Cerpen Inspiratif - Dia Adalah Sorbonne | Rail Rahardian
“Hati-hati,” suara lembut itu membuatku mendongak. Pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya. Senyum manis dari bibirnya terukir sempurna. Aku hela nafasku dan membalas senyumnya walau terkesan janggal.
“Terima kasih tapi maaf,” balasku
mencoba bangkit dan mengabaikan uluran tangannya. Bukannya bermaksud
menyombongkan diri, hanya begitulah cara yang paling tepat menjaga hatiku. Aku
tak mau menyentuh dan disentuh oleh orang lain yang bukan muhrimku. Bagiku,
sentuhan itu hanya boleh dilakukan oleh sepasang kekasih dalam hubungan yang
dihalalkan Tuhan.
“Mau melihat senja?” Tawarnya
mensejajarkan tubuhnya dengan posisiku. Dia mengangguk untuk meyakinkanku.
Well, tak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula, sepertinya itu ide bagus.
Menikmati senja di bukit Sorbonne.
“Nathan,” ujarnya menatapku, sesaat mata
kami bersiborok pada satu garis lurus, “Kim Nathan.”
“Jung Nara. Senang mengenalmu.”
Ia mengangguk lalu merapatkan jaketnya.
Tatapan kami mengarah pada lembah yang terhampar begitu indah. Lembah itu
berupa sabana, sebuah padang rumput yang hijau. Di posisi jam dua, matahari
mulai menenggelamkan diri. Cahaya kemerahannya bersemburat dengan warna
kekuningan. Lazuardi begitu indah dan memikat bagi siapapun yang melihatnya.
“Inilah waktu yang dinantikan para
fotografer. Hanya beberapa menit dan bumi seperti surga Tuhan yang menawan,”
suaranya kembali menyergapku. Menghantarkan gelombang mistik yang entah
bagaimana mulanya bisa menciptakan ketenangan dalam hatiku.
“A speed moment,” bisiknya lagi.
“Kau lihat sebelah sana!” Suruhnya
menunjuk arah yang berlawanan dari matahari. Skuadron warna hijau memenuhi
langit sore itu. Mereka mengepak dan berkawan. Burung punai itu menukik lalu
kembali terbang bergerombol membuat bukit tempatku berdiri berubah menjadi
sedikit gelap. Mataku tercengang menyaksikan pendaran warnanya. Warna keemasan
berpadu warna hijau muda para punai. Aku mendesah. Bibirku mengucapkan tasbih,
memuji keagungan Tuhan yang amat indah.
“Mereka indah,” Nathan menatap takjub ke
langit, “Sungguh, aku ingin bebas seperti mereka. Terbang bebas mengelilingi
bumi tanpa takut tersesat, bersahabat dengan lainnya.”
Jauh dalam lubuk hatiku, aku membenarkan
ucapannya.
“Kau bandingkan dengan kita, kebanyakan
manusia itu egois, mereka membunuh dengan mengucapkan nama Tuhan, mencaci
dengan alasan Tuhan.” Nathan berhenti lalu kembali menatap langit yang kini
berwarna keemasan lagi karena kawanan burung punai itu sudah melintas jauh,
“kadang, aku berfikir, apakah kita layak disebut manusia.”
“Manusia itu tempat salah dan lupa,”
belaku lalu menatap kosong ke bukit didepanku, “kita tak bisa menghakimi
seseorang apalagi jika itu sudah menyangkut spiritualitas.”
“Kau benar! Kebenaran mutlak milik Tuhan
dan tugas kita adalah mencarinya, bukan memutuskan dengan semena-mena.”
Obrolan kami terhenti saat ada beberapa
rombongan mahasiswa filsafat duduk di bawah pohon maple. Sepertinya, mereka
akan belajar filsafat dengan dosen Sorbonne University. Aku mengamati mereka,
tiap pernyataan yang dikeluarkan dosen sebagai wujud bahwa dia seorang filosof,
reaksi beberapa mahasiswa yang tak menyetujui pemikiran radikalnya atau
beberapa mahasiswa dengan tampang penjilat yang mencoba mencari muka di hadapan
dosen itu.
Tanpa kutahu alasannya, Nathan melangkah
ke arah mereka. Ia duduk dengan santai diantara mahasiswa filsafat.
“Kalian tahu, pada dasarnya, perpecahan
ummat beragama itu disebabkan oleh kebodohan mereka. Ada segolongan orang yang
marah saat kitab suci mereka dibakar, diludahi dan diinjak oleh segolongan
orang lain,” ucap si Dosen yang menyamarkan siapa golongan itu. Sebagai
mahasiswa fakultas pendidikan, aku tahu caranya menyampaikan materi yang sangat
menjaga etika. Aku suka caranya mengajar tapi tak suka apa yang dia sampaikan.
“Padahal, mereka tahu, kitab suci mereka
itu ada dalam fikiran dan sudah di tulis dalam kalam Tuhan. Yang dibakar,
diludahi dan diinjak itu hanya kumpulan kertas. Bukan hakikat kitab suci, jadi
kenapa mereka saling hujat dan saling menyerang? Sebuah pemikiran yang bodoh.”
Lanjut si Dosen mendapat anggukan dari beberapa mahasiswa tapi juga mendapat
tatapan amarah dari beberapa mahasiswa lain, “ada yang tak setuju dengan
pemikiran saya?”
“Sir!” Nathan mengacungkan tangannya dan
berdiri dari duduknya.
“Yes, kau… Apa kau keberatan dengan
pernyataanku?”
“Tidak, sir. Aku hanya ingin bertanya,
apa ini diktat mata kuliahmu?” Entah darimana dapatnya, Nathan mengacungkan
sebuah diktat ke udara, membuat dosen filsafat itu menurunkan kacamatanya untuk
memastikan apa memang benar itu diktatnya.
“Iya, apa kau bukan mahasiswaku?”
Nathan meringis lalu ia menyalakan korek
api dan membakar diktat yang ia genggam. Detik berikutnya, ia membuang diktat
yang berkobar itu ke tanah dan menginjak-injaknya. Tak cukup hanya itu, ia juga
meludahinya. Sejenak, aku berfikir bahwa Nathan adalah pemuda radikal seperti
Karl Mark.
“Hey! Cari masalah kau! Dimana otakmu?!
Kau memancingku? Siapa kau berani-beraninya membakar, menginjak dan meludahi
diktatku?” Dosen itu naik pitam dan bergegas menuju Ryeowook yang berdiri
dengan melipat kedua tangannya di dada.
“Kau marah Sir?”
Dosen itu menatap nanar Nathan. Dadanya
kembang kempis menahan emosi yang meledak. Wajahnya juga sudah merah padam. Oh,
Nathan!
“Sir, bukannya anda yang mengatakan
bahwa diktat itu hanya kumpulan kertas? Bukankah ilmunya ada dalam pikiranmu,
bukan di kertas itu?” Nathan menunjuk kertas yang kini terbakar dan rusak, “Kau
lupa?”
Dosen itu gelagapan lalu tanpa suara
meninggalkan mahasiswanya yang terpaku menatap Ryeowook yang cengengesan
bahagia. Dosen itu menggerutu lalu hilang di balik pagar taman bukit kampus.
Aku tersenyum, kulihat Nathan yang
sedang dielu-elukan mahasiswa filsafat, mereka bersorai bahagia, merayakan
kekalahan dosen filsafat tadi. Baiklah, inilah Sorbonne University! Sebuah
kampus terbaik dunia, disini segala macam pemikiran beragam dan demokrasi
dijunjung tinggi. Di Sorbonne, Mereka yang kuat bukanlah yang berharta,
berfisik sempurna atau memiliki jabatan tapi yang kuat adalah mereka yang
berilmu.
“Kau mau pulang?” Tanya Nathan
menghampiriku setelah bereuforia dengan mahasiswa yang tak dikenalnya.
“Nathan, Thanks!” Ujarku lalu tersenyum.
“Untuk apa?”
“Perkenalan kita,” sahutku enteng lalu
berjalan mendahuluinya. Ia mengejarku dan berjalan sejajar denganku.
“Ah, kau lupa dengan dalil dalam
agamamu?” Nathan menatapku lalu pindah ke jilbab hijau yang kukenakan, “Allah
menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal
mengenal.”
“Well, aku setuju tapi tunggu, darimana
kau belajar tentang agamaku dan darimana kau tahu kalau agamaku islam?”
“Kau berjilbab, itu yang membedakanmu
dengan mahasiswa Korea lain,” lanjutnya, “Kau bisa memanggilku Ryeowook, aku
ini mahasiswa asal Korea selatan, TULEN!” Ryeowook tersenyum setelah menekankan
kata tulen di akhir kalimatnya.
“Baiklah, sepertinya kau harus
membayarku karena memintaku memanggilmu dengan nama Korea,” cibirku mencoba
menggodanya. Entahlah, aku nyaman berbicara dengannya. Ada sisi lembutnya yang
manis saat kulihat tingkahnya dan ada sisi evil dalam bicaranya. Ini
kepribadian yang keren.
“Mau makan siang denganku?”
“No, thanks.” Ia menatapku seolah tak
percaya bahwa aku menolak ajakannya, “Aku puasa.”
“Oh, sorry.” Kekehnya senang lalu
menyenandungkan lagu. Aku tersenyum sejenak dengan perilaku anehnya. Dia
meminta maaf lalu bernyanyi. Namja ini benar-benar!
Cerpen yang berjudul "Dia Adalah Sarbonne" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Rail Rahardian. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: Susan Arisanti.
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Dia Adalah Sorbonne | Rail Rahardian"