off safe and soundly,
But I’ll miss your arms around me.
I’d send a postcard to you dear,
‘Cause I wish you were here.
Mendengar lirik, “Cause I wish you were
here” membuat aku menangis. Aku teringat, waktu itu aku dan Kevin, sahabatku
sedang mempelajari lagu ini. Membawa lirik lagu sambil memutar lagu itu juga.
Dan saat itu Uzzy datang, sambil menyanyikan lirik,
“Cause I wish you were here”
Aku baru bisa mendengar Uzzy menyanyi
dengan suara yang membuatku berdesir seperti angin. Biasanya, aku hanya
mendengarnya bergumam. Aku begitu terharu teringat kejadian itu.
I’ll watch the night turn light blue.
But it’s not the same without you,
Because it takes two to whisper quietly,
The silence isn’t so bad,
Till I look at my hands and feel sad,
‘Cause the spaces between my fingers
Are right where yours fit perfectly.
I’ll find repose in new ways,
Though I haven’t slept in two days,
‘Cause cold nostalgia chills me to the
bone.
But drenched in Vanilla twilight,
I’ll sit on the front porch all night,
Waist deep in thought because when I
think of you.
“I don’t feel so alone” , itu bukan
suara Adam Young, vokalis Owl City meskipun menyanyikan lirik yang sama. “I
don’t feel so alone.” Ulangnya. Perlahan aku menoleh ke sumber suara. Ternyata
Uzzy berdiri di ambang pintu kamarku yang sedang terbuka. “I don’t feel so
alone.” Ulangnya sekali lagi sambil menatapku dengan tatapan penuh arti. “As
many times as I blink I’ll think of you… tonight.”
“I’ll think of you tonight.”
Uzzy melanjutkan bait lagu itu. Yang
merupakan puncak dari lagu itu dan yang paling aku suka. Sylvi berdiri dibalik
punggung Uzzy.
When violet eyes get brighter,
And heavy wings grow lighter,
I’ll taste the sky and feel alive again.
And I’ll forget the world that I knew,
But I swear I won’t forget you,
Oh if my voice could reach back through
the past,
I’d whisper in your ear,
Oh darling I wish you were here.
“Uzzy?” tanyaku. Bagaimana bisa dia
berada disini dan menatapku yang sedang menangis seperti ini? Semua ini salah
hujan.
“Ya, Aku disini..” katanya, dan perlahan
memasuki kamarku. “Maafkan aku Rizky, aku hanya ingin kau berubah. Bukan maksudku
ingin membencimu, tapi aku hanya ingin kau tidak mempunyai sifat alay dan sok
itu.” Jawabnya. Seketika itu aku bermuram durja.
“Jadi selama ini?” aku berusaha
merangkai kata-kata, “Jadi selama ini itu tujuanmu? Merubah sifat itu nggak
secepat membalikkan halaman buku. Merubah sifatku tapi juga bukan begini
caranya!” tak terasa, butiran air mata jatuh dari kelopak mataku. Kecewa, itu
pasti!
“Aku minta maaf..” rintihnya sekali lagi
“Cukup, sebaiknya aku yang minta maaf.
Jadi hutangku lunas!” timpalku.
“Jadi, kamu tak mau maafin aku?”
tanyanya dengan muka kalut. “Kata siapa?” aku tersenyum dan segera menghapus
air mataku. “Jangan ulangi lagi ya.” terangku padanya. Uzzy menatapku senyuman
bahagia. Sylvi pun begitu. Aku berpelukan. Dengan mereka. Kesedihanku hari hari
yang lalu, seketika terhapus dengan malam ini. Saat orang yang aku sayangi
berada didekatku dan mengerti perasaanku. Uzzy, I LOVE YOU !!
Cerpen yang berjudul "Kesedihanku" merupakan sebuah cerita pendek kehidupan karangan dari seorang penulis yang bernama Mia Rizkiya Romadhona. Kamu dapat mengunjungi facebook penulis di link berikut: www.facebook.com/MiaRizkiyaRomadhona
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Kesedihanku | Mia Rizkiya Romadhona"