Cerpen Cinta - Antara Kematianku Dengan Kematianmu | Triyana Aidayanthi
HARI INI, genap lima tahun aku di desa ini. Desa yang penuh ketenangan. Menghabiskan sisa hidupku bersama orang-orang tersayang. Sore nanti, kesekian kalinya kulangkahkan kakiku menuju rumah sakit itu. Bertemu Dokter Wira yang senantiansa menanti kesembuhanku. Kini aku berada di ruang praktek Dokter Wira. Check-up kali ini terasa berbeda.
“Raut wajah dokter tiba-tiba berubah.”
“Apa penyakitku makin parah?”
“Umurku semakin memendekkah?”
Dokter Wira diam seribu bahasa. Ia
cepat-cepat merapikan ruang kerjanya. Lalu tangannnya meraba-raba sesuatu di
laci mejanya.
“Resep obat lagi, ya..?” celetukku.
Dokter Wira tersenyum simpul. Ia meraih
tanganku yang sedari tadi mengepal kedinginan. Tangan Dokter Wira begitu lembut
dan hangat. Aku dibuatnya semakin gugup saat wajah kami begitu dekat. Sangat
dekat. Ia berbisik…
“ACnya terlalu dingin ya?” tanyanya.
Bukan. Dokter terlalu… “Tidak, Dok!”
Tangan lembut dan hangat perlahan
membuka tanganku yang mengepal. Lalu ia meletakkan sesuatu.
LOLIPOP kesukaanku. Rainbow lolipop,
varian lolipop terbaru dari toko lolipop Dokter Wira. Memiliki toko permen
lolipop sendiri adalah impian Dokter Wira sejak kecil. Kecintaannya akan si
manis warna-warni itu berawal saat sahabat masa kecilnya menghadiahinya sekotak
permen lolipop saat ulang tahun ke 7nya. Sahabatnya itu ingin sekali memiliki
toko permen lolipop. Namun impian sahabatnya itu terhenti saat hendak
mengantarkan permen lolipop di hari ulang tahun Dokter Wira setahun kemudian.
Penyakit asmanya tiba-tiba kambuh saat mobil yang dikendarainya melaju kencang.
Mobilnya menabrak pembatas jalan lalu terjun ke jurang. Setelah kejadian itu,
impian sahabatnya berpindah dalam benak Dokter Wira. Dan ia telah mewujudkannya.
Kugenggam erat-erat lolipop itu. Lalu
cepat-cepat kusembunyikan lagi tanganku. Mengingat kejadian dulu saat ia
mencuri kesempatan untuk menyuntikkan obat ke tanganku. Usai check-up, Dokter
Wira mengajakku makan di luar. Sambil menikmati lolipop, aku berjalan
mengikutinya. Ini pertama kalinya aku merasakan angin malam langsung sejak
keluar dari rumah sakit di Singapore.
“Lebih indah di Singapore atau di sini?”
tanyanya saat kami melewati jembatan yang membentang di atas sungai yang
bersumber dari sebuah air terjun dekat sana. Suara deburan air dari air terjun
terdengar sampai di jembatan yang kami pijaki. Saat aku berhenti di
tengah-tengah jembatan, tetesan air dari langit mulai membasahi tubuhku dan
tubuh Dokter Wira.
Saat kubuka mataku, kulihat Sisi,
sepupuku sedang duduk di meja riasku. Aku bangun dari tempat tidur.
Mengusap-ngusap mataku yang pandanganya mulai kabur. Setiap bangun tidur selalu
begitu. Bahkan kadang disertai sakit kepala yang begitu menyiksa. Seperti pagi
ini.
Mataku tiba-tiba melirik jam kecil yang
berada di meja rias. Kulihat Sisi yang bingung melihatku di cermin. Seolah
ingin menyapaku. Ia mengerakkan tangannya. Memberiku isyarat lalu diakhirinya
dengan tersenyum.
“Selamat pagi juga Sisi..” balasku.
“Oya, ditasku ada coklat kesukaanmu,
dibelikan Dokter Wira kemarin.”
Sisi terlihat sangat kegirangan. Ia
memelukku erat-erat. Dapat kudengar hatinya berterima kasih. Lalu dibukanya
coklat itu. Ia kembali memberiku isyarat tangan. Ia bilang rasa coklat itu
begitu enak. Ia juga memintaku mencobanya.
“Terima kasih Sisi, tapi aku tak begitu
suka coklat. Lagipula, aku sudah punya ini..!!” kuperlihatkan lolipop yang
diberikan oleh Dokter Wira tadi malam. Ya.. Sisi hanya bisa tersenyum.
Sisi kembali duduk di meja rias.
Mengagumi wajah cantiknya, terutama rambut ikal panjangnya. Sementara aku sibuk
memilih model wig yang akan aku kenakan hari ini.
“Sisi, model ini bagaimana?”
Sisi menggeleng. “Kalau ini?”
Ia menggeleng lagi. “Bagimana dengan
ini?”
Lagi-lagi ia menggeleng. Lalu tanganku
membongkar semua wig yang kupunya. Instingku kali ini jatuh pada model ikal
sebahu. “Sisi, yang ini?”
Yes! Dia mengangguk. Sisi membantuku
merias diri pagi itu. Dulu Sisi pernah mengenyam bangku kuliah di Australia
jurusan tata rias. Tak heran meski aku tak begitu cantik, aku tetap terlihat
modis, tentunya atas polesan Sisi. Dokter Wira sering sekali memuji
penampilanku. Dia yang punya hobi photographer itupun acap kali memintaku
sebagai model pemotretan. Dengan senang hati aku menerimanya meski backgroundku
bukanlah model.
Handphoneku berdering saat aku dan Sisi
sedang menikmati sarapan sambil menonton acara televisi. Kulihat nama Dokter
Wira di layar handphoneku. Lalu cepat-cepat kusentuh tombol Accept.
“Ririn, kamu tidak akan sedang sibuk
pagi ini?” tanyanya membuka pagiku.
“Tidak, Dok. Bukankah…”
“Aku sudah bilang kemarin, panggil aku
Dokter saat kita bertemu di rumah sakit.” Potongnya.
“Saya minta maaf, engg.. aku minta maaf,
Wira..” jantungku berdebar-debar. Ini pertama kali aku memanggil namanya tanpa
gelar dokternya. Pantas saja jantungku berdebar seperti genderang mau perang.
Dan darahku mengalir lebih cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Aku lupa kita ada janji hari ini.”
“A..a..aku ingin menyampaikan hal itu
tadi, tapi kau..”
“Keluarlah.. aku sudah di depan pintu
rumahmu.” Potongnya lagi.
“A..a..apa?” Tuutt..tuut..
“Halo..ha..a..halo?” teleponnya putus.
AKU sudah duduk di atas ayunan di taman.
Di sampingku ada dia, Wira. Kami tak saling bicara. Saat semuanya sudah
terpangpang jelas di depan mata. Bahkan saling memandang pun, tidak.
Wira menghela nafas panjang.
“Ada apa ya?”
“Apa aku berbuat salah pagi ini?”
“Kurasa tidak.”
“Lalu?”
“Aku akan bersalah, jika aku sampaikan
ini, jika aku menyembunyikannya darimu.”
Katakan itu, katakan kau mencintaiku dan
tak ingin aku pergi. Katakan, Wira!
“Aku tak ingin kau pergi secepat ini..”
“Ini soal penyakitku?”
“Iya.. rencanaku besok lusa kau akan
dioperasi lagi.”
Lagi? Entah sudah keberapakalinya
kurasakan sakit ini. Bahkan aku tak mengenal lagi apa dan bagaimana rasa sakit
itu. Hidupku tinggal menghitung hari. Naas.. banyak hal yang tak bisa kuhitung
jumlahnya yang belum bisa ku wujudkan.
Dengan sisa semangat yang kumiliki,
“Baiklah, Dok!” balasku.
Dengan sisa semangat yang masih
tergenggam tanganku, aku siap jalani esok hingga tiba saatnya nanti. Hidup
hanya sekali, mati pun sekali.
“Bahkan aku tak mengira kau sekuat ini!”
Dengan ragu, para dokter dan suster itu
memasuki ruang operasi. Beberapa dari mereka ada yang duduk, ada yang
bersandar, dengan ekspresi yang sama. Lesu.
“Bisakah Dokter mempertimbangkannya
lagi?”
“Tolong, Dok, tolong. Kami mohon!”
“Kami tak ingin kehilangan dokter
seperti anda.”
“Dan apakah bisa kalian mempertimbangkan
lagi sebelum melontarkan pertanyaan itu kepada saya?”
Suasana di ruang operasi kali ini
mendadak sunyi. Semua dokter dan suster yang membantu operasi itu berhenti
bersua. Semua tertunduk lesu setelah pengakuan Dokter Wira. Tak satupun dari
mereka percaya dengan apa yang dikatakan Dokter Wira.
“Saya mengidap penyakit yang tak kalah
ganas dari dia!” sambil menunjuk sebuah tubuh perempuan yang terbaring di atas
meja operasi.
“Kita semua tahu, penyakit yang
dideritanya mustahil dapat disembuhkan. Ia tetap akan pergi.”
“Saya sebagai dokter yang dipercaya
menanganinya hanya bisa melakukan ini untuknya!”
“Kami meminta maaf karena kami juga
tidak bisa melakukan apapun untuk kesembuhan kedua pasien kami.”
“Kami akan memulai operasi ini, Dok!”
Suasana di ruangan itu kini berbeda.
Para dokter dan suster bahu-membahu melakukan operasi mata pada Dokter Wira dan
perempuan yang di sampingnya. Operasi berjalan tidak begitu cepat karena pada
operasi mata pertama, pasien mengalami pendarahan. Namun masa-masa menegangkan
itu berakhir dengan meninggalnya pasien pertama karena kehilangan banyak darah.
Para dokter dan suster menyesali hal itu, selain keterlambatan supply darah,
penyebab lain adalah sudah sangat parahnya penyakit yang diderita Dokter Wira.
Operasi telah selesai. Kini mata
perempuan itu tertutup perban. Kata dokter, perban akan dibuka setelah 7 hari.
Tangan perempuan itu meraih sebuah
tangan di sampingnya.
“Dokter Wira…”
“Iya, saya di sini, Rin, kamu jangan
takut. Kamu pasti sembuh.”
“Saya selalu yakin itu, Dok!”
1 minggu kemudian…
“Sabar, Non, sebentar lagi kita
sampai..”
“Bik, sebenarnya kita mau kemana sih?
Jangan buat aku penasaran dong!”
“Namanya juga kejutan, Non..”
“Tuh.. kan jadi semakin penasaran
begini!”
Langkah kaki kami terhenti di sebuah
tempat yang tak asing lagi bagiku. Aku merasakan sebuah tangan mengenggam erat
tanganku. Satu tangan lagi membuka perban yang menutup mataku. Perlahan kubuka
mataku, masih sedikit samar-samar, tak lama kemudian sudah tampak jelas
semuanya. Kulihat Bik Han, Sisi, Dokter Mas, Dokter Michael, Dokter Ratih,
beberapa suster yang tak kukenal, lalu Jean, sahabatku saat masih di Singapore,
Misca, adik sepupuku, Sisi, mereka semua hadir di acara ulang tahun ke 17ku.
“Happy Birthday!!!” mereka serempak
mengucapkannya.
Sebuah kejutan yang tak terduga.
Sebelumnya tak kusangka hari ini masih bisa menatap bumi dan langit. Oh, terima
kasih, Tuhanku. Kutatap segala yang ada di sekelilingku. Hatiku bertanya.
Sebuah suara menjawabnya.
“Dokter Wira tidak bisa datang hari ini.
Tapi besok dia akan menemuimu, Rin..”
Gampang sekali mereka membohongiku. Apa
mereka pikir aku tidak tau hal itu?
“Bisakah salah seorang dari kalian
mengantarku ke sebuah tempat pemakaman?”
“Ririn…” mereka terkejut bukan main.
Kurasakan tubuhku menyentuh tanah. Namun cepat-cepat banyak tangan mendekapku
lalu tetesan air mata. Begitu lama. Lalu aku tak merasakannya lagi. Aku bisa
melihat mereka menangisi kepergianku.
Saat itu memang ragaku dibius, tapi
hatiku tidak. Aku masih bisa merasakan keberadaan dan ketiadaan dia di
sampingku. Dan kini aku berada dipusarannya. Tepat di sampingnya. Meski jiwaku
telah terpisah dengan ragaku, angin menghempaskanku kembali di sampingnya.
Cerpen yang berjudul "Antara Kematianku Dengan Kematianmu" merupakan sebuah cerita pendek kehidupan karangan dari seorang penulis yang bernama Triyana Aidayanthi. Kamu dapat mengikuti twitter penulis di akun @_triyanaa.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Antara Kematianku Dengan Kematianmu | Triyana Aidayanthi"