Cerpen Cinta - Buku Helen | Dwi Surya Ariyadi
Hujan masih meneteskan sisa airnya. Beberapa saat yang lalu suasana gelap terselimut awan. Namun dalam hitungan menit angin menyapu langit dan mengirim sinar matahari kembali ke bumi. Jalan-jalan basah tergenang air. Sebagian aliran saluran air di sisi kiri dan kanan tumpah. Percik-percik air akibat dihantam roda kendaraan menjenuhkan air menjadi warna kehitaman.
Aku masih berdiri di halte. Berjubel
diantara para pengendara yang menepikan diri menghindari basah kuyup. Selain
itu, beberapa pejalan kaki yang kebetulan sedang menunggu bus, ikut menambah
sesak suasana halte. Namun semua membubarkan diri. Serentak seketika selepas
hujan mereda.
Akupun mundur sejenak, memberikan
kesempatan mereka yang hendak keluar dari halte. Satu persatu mereka
meninggalkan tempat ini. Dan tersisa hanya sekitar satu dua orang yang memang
berniat naik bus untuk pulang. Jam menunjukkan pukul 2.30 siang. Selepas hujan
matahari bersinar sangat terik, namun telah berkurang kadar panasnya. Sejenak
tampak suasana awal sore yang cerah.
Aku terduduk di bangku halte.
Menyelipkan kedua telapak tanganku dibalik saku jaket. Suasana hangat menyelimuti
jalan. Namun deru mesin kendaraan menaburkan aroma sengau gas yang dibuangnya.
Lelahku masih belum berkurang. Dan segera saja kusandarkan bahuku ke sisi tiang
dimana aku duduk disebelahnya. Kubenahi letak kaca mataku. Kuusap dengan tisu
akibat kotor terkena tetes
Kubuka tas hitamku. Kurogoh dalamnya.
Kutemukan yang kucari lalu kukeluarkan. Sebuah buku berada di tangan kiriku.
Kuamati dengan cermat keseluruhan bagian luarnya. Dari sampul depan, sampul
belakang, serta sekilas halaman-halaman didalamnya. Tertera tanda kuning
diujung kiri bawah halaman cover dalamnya. Kubaca tulisan di samping tanda
tersebut.
“Kembalikan ketika kau tak mengenalnya
lagi”
Angin semilir menembus lorong bangunan
yang beruang rapi. Saling berhadapan tiga-tiga. Tetapi di bagian ujung ketiga
terakhir terputus oleh bangunan keempat yang berhadapan dengan lapangan basket
kecil. Tampak bangku panjang berada di sudut lapangan. Suasana sore menjemput
menggantikan terik matahari.
“Jadi yang tadi bisa dikerjakan sendiri
tanpa bantuanku”, aku bertanya sambil tetap membaca kertas ditanganku.
“Kalau cuma matriks sederhana aku bisa,
tapi kalau yang udah diatas 3×3 masih kesulitan”, jawabnya.
“Yang pentingkan tahu konsepnya, aku aja
awalnya gak bisa ngerjain”, timpalku.
“Bohong, masa kamu bisa ngomong kaya
gitu, gak mungkin siswa terpintar disekolah gak bisa ngerjain”, kembali ia
menimpaliku. Kali ini terdengar sindiran dari mulutnya.
“Masih ada yang ditanyain gak, kalo gak
ganti yang lain”, jawabku acuh. Kukembalikan kertas ditanganku padanya. Ia
tersenyum. Napasku seperti terhenti ketika bertatapan dengan dirinya. Senyumnya
selalu membuatku menghilang dari muka bumi. Namun aku segera sadar, secepat aku
memulihkan diri.
Ia merogoh tasnya, dan mengambil
beberapa lembar kertas. “Sebenarnya masih ada”, katanya.
“Kalau ini gimana ngerjainnya?”, ia
menyodorkan kertas yang berisi soal-soal.
“Yang mana”, aku mendekat dan melihat
soal yang ia tunjukkan.
“Yang ini, tentang persamaan lingkaran”,
ia menandai soal tersebut. Kuambil kertas di tangannya.
Aku perhatikan sejenak soal tersebut.
Mataku menatap tajam seraya otakku berpikir cara penyelesaiannya. Aku mengambil
kertas kosong dan mulai menuliskan ringkasan soal tersebut seperti apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan. Kulihat ini membutuhkan perhitungan panjang.
Kubuat sketsanya agar ia mengerti garis besar soal tersebut. Selesai menulis
kuberikan padanya. Lalu kujelaskan secara mendetail apa sebenarnya yang
ditanyakan soal itu. Ia mengangguk dan sesekali bertanya jika ada hal yang tak
mengerti.
“Len, istirahat sebentar bisa kan”, aku
beranjak berdiri dan bergerak kecil untuk meregangkan otot yang kaku.
“Oke Ar”, ia masih menulis dan
menyelesaikan apa yang tadi kuperintahkan.
Mataku menatap lapangan basket
didepanku. Lalu menyapu sekitar termasuk deretan ruang kelas di sisinya.
Kulihat beberapa orang ada didalam salah satu kelas. “Mungkin mereka juga
belajar”, pikirku.
Kulihat sesorang keluar. Ia membuang
sesuatu di tempat sampah depan kelas. Ia lalu menoleh ke aku dan Helen. “Woi
asik banget berduaan”, ia berteriak. “Gak adil Kau Ar, giliran Helen kau terima
ajakan belajarnya, tapi kalau kita-kita yang ngajak gak mau”, kembali ia
berteriak kali ini semakin keras.
“Huh, ganggu orang aja, berduaan apanya,
jelas-jelas lagi belajar”, pikirku tapi bener juga. Aku sengaja menerima ajakan
Helen kali ini. Dan ini saatnya tepat. “Tenang aja, besok aku janji belajar
bareng, besok kan minggu. Aku temenin seharian juga gak ada masalah”, jawabku
sedikit berteriak.
Ia menyeringai dan seorang lain dari
dalam kelas memanggil dirinya. Ia lalu masuk kelas. Perhatianku kembali ke
Helen. “Pindah tempat Len, jangan disini, gak enak”, kataku padanya. Ia
sepertinya mengerti. Aku dan dia beranjak dari kursi dan memilih taman depan
sekolah. Disana lebih rindang.
“Boleh aku tanya”, kataku memulai
pembicaraan. Sontak ia menengok kearahku. “Ya, tanya apa?”, ia seperti
keheranan dengan roman mukaku. Kubetulkan letak kacamataku. “Dah berapa lama
kita seperti ini, maksudku hubungan antara aku dan kamu”, aku mulai pembicaraan.
Terdengar serius di telingaku. Tapi inilah yang sering aku tanyakan kepadanya
setiap saat.
Senyumnya mengembang. Tangan kanannya
merapikan rambut depannya. Ia menatapku dengan santai tapi sorot matanya
tersirat keseriusan. Ia menarik napas dan perlahan membuka mulutnya. Perlahan
suara lembut keluar dari bibirnya.
“Ar, aku sebenarnya gak bisa bohong sama
kamu”, katanya terhenti. Jeda lima lima detik serasa satu jam bagiku. “Aku
yakin kamu tahu apa jawabanku, setiap kamu tanya soal ini, itulah yang akan aku
jawab. Aku hanya butuh waktu. Dan kamu butuh penegasan. Aku sudah bahagia saat
ini bersamamu. Namun dirimu sendirilah yang membuat keadaan semakin rumit. Saat
ini aku bertanya balik. Apa yang kamu harapkan dari hubungan kita?”, serangan
kata-katanya membuatku mematung.
Apa yang harus kujelaskan padanya. Ia
sudah tahu seperti apa aku saat ini. Justru aku yang berhutang padanya. Tega
menyeretnya dalam badai perselisihanku. Sejujurnya aku tak mengerti mana yang
akan aku berikan. Ia sangat baik dan senyumnya seperti tali terakhir yang
menjadi genggaman tanganku.
Perlahan sinar mataku layu tak kuasa
menahan haru. Entah perasaan bersalah, sedih, kecewa, bimbang, atau apapun itu
membuatku tak berani memandangnya langsung. Suara angin terdengar olehku.
Keheningan panjang yang menyakitkan menenggelamkan rasa tinggiku. Aku yang
dipandang oleh mereka sempurna. Namun berhati dua didalamnya. Aku tidak bisa
menutupinya lagi. Semakin kututupi, semakin jelas terkuak.
“Arya, ngapain kamu!!!”, suara teriakan
mengagetkan kami. Sontak pandangan terjurus ke arah datangnya suara. Rona
mukaku berubah semakin layu. Helen melihatnya. Dan dia disana yang berteriak,
melihatku bersamanya. Kukepalkan tanganku lemah. Bahuku terasa hilang.
Samar-samar ia mendekati kami. Semakin dekat dan kami pun terpaku tak bergerak.
Tatapan jauhnya menusukku tapi tidak untuk Helen. Dan ia sekarang berdiri
diantara kami.
Udara pagi menyambutku keluar dari
kereta. Perjalanan panjang yang kutempuh semalaman telah tiba di tempat tujuan.
Kuhindari tukang ojek yang berebut menawarkan jasanya. Aku keluar stasiun.
Kususuri jalanan yang mulai ramai. Aku berjalan diemperan baris pertokoan yang
memanjang. Tampak toko-toko belum buka dan beberapa penjual makanan menjajakan
makanannya. Jalan ini berujung di sebuah pasar.
Kukenali kembali kota ini. Kota yang
memberiku banyak kenangan. Kuhabiskan sebagian masa sekolahku disini. Tiap saat
kuamati dengan seksama toko-toko yang kulewati. Kulihat sekelompok ibu-ibu
membawa dagangan di boncengan sepeda. Sebagian sepeda itu dikayuh, namun ada
yang hanya dituntun. Kuteruskan menyusuri hingga bertemu perempatan. Aku
menyebrang jalan dan mengambil arah ke kanan. Aku tahu kemana tujuanku. Namun
aku tidak tahu apa yang akan terjadi atau siapa yang kutemui nanti.
Kulirik jam tanganku. Pagi pukul 5.30.
sisa dinginnya malam masih terasa. Namun matahari mulai bergeliat di timur.
Kubetulkan resleting jaketku. Kurekatkan lebih kuat dan ketat. Udara dingin
menerpaku karena angin pagi mulai membawa gelap kesarangnya. Sebuah lapangan
yang sangat luas tampak dari jauh
Itu adalah sebuah alun-alun, lapangan
yang luas biasa dalam penyebutan masyarakat jawa. Alun-alun merupakan pusat
kota dan dikelilingi oleh beberapa bangunan penting. Biasanya terdapat masjid
dan kantor pemerintahan disampingnya. Kali ini aku menuju bangunan bergaya jawa
terbuka di sisi utara alun-alun tersebut. Masyarakat biasa menyebutnya pendopo.
Bangunan ini biasa sebagai tempat pertemuan atau acara-acara pemerintahan.
Dibagian luar sering dipakai masyarakat untuk sekedar duduk-duduk atau
bersantai ria melihat aktifitas yang terjadi di alun-alun, karena posisinya
berhadapan langsung.
Aku duduk disana dan kulihat jam. Aku
menunggu seseorang. Tak lama orang tersebut datang. Ia berjalan perlahan. Lama
aku tak melihatnya. Sekilas tak ada yang berubah darinya. Sekarang kami saling
berhadapan.
“Kamu kemana aja selama ini?”, tanyanya.
Aku tersenyum. Ia pasti tidak tahu kalau aku jauh-jauh datang untuk menemuinya.
Ia tak tahu dimana aku sekarang tinggal. Perpisahan menghentikanku
menghubunginya. Namun lama tak menjalin kabar. Kuketahui dirinya masih ada rasa
denganku.
“Aku dari jakarta, dan baru tiba pagi
ini”, jawabku. Ia terperajat. “Apa, kamu tega tak memberi kabar kepadaku, kamu
menghilang begitu aja setelah meninggalkanku, kamu tak tahu kalau aku berusaha
menghubungi selama ini, bahkan hingga kamu tiba-tiba membangunkanku tengah
malam tadi?”, dengan terisak ia memeluk tubuhku. Pelukannya menyadarkanku bahwa
dialah selama ini yang selalu membuatku tersenyum.
Kulepas pelukannya, dan kuambil sesuatu
dari dalam tasku. “Kuberikan ini, karena aku tidak bisa menyimpannya lagi”,
kataku sambil menyodorkan sebuah buku padanya. Ia mengambilnya dan memandangku.
Tetes air matanya membahasi pipinya yang lembut.
“Maafkan aku, kali ini aku sadar kalau
kamu adalah yang terbaik. Aku tak bisa melupakanmu. Aku bisa menghapusmu tapi
serpihan itu tak kan hilang. Aku ingin kamu melupakanku. Biarkan aku berjalan
sendiri. Len, kaulah matahari itu. Biar kupandang dirimu dari tempat gelapku
berada. Biar kuterima hangatmu tanpa memberi luka di senyummu”.
“Sekarang hentikan semua omong kosongmu,
aku sudah muak”, sergahnya. Ia membungkam mulutku seketika. Secara langsung aku
sadar kalau aku telah bersalah padanya. “Len, dengarkan aku dulu. Kamu tahu
kalau dia bukan siapa-siapa lagi”. Ia meneruskan rasa kecewanya.
“Aku salah dan aku akan pergi darimu
sekarang”. Aku berseru lemah. Berbeda dengan sebelumnya kali ini aku tak kuasa
melangkahkan kaki memdekatinya. Terdapat jurang pemisah yang telah terbangun
diantara aku dan ia. Semua yang kubangun telah hancur. Ia yang selalu membuatku
tersenyum tak lagi memberikan hatinya padaku.
Kujejakkan kaki tanpa kusadari apa yang
akan terjadi esok hari. Tanpa menoleh, kutinggalkannya sendiri. “Maafkan aku,
Helen”, lirihku. Membisu aku menjauh hingga punggungku menghilang dari mukanya.
Aku buka lembar demi lembar buku ini.
Kubaca setiap tulisan yang tertera di dalam. Sedikit gambar tampak dibeberapa
halaman. Sengaja tak kubaca secara mendetail karena keterbatasan waktu.
Kucermati salah satu halaman dibagian akhir. Sesuatu disana membawaku ke masa
lalu. Serpihan kenangan lama terurai di mataku
Kuingat kala itu hujan turun dengan
deras. Tapi kami terdiam menatap tiap detik tetes air yang turun. Ia
membetulkan letak rambut depannya setiap kali angin berhembus. Kami terduduk
terdiam. Melewati waktu sore ditemani sang hujan. Ah, andai aku datang lebih
cepat pasti tak seperti ini jadinya, penyesalan tercetak dalam hatiku. “Maafkan
aku”, kataku berseru di tengah riuh suara hujan.
“Ar, boleh aku memberikan ini padamu”,
katanya sambil menjulurkan tangannya yang berisi sebuah buku. Segera kuambil
dan kulihat buku apa itu. “Buat apa ini”, tanyaku keheranan. “Hari ini kau tak
menangis lagi kan”, kupandangi kedua bola matanya. Aku tahu rona kemerahan di
susut matanya telah menerangkan semuanya. Bodohnya aku menanyakan hal itu saat
ini.
Kudekapkan tanganku padanya. Ini
terakhir kali kubiarkan dia bersandar di bahuku. Entah apa yang terjadi
kemarin. Pertengkaran hebat diantara kami menggariskan kalau aku dan dia
berbeda. Kumasukkan buku itu ke dalam tas.
Hujan mulai reda, namun tetes air masih
tampak. Ia beranjak dan kembali menatapku. “Boleh aku minta satu permintaan”,
katanya. “Silahkan”, jawabku. Aku merasa memenuhinya menjadi jalan terbaik
untuk memberinya kenangan indah. Simpan buku itu selama kau membenciku”. Aku
tersenyum heran
Suara orang-orang berkerumun membuyarkan
lamunanku. Dari kejauhan bus yang kutunggu datang. Aku bergegas memasukkan buku
ini kembali ke tas. Kulihat jam tangan. “Masih sore”, pikirku, aku punya banyak
waktu sebelum ke stasiun nanti malam. Dan diriku menghilang ditelan bus yang meluncur
membelah jalan raya.
Cerpen yang berjudul "Buku Helen" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Dwi Surya Ariyadi. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: D Surya Ariyadi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Buku Helen | Dwi Surya Ariyadi"