Cerpen Fantasi - De Ja Vu | Jibril
“Kok, jam segini Bu Maya belum datang, yah?” lirih Dimas yang duduk di bangku sebelah kananku. Aku mengernyitkan dahi. Benar, dalam hati aku juga bertanya kenapa wali kelas kami sekaligus guru Matematika itu belum juga mengajar.
Apa dia sakit? Wajah teman-teman tampak
jengah menunggu. Kembali aku melihat goresan tinta di atas kertas putih. Tangan
ini tak berhenti-hentinya melukis sebuah pemandangan aneh yang kerap aku temui
dalam mimpi malamku. Membuat sketsa seorang remaja seusiaku terikat pada tiang
besar di atas dolmen. Hanya mengenakan kain putih penutup kemaluannya.
de ja vu
“Pagi anak-anak…” sontak aku terkesiap
mendengar suara Bu Maya tatkala ia memasuki ruang kelas, namun mataku masih
mengamati lukisan itu. “Pagi, Buuu….” teman-teman menyahut, di susul suara
ribut-ribut khususnya kaum adam yang entah mengapa terlihat begitu semangat
saat Bu Maya menampakkan diri, tidak seperti biasanya. Aku mengalihkan perhatian
ke arah bu Maya sejenak.
Damn! Sontak hatiku berdesir hebat
ketika mataku melihat seorang gadis anggun dan tinggi semampai berseragam SMA
berdiri di depan kelas tepat di sisi bu Maya. Gadis itu berkerudung sebahu. Anak
baru? Cantik juga dia. Tapi…
“Kelas kita, kedatangan murid baru
pindahan dari SMA Negeri 3 Jambi. Ainara, silahkan memperkenalkan diri…”
kelakar bu Maya lalu berbisik pada gadis itu. Mata kami tak lepas mengamati
gadis yang bagiku agak sedikit berbeda dari gadis lainnya. Sambil memperhatikan
dia berceloteh, aku mendapati banyak teman-teman lelaki yang mengobrol atau
lebih tepatnya membicarakan Ainara yang menarik simpatikku itu. Termasuk Dimas
dan Randi.
“Ainara? Sudah punya pacar atau belum?”
tanya Randi pada anak baru itu. Entah sengaja atau tidak, sejenak Ainara
menatap wajahku. Dia tersenyum manis. Manis sekali. Aku salah tingkah karena
tatapannya itu.
“Hmm, aku belum punya pacar. Tapi….”
Ainara masih menatapku.
“Tapi apa?” sambung Riska penasaran.
“Tapi aku sudah, tunangan!”
“Apaaaaa?!” sontak kami semua terkejut.
Gila! Kelas 3 SMA sudah jadi tunangan? Huhhh. Beberapa teman ku lihat
menggelengkan kepalanya. Termasuk aku. Lagi-lagi Ainara menatapku, tersenyum.
Bu Maya mempersilahkan Ainara duduk di sebelah Riska. Sebelumnya, aku seperti
pernah mengalami kejadian pagi ini. Ada anak baru berjilbab dan cantik masuk di
kelasku, lalu memperkenalkan diri dan duduk di sebelah Riska. Yah, aku memang seperti
sudah mengalami kejadian pagi ini di lain waktu. Ainara? Dia sesekali masih
menatapku.
Malam ini, kami ada pelajaran tambahan
di sekolah. Ainara, anak baru itu cepat sekali berbaur, dalam hitungan jam
saja, baik laki-laki maupun perempuan sudah akrab dengannya. Termasuk Dimas dan
Riska. Mereka mengobrol di bangku paling ujung, bercanda ria dan tertawa.
Selang beberapa saat Pak Widarta masuk dan langsung mengajar les tambahan.
Pelajaran Bahasa Indonesia.
“Eh, menurutmu, Ainara itu cantik
nggak?” tanya Randi padaku. Ku tatap wajah Randi dingin. “Memang penting?”
desisku terganggu.
“Jiaaah, aku cuma tanya aja sob. Segitunya…”
hening pun datang sejenak.
“Eh, besok anak-anak mau ke Dago. Kita
ada acara disana, mau ikut?” lanjut Randi lalu tersenyum seraya mengangkat
alisnya. Aku menggeleng.
“Besok aku nggak bisa kemana-mana…”
ucapku lirih.
“Kenapa?”
“Nggak penting juga di kasih tahu. Udah
ah, dari tadi kamu ngajakin ngomong mulu. Nggak konsen aku, sama pelajaran Pak
Widar…”
“Eh! Kayaknya, anak baru itu suka sama
kamu, deh.” Lirih Randi semakin membuatku kesal.
“Bisa diam nggak?” sahutku ketus.
“Ups!” sahut Randi menutup mulutnya
tertawa. Mengejek. Aku mencuri pandang melirik wajah cantik Ainara sesaat.
Astagah! Dia tersenyum padaku. Dan senyumnya malam ini, sepertinya aku juga
pernah merasakan sebelumnya, di tempat yang sama, waktu yang sama, momen yang
sama, ya seperti saat ini. Apa ini namanya? Entahlah, Ainara cukup membuatku
bersimpatik padanya.
“Alfi, tunggu!” teriak seorang wanita
saat aku berjalan di koridor. Aku membalikkan badan. Ainara?
“Eh, aku duluan yah.” lirih Dimas yang
ada di sampingku.
“Aku juga Al, mamah udah nunggu di
depan..” sela Riska kemudian.
“Oh, oke…” sahutku pada mereka berdua.
“Sampai ketemu besok, Al…” tukas Dimas
lalu berjalan bersamaan dengan Riska menuju gerbang. Aku mengangguk pelan. Ku
lihat lagi Ainara yang berjalan semakin mendekatiku. Ia berhenti beberapa langkah
di depanku.
“Sory, ngganggu…” lirih Ainara rikuh.
“Nggak apa-apa. Ada apa, Ai?” tanyaku
kemudian.
“Begini…”
“Ciehhhh. Yang lagi PDKT…” tiba-tiba
Randi dan dua orang temannya datang dari belakang menghampiri kami lalu kembali
berlalu seraya tertawa. Kontan aku jengah dengan tatapan mereka. Kami pun
berjalan berdua menuju halaman parkir. Ainara belum membuka pembicaraan. Dia
masih malu sepertinya. Perlahan aku menatap wajahnya.
“Mau ngomong apa tadi…?” tanyaku pada
gadis itu.
“Begini, Al. Kemaren pagi, nggak aku
sengaja lihat kamu sibuk berkutat di depan meja kelas. Kayaknya serius gitu,
sampai-sampai aku penasaran. Terus, saat kamu istirahat dan pergi ke lapangan
basket, aku iseng liatin apa yang kamu kerjain. Ternyata ada gambar anak cowok
seusiamu, di ikat di atas tiang dekat sebuah batu dolmen gitu, memangnya dia
siapa? Kok, sepertinya gambar itu kayak bermakna…”
“Maksudmu?”
“Yah, aku ngerasa gambar itu hidup aja.
Seperti ungkapan perasaan hatimu yang paling dalam. Apa, gambar itu hanya
terlintas begitu saja di dalam pikiranmu. Atau kami merasa pernah melihat
sesuatu…?”
“Hmmm, aku juga kurang tahu, Ai…” lirihku
sambil berjalan. Udara dingin serta merta mengelus kulit tanganku.
“Tapi, aku memang pernah mengalami mimpi
itu. Cowok yang kamu maksud itu, seolah adalah aku. Soalnya, mimpi itu selalu
datang berkali-kali dalam lelapku. Aku juga nggak tahu itu hanya bunga tidur
atau suatu isyarat untukku. Yang jelas aku selalu menggambar mimpi itu seperti
ada yang memintaku untuk melukiskannya…”
“Ohh…” lirih Ainara mengimbangi
langkahku.
“Eh iya, Ai. Ngomong-ngomong, aku jadi ingat
sesuatu…” kataku padanya.
“Apa?” tanya Ainara ingin tahu.
“Kayaknya, waktu kamu memperkenalkan
diri di depan kelas waktu itu, seolah aku sudah pernah melihatmu sebelumnya,
kamu berdiri di sana, memakai pakaian SMA, menatapku tersenyum, lalu saat kita
berpandangan. Terus, waktu kita di kantin siang tadi, aku kayak udah mengalami
kejadian serupa. Nah, tadi waktu les pun, kayaknya aku pernah mengalami apa
yang aku dan Randi lakukan. Kira-kira itu halusinasi atau…”
“Deja Vu!”
“Deja Vu?”
“Ya, itu namanya Deja Vu. Sebuah
perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa yang baru sedang kita rasakan
sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Ya ‘kan?”
“Haa, iya. Bener. Aku sepertinya
mengalami hal itu. Terus, kira-kira kenapa ya deja vu itu bisa datang kepada
seseorang?”
“Hmm, aku nggak tahu pasti jawabannya.
Tapi yang jelas, semua makhluk yang pernah hidup di bumi pasti pernah merasakan
deja vu. Bahkan aku juga pernah.” Kelakar Ainara bijak. Aku hanya
bersungut-sungut mengiyakan apa yang di katakan gadis cantik di sebelahku ini.
Beberapa teman sudah ada yang pulang, sebagian masih ada yang duduk-duduk di
depan kantor guru, ada yang di depan koridor perpustakaan, ada yang di
parkiran, ada yang masih duduk di depan tiang bendera sekolah. Yah, suasana di
sekolah sekilas tampak seperti tempat nongkrong anak remaja di alun-alun kota
pada umumnya. Hanya bedanya, sekolah kami agak terpencil. Jauh dari keramaian.
Tapi ini salah satu sekolah favorite dan bagus.
“Oh ya, Al. Boleh tanya sedikit hal pribadi
nggak?” tanya Ainara kemudian.
“Boleh, memang, mau tanya apa?”
“Tapi jangan marah, yah?”
“Insya Allah.”
“Hmmm…” Ainara tampak malu-malu.
Wajahnya memerah saat menatap wajahku lekat. Aku jadi agak gerogi, apa dia mau
bicara kalau suka sama aku? Ta-tapi, bukannya dia sudah tunangan? Ainara masih
diam. Dia melihat wajahku lagi dengan tatapan agak salah tingkah. Di bawah
pohon akasia aku dan Ainara berdiri saling memandang, dalam suasana
remang-remang.
“Mau tanya apa, sih?” aku malah
penasaran. Tiba-tiba wajah Ainara tampak tegang. Panik, atau gelisah. Lalu.
“Alfi! Aku duluan yah…” sambung Ainara
kemudian berlalu cepat meninggalkanku begitu saja.
“Ainara?” aku memanggil seraya mengikuti
langkahnya yang menuju ke arah gerbang sekolah. Sempat aku melihat dia menatap
gedung perpustakaan di sudut sekolah ini. Agaknya Ainara memang melihat
sesuatu. Tapi apa? Aku merinding saat melihat lelaki bertubuh hitam, besar dan
tinggi tiba-tiba muncul di sudut perpustakaan itu.
Dua bulan berlalu. Aku mengepak semua
barang-barangku dan memasukkanya ke dalam koper. Selama seminggu aku dan
teman-teman akan mengadakan kemping di puncak. Acara rehat sekaligus syukuran
sebelum kami menghadapi ujian Nasional beberapa bulan lagi. Tradisi di sekolah
kami sejak dahulu. Rencananya, kami akan mengadakan bakti sosial ke tempat
penduduk setempat, menanam bibit pohon-pohon akasia, jati, dan beberapa jenis
tanaman lain di lahan kosong. Dan beberapa kegiatan lain yang telah di
rencanakan.
“Perlengkapan mandimu sudah di bawa semua,
Al?” tanya ibu dari ruang makan.
“Udah, Buk..” sahutku seraya memasukkan
beberapa kaos kasual ke dalam koper. Setelah semua di rasa cukup, aku pun
berpamitan pada ayah dan ibu. Berangkat ke sekolah dan menunggu bus di sana.
Jam lima sore aku, Riska, Dimas, Ainara
dan Randi masih duduk di depan gedung sekolah, sementara Angga dan Mariska
telah pulang kerumah mereka sejak pukul tiga sore tadi. Entah apa rencana kami
selanjutnya aku tidak tahu. Yang jelas, kami telah gagal kamping di puncak.
Gagal mengikuti kompetisi bergengsi. Gagal merebut gelar juara. Dan gagal
semuanya. Semua gara-gara aku datang telat hampir sejam lebih. Tampaknya,
mereka semua masih marah padaku. Huhh, bagaimana ini?
Hujan masih deras mengguyur kota Bandung.
Ku lihat wajah kesal mereka membuatku merasa tidak nyaman. Kecuali Ainara,
mereka semua terus menyudutkanku. Mengumpat. Dan meminta aku bertanggung jawab.
Memangnya kalau sudah begini apa yang bisa aku pertanggung jawabkan?
“Aku mau pulang…” lirih Riska bersedih.
“Aku juga, memang kamu pikir aku betah
bengong di sini nggak jelas nasibnya?” sambung Randi membuatku semakin merasa
bersalah.
“Kalau hujan yang deras ini nggak
berhenti, gimana?” tukas Dimas membuat suasana seolah memburuk.
“Udah, kalian semua tenang. Nggak usah
menyalahi nasib. Toh, rumah kalian juga dekat dari sekolah.” Ucapan Ainara
agaknya membuatku tenang dan lega. Aku menatapnya tersenyum. Makasih, ya, Ai.
Kau membelaku. Pikirku dalam hati. Hampir beberapa jam kami di sini, hujan malah
semakin deras. Tidak ada tanda-tanda akan mereda. Mereka semua terlihat lemas,
letih, dan kesal. Tidak ada angkutan umum, tidak ada ojek, sepertinya kami akan
terisolasi di sekolah.
“Aku bawa bekal, ada yang mau makan
malam bersamaku?” tanyaku kepada mereka semua.
“Aku juga bawa, kok..” Ainara menimpali,
kemudian mengeluarkan kotak bekalnya. Yang lain tidak banyak bercakap selain
meratapi hujan yang semakin menderu biru.
“Coba, boleh bawa HP, tinggal telfon
mamah, di jemput deh…” lirih Riska bergetar. Agaknya dia yang paling kecewa dan
kesal terhadapku.
“Di depan ‘kan ada wartel?” sambung
Ainara.
“Aku nggak bawa payung atau mantel.
Kalau kesana, aku bisa sakit flu atau bahkan demam kena hujan sederas ini…”
Riska menyahut kasar. Ainara menatapku malu. Aku diam dan mengisyaratkan agar
Ainara bersabar. Mereka semua emosi. Dan aku masih belum mendapat kata maaf
dari Randi, Dimas dan Riska sejauh ini.
Malam ini, karena hujan tidak juga
kunjung reda. Kami memutuskan untuk ke ruang UKS sekolah, beristirahat di sana.
Perlu di ketahui, seperti yang aku katakan, sekolah kami bukan berada di
tengah-tengah kota pada umumnya, yang ramai dan berdekatan dengan gedung-gedung
lainnya. Sekolah kami ada di tengah-tengah lahan kosong milik seorang Haji. Dan
ada di dekat perkebunan. Di depan sekolah hanya ada sebuah kedai kecil, wartel,
dan halte. Jadi kami memang tidak bisa kemana-mana. Akses keluar cukup jauh.
“Aku mau tidur…” ujar Dimas menuju kursi
sofa. Ia merebahkan badannya disana. Di susul Randi. Sedang Siska dan Ainara
ada di ranjang UKS. Aku? Aku duduk di depan UKS sendirian. Entah mengapa, aku
pun berfikir pernah merasakan hal ini sebelumnya. Terisolasi di sekolah dan di
musuhi teman-teman baikku. Lalu…
Whussss!
Sontak aku terkejut. Sepintas aku
melihat sekelebat cahaya hitam melintas di depan ruang komputer. Aku merinding.
Banyak ruang kelas yang lampunya tidak menyala tiba-tiba. Sedang Pak Armin,
satpam yang biasa menjaga sekolah di malam hari juga belum kelihatan. Janjinya
mau datang dan membawa tukang ojek untuk kami berlima. Aku masuk ke UKS karena
cemas. Sepertinya aku memang melihat sosok menyeramkan itu. Persis seperti apa
yang pernah Ainara lihat juga di sudut perpustakaan.
“Mas, Dimas…” lirihku menggoyang
badannya.
“Apaan sih?” sahutnya terganggu.
“Ayo, kita keluar dari sekolah, aku
merasa nggak enak. Ada yang akan menimpa kita kayaknya..”
“Tahayul!” jawabnya lalu kembali tidur.
Aku berjalan mendekati Randi. Melakukan hal yang sama.
“Aku ngantuk, Al. Besok aja kita
pulangnya. Lagian mau jalan ke lintas terlalu jauh. Hujan juga belum reda…”
sahut Randi sambil membaringkan badannya malas. Aku mendecak. Suara petir
sambar menyambar dan membuat suasan semakin menceka. Suara derap langkah kaki
terdengar ke arah ruang UKS. Di depan pintu, aku melihat lelaki berjuah hitam
memegang kapak mengarahkan ke pintu. Matanya sempat melotot lebar melihatku.
Bahkan tatapan itu sungguh membuatku takut. Aku membangunkan Ainara setengah
berbisik,
“Ai. Ainara. Ba-bangun, Ai. Ada orang di
luar sana.” bisikku cemas. Mungkin tidak meresponnya Ainara karena dia sudah
terlelap.
“Riska. Bangun Ris…” aku coba
membangunkan gadis berkaca mata itu. Semua diam. Tidak ada yang merespon.
Lelaki di luar sana masih menatapku garang. Wajahnya pucat pasi. Menyeramkan.
Braaaak!
Lelaki itu mencoba membuka pintu ini
dengan paksa. Sontak mereka semua terkejut. Ainara dan Riska segera keluar,
Randi dan Dimas sontak bangkit dan bertanya-tanya padaku. Siapa orang yang
menggedor pintu itu?
Braaak! Dubraaaak! Greppak! Suara
hantaman itu terus terdengar hingga pintu ruang UKS terbuka.
“Hwaaaa!” kami semua berteriak saat
melihat lelaki berjubah hitam yang tubuhnya di timpa cahaya kilat terkesan
menakutkan. Wajahnya memang pasi, bahkan terlihat remuk dan hancur. Aroma
tubuhnya angker. Tinggi, besar, dan matanya tajam. Persis seperti lelaki yang
ada dalam mimpiku. Aku terbayang dengan kejadian yang akan menimpa kami. Serta
merta ku ambil kursi kayu dan ku lemparkan pada lelaki itu. Dia mengelak. Berjalan
perlahan lalu mendekatiku. Aku berjalan mundur menghindarinya. Tatapan mata lelaki
itu membuatku cemas, takut.
“Si-siapa kamu?!” tanyaku menggertak.
Lelaki itu mengangkat kapaknya dan mengarahkan padaku.
“Hwaaa! Toloooonggg!” teriak Riska dan
Ainara bergantian. Mereka terus berteriak meminta tolong. Randi dan Dimas
ketakutan luar biasa, mereka bersembunyi di balik meja. Aku menarik tangan
Ainara dan Riska lalu membawa mereka lari menuju ke ruang BP yang ada di
sebelah ruang ini. Lelaki itu menghadang. Aku menancapkan gunting di lengannya
saat lelaki itu hendak memukulku dengan kapak. Blesss! Aku menusuknya kuat.
“Arrrgghh!” teriak lelaki itu kesakitan.
Aku menendang lututnya hingga itu bertekuk kesakitan. Ku tendang sekali
perutnya. Ia pun limbung merintih.
“Randi, Dimas! Ayo cepat keluar.”
Pekikku pada mereka. Serta merta kedua temanku itu keluar dari balik meja dan
menghampiri kami. Lalu kami semua berlari di terpa hujan menuju pintu gerbang
sekolah.
“Aaaaaaaaa!” jerit Ainara saat melihat
mayat Pak Armin tanpa kepala tersangkut di teralis pagar gerbang. Sontak kami
semua terkejut. Pakaian satpamnya tercabik-cabik. Riska pingsan di tempat. Aku
panik. Pintu gerbang terkunci. Apa kami bisa jika harus melompati pagar
setinggi sepuluh meter ini tanpa menggunakan tangga? Kalau aku bisa saja
melakukannya, tapi bagaimana dengan Riska dan Ainara, Randi dan Dimas?
“Mau kemana, kalian?” suara aneh
terdengar dari arah lobi sekolah. Kami melihat sosok berjubah hitam berjalan
terseok-seok mengejar kami. Dimas dan Randi menggotong Riska atas perintahku
dan kami mencoba mencari jalan keluar lewat pagar di belakang sekolah. Ainara
ada di belakangku, aku menggenggam tangannya erat. Dia begitu tampak ketakutan.
“Kita keluar lewat mana? Semua pintu
terkunci?” tanya Dimas panik. Aku juga jadi ikut panik. Percuma berteriak minta
tolong, tidak ada yang akan mendengar.
Karena menemui jalan buntu, kami hanya
berlari-lari di koridor sekolah yang yang tidak tahu lagi kemana kami harus
berlari. Untungnya Riska telah sadar. Jadi tidak terlalu merepotkan. Aku
meminta agar mereka membantuku memikirkan cara agar bisa keluar dari sekolah
ini. Semua tampak panik berfikir. Tiba-tiba kami di kejutkan lelaki berjubah
hitam itu yang muncul dari tempat lain. Lelaki itu berhasil menangkap Randi.
Aku dan Dimas mencoba melepas cengkraman itu dengan memukul anggota tubuh
lelaki jangkung itu. Dia terus melawan. Kemudian memukul kepala Randi hingga
Randi pingsan dan tak sadarkan diri. Riska menjerit, Ainara menangis. Aku
shock, Dimas apalagi. Karena tidak mungkin bisa menyelamatkan Randi, kami
memutuskan mencari tempat yang lebih aman. Aku dan Ainara bersembunyi di balik
rak-rak perpustakaan. Nafasku tersengal-sengal. Begitu juga Ainara. Kami berbisik
tatkala saling memandang. Hening. Suara di ruang perpustakaan ini benar-benar
hening.
“Kemana Riska dan Dimas?” tanya Ainara
panik.
“Entahlah, tapi mereka sepertinya ke
ruang komputer…”
“Apa kita aman disini?”
“Kita lihat saja…”
Lama aku dan Ainara termenung di ruang
perpustakaan. Kami sama takut dan cemasnya. Di ruang komputer sana, kami sempat
mendengar suara teriakan Riska dan Dimas, sepertinya mereka ketahuan. Kami juga
mendengar suara Riska yang melawan lelaki berjubah hitam itu. Suara benturan
dan pukulan meja terdengar kacau. Dimas berulang kali mengahantamkan kursi ke
lelaki berjubah hitam itu. Mereka bertengkar hebat. Lalu selang beberapa saat
hening. Tenang. Sepi dan mencekam.
“Apa orang itu membunuh Riska dan
Dimas?” lirih Ainara dengan bibir bergetar. Sangat ketakutan. Aku mendekapnya
agar dia tenang.
“Aku harap tidak. Semoga mereka
baik-baik saja…”
Braaak! Upsss! Segera aku menutup mulut
Ainara yang nyaris berteriak saat mendengar pintu perpustakaan di dobrak.
“Dia datang…” bisikku di telinga Ainara.
Dia mengagguk mengerti.
“Dimana kalian…?” tanya lelaki itu
garang. Ainara tampak ketakutan, air matanya menetes. Aku memeluknya semakin
erat. Mendekapnya hangat.
“Tenang, aku akan melindungimu…” bisikku
di telinga Ainara. Suara langkah kaki lelaki itu terdengar jelas di atas
lantai. Bayangan itu jelas terlihat saat petir sesekali menyambar. Dia tidak
terlalu jauh dari posisi kami yang bersembunyi di balik rak nomor tiga.
“Kalau lelaki itu masuk di gang rak
empat, kita lari dan langsung keluar, kau mengerti?” tanyaku pada Ainara. Dia
mengangguk seiring menangis pelan. Sedangkan lelaki berjubah hitam itu
mengobrak-abrik rak demi mencari keberadaan kami. Dia terus berteriak kasar.
Entah apa yang di inginkannya dari kami.
“Hitungan ketiga, kita lari…” desisku.
“Satu….dua…tiga!” aku menarik tangan
Ainara dan membawanya lari secepat mungkin, sedangkan lelaki itu melemparkan
kapaknya dan tidak kusangka mengenai betis Ainara. Gadis itu terjatuh. Dia
merintih kesakitan, aku melihat Ainara lemah dan tidak sanggup lagi berlari.
“Ayo, bangun. Kita harus keluar..”
ujarku menyemangati Ainara.
“Kakiku sakiiit…” Ainara menangis.
Lelaki berjubah hitam itu pun keluar dan berjalan mendekati kami. Langkahnya
terseok-seok, tapi lumayan cepat. Tanpa pikir panjang aku meraih lengan Ainara
dan memapahnya keluar dari tempat ini.
“Pelan, Alfi…kakiku sakit…”
“Akan lebih sakit, jika lelaki itu
memotong-motong tubuhmu…” kataku gusar selagi memapah Ainara. Lelaki di
belakang kami semakin cepat mengejar, dia berhasil meraih pundak Ainara. Aku
melawan dan mencoba melepaskan cengkramannya itu.
“Lari, Alfi! Lari!” teriak Ainara.
“Heerggh, lepaskan Ainara, siapa kau?
Bangsat!” kataku cemas seraya melakukan perlawanan. Aku berhasil membuat Ainara
lepas. Gadis itu menangis dan terduduk di teras. Aku mengambil kayu dan batu.
Kemudian memukulkannya pada lelaki itu. Lelaki itu masih bisa melawan. Aku
memukul kepalanya. Berdarah. Aku menghantam perutnya. Dia merintih kesakitan.
Lelaki yang semakin melemah kekuatannya itu aku manfaatkan dengan memukul
bagian tubuhnya yang sudah terluka sebelumnya. Dia terjatuh, tapi sukses
menarik kemejaku. Aku ikut terguling bersamanya. Dia mencekikku kuat. Aku sesak
nafas. Tanganku meraba-raba batu yang tadi sempat aku genggam, setelah dapat,
aku langsung menghantam kepalanya hingga memuncratkan darah. Lelaki itu
terkapar. Aku terbaring lemah tak berdaya. Nafasku tersengal-sengal. Hujan
turun deras dan membuat suasana kacau hingga hatiku serasa di iris sembilu. Aku
mendekati Ainara dan membantunya lagi memapah, lalu kami segera meninggalkan
sekolah malam itu juga.
Aku dan Ainara berjalan terseok-seok di
jalan aspal. Tidak peduli hujan mengguyur kami. Ainara masih menangis. Mayat
Randi, Dimas, Riska belum sempat kami urus, tujuan kami adalah menyelamatkan
diri terlebih dahulu, lalu meminta bantuan.
“Laki-laki yang menyerang kita tadi,
adalah orang yang ada di dalam mimpiku, Ai…” lirihku seiring menahan angin
malam. Jalanan ini sepi. Bahkan kedai di depan sekolah tidak ada orangnya. Kami
berjalan lebih lambat seperti siput.
“Apa kamu juga bermimpi, kalau lelaki itu
membantai teman-teman kita?”
“Sepertinya, ya. Hanya, aku tidak
terlalu jelas. Soalnya, dalam mimpiku itu aku kedatangan seorang penyelamat,
dia bilang dirinya adalah utusan seorang pemimpin untuk mencari pembuka segel
gerbang kematian, tapi aku tidak tahu siapa sang utusan itu. Saat aku hendak
menemui bantuan, utusan itu menghilang. Waktu itu, sekitar tanggal 5 februari
2013, kakak kelasku yang bernama Rian mengalami kecelakaan saat hendak pergi ke
Jakarta. Dia sempat SMS padaku kalau ada lelaki aneh yang bertanya tentang
diriku, berhubung Rian tidak banyak memberikan info, lelaki itu mengamuk.
Terakhir pesan yang aku terima dari Rian, lelaki itu mencari sang penyelamat
dan utusan, tetapi Rian tidak mejelaskan panjang lebar siapa orang yang di
maksud. Rian hanya menyebut namaku agar berhati-hati…”
“Terus..?”
“Rian tewas terlindas mobil setelah
seminggu menjalani perawatan Pasca kecelakaan kereta api tersebut. Kata ibunya,
Rian sempat melihat orang aneh yang turut dalam perjalanannya waktu itu,
namanya Rashka…”
“Apa mungkin orang itu mencarimu melalui
teman-temanmu?” tanya Ainara.
“Aku nggak tahu, Ai. Seperti yang kita
alami, Dimas, Randi, Riska, mereka jadi korbannya. Yang penting sekarang kita
harus secepatnya minta pertolongan…”
“Aku takut, Al!”
“Tenang… Ada aku. Kamu nggak perlu takut.”
Suara lenguhan dari bibir kecil Ainara
terdengar miris di hatiku. Gadis cantik nun anggun itu sungguh bermental baja
bak kesatria. Meski tubuhnya penuh dengan luka dan bercak darah, dia tidak
pernah meronta melainkan hanya menahannya sebisa mungkin. Aku tidak tahu kemana
lagi kami berjalan. Aku asing dengan tempat yang kami lewati. Aku tidak tahu
tempat yang aku tapaki. Ainara membisu. Aku limbung mencari jalan. Hujan masih
menderu biru. Angin malam terus menerpa sisa-sisa kenangan antara aku dan gadis
itu. Mataku kunang-kunang seiring rasa ngilu di perutku terus menusuk lambung
dan ulu hati. Ohh, sakitnya.
Dari arah timur aku melihat sebuah sorot
lampu kendaraan memancar terang. Sontak aku melambaikan tangan meminta
pertolongan. Mobil agar berkarat itu berhenti. Seorang membuka pintu, aku dan
Ainara segera masuk. Di bangku belakang, aku mendekap tubuh Ainara yang
terlelap. Dia terlihat lelah sekali. Kasihan gadis cantik ini. Syukurlah, kami
bisa selamat.
“Adek-adek ini mau kemana?” tanya
seorang lelaki yang menyupir. Aku berusaha mengamati wajahnya karena dia tidak
menyalakan lampu. Samar-samar aku melihat wajahnya yang remang-remang kurang
jelas…
“Astagah!” teriakku terkejut. Lelaki
berjubah hitam itu tersenyum sini dan menatapku bengis.
Cerpen yang berjudul "De Ja Vu" merupakan sebuah cerita rakyat karangan dari seorang penulis yang bernama Jibril.
Posting Komentar untuk "Cerpen Fantasi - De Ja Vu | Jibril"