Cerpen Cinta - Janji Leria | Jibril
“Jadi, Anda adalah tuan Radiskh yang dulu pernah menjadi hakim di kerajaan?” tanya Leria agak terkejut setelah ayahku banyak bercerita pada gadis itu tentang masa lalunya. Ayah mengangguk. Seketika, wajah Leria berubah menjadi muram. Ada guratan kecewa yang ku tangkap dari raut parasnya.
“Kamu kenapa, Leria?” tanya ayahku.
“T-tidak apa-apa Tuan. Saya tidak
apa-apa…”
“Benar? Kamu tidak apa-apa?” tanya ayah
memastikan. Leria mengangguk seiring dia menatapku agak kecewa. Setelah itu,
Leria pamit dan hari-hari berikutnya dia tidak pernah lagi mengunjungi ayahku
untuk memberikan obat.
Aku masih menatap lekat gadis yang
sedang sibuk mengaduk air di dalam bejana itu. Rambut pirangnya teruntai
seiring angin senja menerpa wajah cantiknya yang memesona bak pualam. Sesekali
ia menyeka keringat yang membasahi keningnya dengan punggung telapak tangan
kanannya yang terlihat bersinar bak mentari pagi. Indah, bahkan kadang terlihat
mengkilap seperti mutiara. Dia masih sibuk mengaduk tanpa menganggapku ada.
“Aku mohon, Leria. Sekali ini saja…”
kataku sekali lagi. Dia masih mengaduk ramuan itu dengan spatula berukuran besar.
Leria berdiri ke arah rak tempat menyimpan ramuan herbal, lalu mengambil
beberapa jenis rempah-rempah kering dan memasukkanya kedalam bejana. Leria pun
kembali mengaduk air yang mulai mendidih itu. Air itu menguap dan mengepulkan
asap berhawa panas. Leria sesekali menjauhkan wajahnya dari uap ramuannya itu.
“Leria…” kataku memanggilnya. Gadis itu
masih tidak peduli.
“Leria! Kau dengar aku ‘kan?” kataku
agak kesal. Sontak gadis itu menatapku dengan tatapan terganggu.
“Apa sekarang kau tuli, sehingga tidak
bisa mendengar kata-kataku lagi. Aku sudah bilang tidak bisa lagi membantumu…”
tukasnya kemudian mendorong kayu-kayu bakar itu kedalam perapian tungku.
Sesekali ia meniupnya.
“Kenapa, Leria? Bukankah selama ini
setiap pagi kau selalu mengantarkan ramuan-ramuan itu untuk ayahku?” tanyaku
meminta pejelasan.
“Mulai pagi ini dan seterusnya,
sepertinya aku tidak bisa lagi membuat dan mengantarkan ramuan untuk ayahmu,
Edward. Aku bukan seorang yang hebat yang mampu menyembuhkan penyakit apapun. Termasuk
penyakit ayahmu, itu…”
“Leria, aku tidak tahu kenapa kau
bersikap demikian? Apa karena salah seorang anggota keluargaku yang mengucapkan
kata kurang berkenan di hatimu?” tanyaku berjalan mendekatinya.
“Bukan…”
“Apa ibuku terlalu cerewet dan membuatmu
tidak nyaman saat kau mengobati ayahku?”
“Tidak..”
“Lalu kenapa?” tanyaku yang tidak
mengerti atas perubahan sikap Leria padaku, juga pada keluargaku. Gadis itu
tidak menjawab apa yang kutanya barusan. Dia malah sibuk dengan tugasnya sebagai
seorang tabib dan juga seorang penyihir, membuat ramuan dan menjualnya di
pasar-pasar atau kerumah-rumah penduduk untuk menyembuhkan segala jenis
penyakit. Profesi yang jarang di geluti oleh lelaki maupun perempuan di negeri
ini. Hanya mereka yang memiliki passion akan dunia sihir dan pengobatan yang
mahir melakukan tugas langka ini. Termasuk salah sataunya Leria si gadis
inocent.
“Aku tidak bisa menjelaskan apa
alasannya. Tapi, aku sepertinya memang tidak bisa lagi membantu keluargamu.
Silahkan kau cari orang lain saja yang lebih mahir dalam ilmu pengobatan, dan
mantra sihir. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu disini, aku rasa sekarang
kau bisa meninggalkanku…” kelakarnya membuat hatiku miris. Dia memang berubah.
Kenapa?
Pagi ini, dengan mengendarai kuda aku
berangkat saat langit masih gelap menuju rumah Leria yang ada di tepi hutan di
sebelah pantai redias. Pantai berpasir putih di negeri Aroza yang terkenal
dengan mutiara dan perhiasan lainnya. Perjalanan bisa menempuh waktu tiga
hingga empat jam. Aku harus mengejar waktu agar sampai di rumah gadis berbakat
itu sebelum dia pergi ke pasar, karena jika dia tidak ada di tempat, itu
tandanya aku harus menunggu hingga sore hari sampai dia pulang kerumahnya.
Entah mengapa, hanya racikan dan ramuan Leria-lah yang mampu membuat kesehatan
ayahku lambat laun membaik. Istilah awamnya, Leria adalah seorang tabib yang
cocok untuk mengobati penyakit ayah. Karena sudah lebih dari ratusan tabib dari
seluruh penjuru negeri di datangkan hanya untuk mengobati penyakit langka,
ayah. Namun, tidak ada seorang pun yang mampu merubah keadaan selain Leria. Aku
juga tidak tahu pasti kenapa sentuhan tangan gadis itu sungguh luar biasa
efeknya. Tapi yang jelas, sepertinya Leria itu melakukan tugasnya dengan
sepenuh hati dan jiwanya sehingga hasil dari kerjanya itu memang luar biasa.
Bukan sekedar karena materi.
Aku turun dari kuda kemudian mengikat tali
itu pada sebuah batang kelapa yang tak jauh dari halaman rumah gadis itu.
Seperti biasa, Leria tampak berkutat di depan buku-buku tebalnya yang aku kira
sedang menghafal ramuan dan mantra. Aku mengetuk pintu. Selang beberapa saat
gadis itu membuka tabir dan ku lihat ia terlihat rapi dan cantik, sepertinya
mau pergi.
“Ada apa, lagi?” tanyanya dengan wajah
terganggu.
“Aku akan tetap kemari, sampai kau mau
mengobati ayahku…”
“Terserah, bahkan jika pasukan ayahmu
kau kerahkan sekalipun untuk memaksaku, aku tidak akan bergeming.”
“Bersikaplah dewasa, Leria. Jangan
begini terus, kalau kau tidak bisa membantuku, tentu ada alasan yang logis,
bukan? Kenapa tidak kau jelaskan?” ujarku menatapnya.
“Aku sudah mengucapkan janji, Edward.
Dan aku tidak bisa melanggar janji itu.”
“Janji?” tanyaku kaget.
“Ya. Janji. Sebelum bertemu denganmu,
aku sudah mengucapkan janji pada semesta yang ternyata telah aku langgar karena
tidak tahu. Tapi, setelah aku tahu bahwa janji itu harus aku genapi, maka aku
tidak bisa membantumu, dan keluargamu…”
“Janji apa itu? Kenapa ada kaitannya
dengan kelaurgaku?” tanyaku yang tidak mengerti keterkaiatan janji Leria dengan
mengobati ayahku.
“Janji itu menyebutkan, bahwa aku tidak
boleh membantu dalam bentuk apapun orang yang sudah membuat ayahku, dan ibuku
menderita puluhan tahun lamanya.”
“Memangnya kenapa dengan kedua
orangtuamu?”
“Tanyakan pada ayahmu. Dia yang akan
menjelaskan semuanya…”
“A-aku tidak mengerti apa yang kau
ucapkan, Leria.”
“Tanya saja, apa yang sudah ayahmu
lakukan terhadap keluarga, Rudholf. Jika ayahmu menjelaskannya, kau pasti akan
mengerti alasanku menolak membantumu, khususnya mengobati ayahmu!”
“Leria?”
“Aku sibuk sekarang, maaf jika tidak
mempersilahkanmu masuk. Oh ya, aku juga masih harus meracik obat…” Leria
kemudian masuk kedalam dan meninggalkanku begitu saja. Aku menghela nafas
panjang seiring hati ini bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya ini?
“Bagaimana? Apa kau berhasil membujuk
Leria?” tanya ibu dengan wajah penuh harapan ketika aku baru tiba di rumah. Aku
menggeleng, kemudian berjalan menuju kamar ayah yang di dalamnya terbaring
seorang lelaki gagah namun sedang terlelap dalam mimpinya.
“Oh Tuhan. Kenapa gadis itu akhir-akhir
ini menolak perintah…” terdengar ibu mengucap di luar sana. Aku duduk di tepi
ranjang sambil memegang telapak tangan ayahku. Dingin. Padahal, dua hari yang
lalu dia sudah terlihat lebih membaik dan terus mengalami perkembangan pesat
atas kesehatannya. Ayah membuka matanya perlahan. Ia menatapku tersenyum yang
tidak terlalu lebar.
“Ma-mana, Leria?” tanya ayah pelan.
Pelan sekali. Seketika aku teringat atas pesan yang gadis itu ucapkan. Ayah
katanya tahu tentang kedua orang tua Leria. Dan pasti ada hal yang pernah
terjadi diantara ayahku dengan kedua orang tua Leria, sehingga gadis itu enggan
membantu ayahku lagi. Apa aku harus bertanya sekarang?
“Dia sibuk, Yah. Mungkin, untuk beberapa
minggu kedepan, dia tidak akan menjengukmu…” kataku sekenanya. Ayahku hanya
diam seiring bibirnya bergetar menahan dingin udara yang masuk kedalam kamar
ini. Aku menarik selimut tebal hingga kedada ayah. Ayahku tersenyum.
“Edward. Katakan apa yang terjadi. Ayah
tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku…” lirih ayah membuat mataku
membulat. Dia memang tidak bisa di bohongi. Apa ini tandanya aku harus segera
menjelaskan?
“Edward!” tukas ayah dengan nada
setengah meninggi. Aku pun menghembuskan nafas kencang. Serasa tidak kuat ingin
mengetahui penuturan ayah nantinya. Agaknya, ini hal rumit. Pasti ada kenangan
tidak baik yang di alami Leria atas nasib kedua orangtuanya yang tentunya ada
kaitannya dengan ayahku.
“Edward, bicaralah…” lanjut ayah
kemudian.
“Apa ayah tahu tentang keluarga
Rudholf?” tanyaku setengah berbisik. Benar dugaanku, pasti ada hal intim antara
ayah dan keluarga Leria. Sebab ekspresi wajah ayah shock saat aku menyebut nama
Rudholf.
“Kenapa kau menanyakan hal itu?”
“Aku hanya ingin tahu saja, tidak ada
maksud yang lain…”
“Keluarga Rudholf?” lirih ayah seolah
mengulang pertanyaan untuk dirinya sendiri. Matanya mengawang ke arah
langit-langit kamarnya yang luas ini. Aku tidak beralih dari menatap serius
wajah ayahku. Jujur, aku penasaran.
“Ceritanya panjang, nak…” lirih ayah
menghentikan ucapan.
“Apa Ayah keberatan, jika menceritakan
padaku?”
“Begitu pentingkah ceritaku bagimu?”
“Ya. Sangat penting. Untukku…”
Selama hampir satu jam aku duduk
menemani ayah dan setia mendengar ceritanya yang mengisahkan tentang keluarga
Rudholf, khusunya ayah Leria. Setelah tuntas ayah bertutur. Tentulah aku tahu
kenapa Leria tidak bisa lagi membantuku untuk mengobati penyakit ayah. Janjinya
bahkan sudah di langgar saat ini.
Leria berjanji tidak akan mengobati
orang-orang yang sudah membuat ayahnya masuk kedalam penjara karena di duga
lalai meracik dan meramu obat herbal untuk menyembuhkan suatu penyakit,
khususnya untuk kalangan pejabat kerajaan.
Waktu itu, ayahku selaku hakim kerajaan,
sebelum sekarang menjabat sebagai menteri keamanan. Memutuskan menghukum
Rudholf dan istrinya yang terbukti membuat ramuan percobaan sehingga menewaskan
puluhan petinggi termasuk anak raja Aroza yang paling kecil.
Meski Rudholf menolak, bahwa ia di dakwa
salah dalam mercacik obat, kesaksian orang-orang membuatnya harus menerima
hukuman, Rudholf meminta kebijakan ayahku, namun desakan datang dari semua
pihak, ayah yang bingung membuat keputusan salah, yakni tidak mendengar
penuturan Rudholf yang meyakini dirinya di fitnah.
Sebelum meninggal, Ruhdolf pernah
bercerita pada putrinya satu-satunya. Jangan pernah memberikan obat kepada
orang yang sudah membuat ia mati dan membusuk di dalam penjara. Leria berjanji
pada ayahnya saat itu juga. Bahwa dia tidak akan melakukan apa yang menjadi
larangan.
Menyadari hal itu, aku menceritakan pada
ayah siapa Leria sebenarnya. Tak kusangka, ayah sebegitu terkejutnya mendengar
penuturanku. Bahkan dia tidak bisa berkata-kata lagi. Usut punya usut. Rupanya
penyakit yang ayahku alami adalah akibat kezalimannya atas hukuman dan pidana
yang di jatuhkan untuk Rudholf waktu itu.
Ayah terkena kutukan Cruisudse
(baca:kridus) yaitu sebuah penyakit yang hanya bisa di sembuhkan oleh keturunan
dari orang yang memberi kutukan. Adalah Leria yang kini tidak lagi bisa
membantu ayah karena sudah termakan janji dan sumpahnya pada Rudholf. Meski
hati dan nalurinya begitu kuat untuk membantu ayahku agar bisa sehat kembali.
Siang itu, kondisi kesehatan ayahku
menurun. Berulang kali ibu berteriak meminta bantuan beberapa tabib terdekat. Dengan
susah payah dan usaha yang di lakukan. Semua sia-sia. Ayah tidak kunjung
mengalami kebaikan.
Agaknya, Leria adalah orang yang memang
kami harapkan kemurahan hati dan jiwanya. Segera aku menemuinya di rumah gadis
itu. Tidak ada. Aku mencari ke toko biasa dia menjual obat. Tidak ada juga.
Atas pemberitahuan dari seorang teman.
Leria ada di pulau Luwa, pulau dimana
kedua orang tuanyanya di makamkan. Sesampainya di pulau itu, aku menjelaskan
pada Leria tentang butuhnya ayahku atas bantuannya. Leria menolak. Dia tidak
bisa mengingkari janji. Apalagi di depan makam kedua orang tuanya.
“Ayahku sekarat, Leria…”
“Tapi aku memang tidak bisa
melakukannya, Edward! Ini sudah keputusan. Aku tidak mau mengalami hal buruk
jika melanggar janjiku pada ayah dan ibu…”
“Leria, apapun akan aku lakukan, aku
mohon Leria. Tolong ayahku.”
“Aku tetap tidak bisa walau engkau
menangis darah sekalipun.”
“Leria, apa perlu aku berlutut dan
mencium kakimu agar engkau mau menolong ayahku. Beliau orang yang sangat
berarti untukku…”
“Kau pikir kedua orang tuaku tidak
berarti bagiku?”
“Leria…”
“Sudahlah, kau membuang-buang waktumu
disini, Edward. Aku tidak akan kemana-mana…”
Tanpa peduli lagi, aku mencabut sebilah
pedang yang masih apik tersimpan di pinggangku.
“Mau apa, kau Edward?” tanya Leria yang
tampak cemas dan takut. Dia mengira aku akan membunuhnya. Tidak. Aku hanya
mengancamnya.
“Kalau kau tidak mau membantuku. Maka
aku akan membuatmu rela melakukannya…” kelakarku lalu menggores lenganku dengan
mata pedang itu. sontak Leria berteriak. Dia tidak sanggup melihat darah yang
mengalir deras.
“Edward! Jangan melakukan hal bodoh…”
pekik Leria cemas.
“Sampai kau mengatakan iya, aku tidak
akan berhenti menggores pedang ini di tubuhku. Aku rela mati demi kesembuhan
ayahku…” lagi-lagi aku menggores kulit tanganku hingga Leria berteriak
histeris. Aku terus melakukannya berkali-kali. Hingga Leria menyerah.
“Baik. Baik Edward. Aku akan membantu
ayahmu…” lirihnya mendekatiku. kemudian membalut luka-luka di tubuhku dengan
merobek gaun yang biasa ia kenakan. Aku lemah karena darahku banyak bercucuran.
Leria tampak cemas.
“Tapi akibat dari melanggar janji ini,
akan membuatmu semakin merasa bersalah…” lirih Leria menatapku. Aku tidak
mengerti apa yang dia ucapkan.
Setelah memberikan banyak ramuan dan
mengoles minyak mantra di beberapa titik rawan tubuh ayahku. Kondisinya mulai
membaik. Aku, ibu, kakakku, juga beberapa saudara kami tersenyum bahagia
melihat ayah yang sepertinya akan sehat kembali. Semetara itu, aku merasa
kehilangan Leria. Tiba-tiba saja dia sudah tidak ada lagi di rumahku. Aku
mengejarnya yang aku kira belum pergi terlalu jauh.
“Leria, tunggu!” tanyaku saat melihatnya
berjalan di tepi pantai. Gadis itu membalikkan badan. Lalu menatapku dalam.
“Kenapa kau pergi begitu saja.
Keluargaku mencarimu…” kataku mendekati Leria yang tampak kelelahan.
“Aku sudah mengobati ayahmu dengan
mencabut kutukan itu. Sekarang, kau mau apa lagi?” tanya Leria terdengar menyesal
telah membantu ayahku.
“Aku hanya ingin mengucapkan terima
kasih, dan keluargaku sekarang menunggumu. Maukah kau ikut denganku?”
“Aku tidak bisa Edward. Aku harus ke
tempat dimana aku seharusnya berada setelah melanggar janji itu…”
“Memang kau mau pergi kemana?”
“Aku harus menanggung kutukan.”
“Aku tidak mengerti apa yang kau
bicarakan?”
“Kau akan mengerti nanti. Sekarang
pulanglah. Aku harap kau tidak perlu menemuiku lagi…”
“Tapi, Leria…”
“Sudahlah Edward. Aku harus pergi…”
“Leria, aku mau bertanya sekali lagi.
Dan kau belum menjawabnya.”
“Pertanyaan yang mana?” tanyanya
menatapku. Sontak jantung ini berdebar kencang. Aku tidak yakin apa aku pantas
mengatakan hal ini padanya. Tapi, kalau tidak di coba, mana aku tahu.
“Kau ingat, saat kali pertama kita
bertemu di pasar waktu itu?”
“Memangnya ada apa?”
“Aku pernah mengatakan kalau aku
mencintaimu, dan kau selalu mengindari hingga aku jengah dan merasa kau tidak
pernah menggubrisku. Bahkan setelah kita semakin dekat sekalipun berkat sakit
yang di derita ayahku. Kau tidak banyak menjelaskan apa-apa padaku. Aku hanya
bertanya Leria, apa kau suka padaku?”
Gadis itu menundukkan wajah cantiknya
yang tampak blushing dan merona. Agaknya Leria salah tingkah. Memang sudah lama
aku menaruh hati pada gadis itu, bahkan jauh sebelum ayahku mengalami kutukan.
Leria membuatku bingung. Dia tidak banyak memberi pilihan. Mungkin setelah aku
jujur seperti sekarang ini, dan bila Leria tidak menerimaku. Aku bisa berlapang
dada menerimanya. Itu hak dia mau menerimaku atau tidak.
“Bagaimana Leria? Apa kau mau menerima
cintaku?” tanyaku sekali lagi.
“Aku tidak tahu Edward, bagaimana
perasaanku padamu. Tapi, ku akui, aku akan selalu nyaman dan tenang saat berada
disisimu. Aku tidak bisa bilang aku mencintaimu. Tapi sepertinya, aku memang
menyukaimu sejak kita bertemu di pasar waktu itu…”
“Apa itu artinya kau menerimaku?”
Leria mengangguk di iringi seringai
manis pada bibir mungilnya. Yes! Teriakku tanpa sadar Leria menatapku tertawa.
Aku berhenti melompat-lompat girang dan salah tingkah akibat tatapan mata indahnya.
Leria kembali tertawa. Aku ikut tertawa.
Tiba-tiba Leria berhenti dari tawanya
dan memasang wajah kurang senang. Dia cemberut dan tampak agak kecewa. Aku
menatapnya bertanya-tanya.
“Kau kenapa, Leria?”
“Maaf, Edward. Seperti kataku. Aku harus
pergi.”
“Pergi? Pergi kemana?” hatiku ketar
ketir jadinya.
“Aku sudah melanggar janji ayahku. Dan
aku akan menerima akibatnya.”
Leria berjalan meninggalkanku. Ia
menapaki batu karang yang menjulang tinggi. Aku mengikuti langkah Leria dan ia
memintaku menjauh.
“Kau mau kemana, Leria?” tanyaku
khawatir.
“Maafkan aku Edward. Karena aku sangat
mencintaimu, maka aku rela mengganti kutukan ini dan aku yang menanggungnya.”
“Leria?” ujarku cemas. Mataku
berkaca-kaca seolah hal buruk akan menimpa gadis itu. Dia merentangkan kedua
tangannya seiring wajahnya menghadap ke langit.
“Serigo. Alifo. Deria. Sarasmara. Tegi.
Sar-sariva. Elios maturo.” Tukas Leria lalu cahaya putih dari langit datang dan
menghantam tubuh Leria hingga gadis itu menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Aku berlari mendekati tempat dimana Leria berdiri dan menghilang itu. Berulang
kali aku berteriak memanggil namanya. Hanya deburan ombak yang menyahut. Aku
menitikkan air mata. Orang yang ku cintai kini pergi meinggalkanku.
Cerpen yang berjudul "Janji Leria" merupakan sebuah cerita pendek pengorbanan cinta karangan dari seorang penulis yang bernama Jibril. Kamu dapat mengikuti twitter penulis di id berikut: @jibril1990
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Janji Leria | Jibril"