Cerpen Cinta - Mawar Melati | Dwi Surya Ariyadi
Matahari pagi mengintip dari peraduan di ujung timur. Sepercik cahaya menyingkap selimut malam. Kegelapan mulai berangsur memudar dikuti lenyapnya bulan. Hanya untuk memberikan kesempatan untuk sang surya. Kesempatan memenuhi hasrat memancarkan sinar kehidupan bagi makhluk Tuhan di bumi. Tak terkecuali mereka yang dianggap kosong tak bernyawa.
Awal hari ini telah dimulai dengan
retorika yang sama. Matahari terbit dan berakhir dengan matahari terbenam.
Seonggok batu kecil dipingir jalan hanya tersenyum diam. Menertawakan dirinya
sendiri yang merasa panas setelah semalam kedinginan tak berselimut. Sebatang
kayu kusam tanggal dari dahannya merasakan perbedaan. Dirinya yang dahulu mampu
merasakan angin berhembus sekarang terbaring kaku di tengan jalan yang keras.
Aspal yang meleleh karena hari semakin beranjak membuatnya tersiksa. Padahal
semalam ia masih tidur nyenyak diatas sana dan sekarang semuanya berubah.
Sapaan sang fajar mulai berubah. Suasana
hangat yang menyenangkan mula berganti teriakan panas yang memekakkan.
Aktifitas hidup mulai bertensi tinggi. Ribuan pasang kaki hilir mudik
menjejakkan langkah di bumi yang terselimut beton dan aspal jalanan. Roda-roda
menggelinding melindas apapun dan siapun yang menghadang didepannya. Dan angin
semilir kecil berkerut ketakutan menghindar gedung-gedung pencakar langit yang
berdiri sombong. Bahkan awan pun mencari jalan pulang lain ketika
berhadapannya.
Disudut kota kecil, seorang manusia
sedang duduk termenung. Menyandarkan bahunya di bangku kayu panjang yang ada di
pinggiran taman. Sebuah taman kecil yang tampak hijau. Pepohonan rindang
berjajar membentuk baris asimetris mengikuti alur jalan. Jalan berbatu tersebut
selebar kurang lebih satu setengah meter. Dan manusia itu masih disana menatap
kosong ke rerimbunan semak tidak jauh didepannya.
Bangku tersebut berhadapan terbalik
dengan jalan, jadi orang lain hanya melihat punggungnya. Tidak ada yang
mendekat. Walaupun disana cukup ramai untuk sebuah taman kecil. Tapi dia
seperti terasing. Tak diperhatikan bahkan tak dipandang. Namun, dia tetap
disana walau ditemani kesendirian.
Kupacu kendaraanku di jalan yang
lengang. Hari libur membuat jalanan kehilangan setengah isinya. Semua yang
berpeluh penat serasa melonggarkan ikat pinggang dihari ini. Tetapi aku harus
tiba disuatu tempat. Bukan tempatnya yang merisaukanku. Namun apa yang terjadi
disana yang memberondongku seperti peluru. Suatu yang telah lama aku
perkirakan. Meskipun hanya sebatas harapan tak terjadi tapi itulah suratan.
Terjadi yang tertuliskan, terlaksana yang terucapkan.
Dia menikah hari ini, itulah bunyi
benakku saat ini. Bukan, bukan saat ini tapi semenjak seminggu yang lalu. Lama
aku tidak bertemu kabar darinya. Dan kabar ini cukup mengejutkan. Yang kutahu
dia tidak tinggal di indonesia. Semenjak meneruskan kuliahnya ke luar negeri
hubunganku dengannya telah berakhir lima tahun yang lalu. Dan minggu kemarin
secara khusus sebuah undangan menghampiriku, bahwa ia akan menikah.
Kutepikan mobilku, lalu aku keluar.
Kulirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 9 dan kira-kira setengah jam lagi
aku akan sampai disana. Kutarik napas dalam-dalam, serasa tercekat di
tenggorokan. Apa yang harus kukatakan padanya nanti ketika bertemu. Aku tak
pedulu siapapun laki-laki yang mendampinginya saat ini. Aku benar-benar tak
peduli. Menikah dengan siapapun adalah haknya. Lagipula siapa aku. Sang
pencundang yang tega membuang mawar ke tepi jalan ketika sang mawar membutuhkan
tetes air untuk menyegarkannya.
Kubuka pintu mobil dan kuambil selembar
tisu. Kubasuh keringat yang mengucur dikeningku. Kulepas jas yang kupakai.
Udara belum terlalu panas tetapi aku berkeringat. Keringat dingin yang
membasuhi relung benakku yang sedang kalut. Ketenangan yang ada sejak aku
memutuskan mendatangi tempat itu telah sirna. Telapak tanganku gemetar.
Ponselku berdering. Kuangkat dan suara
yang lama kukenal terdengar jauh disana.
“Vin lagi dimana, aku tungguin gak
dateng-dateng, cepetan acaranya udah dimulai”, nada setengah kesal darinya
menunjukkan sang pemilik suara berharap aku disisinya. “Ya tunggu, lagi
dijalan, setengah jam lagi nyampe sana”, jawabku mencoba menenangkannya
“Iya, tapi lagi dimana sekarang?, kamu
gak bohongkan, jangan-jangan gak jadi dateng kesini”, tanyanya lagi
“Itu lagi yang diomongin, dah dibilang
dari kemarin kalau aku pasti dateng. Beneran ini lagi dijalan, ini aja mobil
aku parkirkan dipinggir, demi mengangkat telpon dari kamu”, cerocosku
menjelaskan kondisiku saat ini. Aku tahu cepat atau lambat ia pasti akan
meneleponku. Dan seperti apa yang telah kukira. Ia memberondongiku lagi apa
yang telah kujelaskan kemarin malam. “Dasar, kaya gak tahu situasi aja”,
gerutuku. Bisa saja kubalik arah dan kubatalkan perjalanan kali ini. Tapi
keburu dia telah menelepon dan aku mengaku setengan jam lagi tiba disana, jadi
seperti tidak ada alasan lain kecuali mereka yang akan kutemui menganggapku
masih seperti dulu. Sang pencundang yang hanya bisa kabur.
“Oke aku kan sabar menunggu, hehe”,
katanya riang dan tersirat ejekan darinya. Kembali kupandangi jalan yang
sesekali dilewati kendaraan. Tidak banyak tapi cukup untuk menjabarkan kondisi
hari ini yaitu hari libur. Kutinggalkan mobilku dan kusebrangi jalan. Kulihat
ada rerimbunan semak dibagian berlawanan pohon besar. Kudekati perlahan.
Kupandangi apa yang tumbuh disana. Tidak ada yang istimewa kecuali satu hal.
Kugenggam tangannya. Terasa dingin. Kami
bertatapan mata. Sepercik cahaya kecil dari bola hitan matanya kutangkap
sebagai tanda bermakna. Kucoba mengenalinya lagi. Seperti yang pernah kulakukan
padanya setiap aku dan dia bertemu. Selalu merasa baru ketika bertemu. Selalu
ada yang berubah dan kami pun saling mengetahui.
Kuliat dia sedikit tertunduk. Aku pun
mengalihkan pandangan. Mataku menyapu semua yang ada disekeliling. Seorang anak
kecil bersama ibunya sedang bermain bola. Sepasang remaja yang berjalan
bergandengan tangan. Seorang kakek dengan pakaian senam berjalan cepat.
Sekelompok pemuda duduk melingkar sambil mendengar seseorang dari mereka
berbicara. Dua orang mahasiswi, tampak dari jaket almamater yang dipakainya,
berdiri di tikungan jalan untuk memberikan selebaran kepada siapa saja yang
lewat.
“Kemana saja kau salama ini”, suaranya
menyadarkanku dan perhatianku kembali teralih padanya,
Aku hanya beristirahat sejenak, seperti
yang aku janjikan kepadamu, kataku. Kubiarkan jeda hening diantara kami yang
tersaput keramaian dunia luar. Ia tercekat hendak bersuara namun sulit untuk
berkata-kata. Kembali kualihkan pandangan. Tak mampu zku menatapnya saat ini.
Rona wajahnya menyiratkan bahwa ia ingin membuktikan sesuatu kepadaku.
“Lebih baik semua berakhir saat ini.
Daripada diteruskan dan kau terus membuatku tersiksa”, kata-katanya kembali
membuyarkan lamunanku. Kutahu itu yang akan keluar dari mulutnya. Kulepas
genggaman tanganku.
Otakku langsung merespon. Lalu aku
berkata, “kalau itu yang kau pinta, aku tak berani menolaknya, banyak kesalahan
yang kuperbuat kepadamu. Aku mengakui kalau hubungan ini tidak seperti dulu
lagi. Jadi biarkan aku menjauh darimu. Merenungi apa yang telah kulakukan.
Meratapi setiap kesalahan yang terjadi”. Biarkan dia memilih. Karena aku memang
tidak mampu lagi mempertahankannya. Semua telah berubah dan semua telah
berakhir.
Kuambil sebuah kotak kecil dari dalam
tasku. Kuserahkan padanya. “Ini sebagai tanda permintaan maafku. Kau boleh
membukanya setelah kau telah tiba di Amerika. Jangan tanya apa isinya saat ini.
Nanti kau akan tahu sendiri. Sekarang ijinkan aku pergi dari hadapanmu. Diriku
tak pantas lagi ada disampingmu. Semoga kau menemukan kebahagian lain yang
lebih baik dari sekarang. Terimakasih telah mengijinkanku mengisi hatimu”.
Aku beranjak dan pergi meninggalkannya.
Kutinggalkan pandangan sayu dari matanya. Kutahu dia menahan air mata. Akan
kubiarkan dia menangis. Aku tidak lagi menjadi orang yang memberikan tempat
untuk bersandar ketika dia berduka. Aku tak lagi memberinya senyum ketika dia
berteriak bahagia. Dan aku tak lagi memberinya genggaman ketika dirinya ragu
dan cemas. Kututup pintu hatinya kepadaku meski serpihan kecil memaksa masuk.
Tidak untuk saat ini, dan tidak untuk kemudian.
Kuraih tanganku untuk memetiknya.
“Aduh”, sebuah duri kecil menancap ditanganku ketika berhasil mengambilnya. Apa
yang kulakukan? Biarlah terlambat asal datang. Daripada tidak sama sekali.
Kuletakkan setangkai mawar yang tadi kupetik disakuku. Aku kembali menyebrang
jalan dan masuk ke mobil.
Jiwaku terasa kembali penuh. Dan
semangat baru hinggap menyelimutiku saat ini. Perjalanan kulanjutkan kembali.
Waktu setengah jam yang kujanjikan, kulalui setengahnya. Kupacu mobilku secepat
yang aku bisa. Aku seperti pembalap yang mengejar tropi kemenangan. Kusalip
mobil didepanku. Dua mobil sekaligus. Aku sadar ini berbahaya tapi pikiran baik
seperti menepis hal buruk. Dan kumasuki jalanan kecil yang hanya muat satu
mobil. Kuperlambat laju mobilku.
Di jujung jalan tampak villa besar
bergaya modern berdiri gagah. Jalanan menuju villa tersebut dihiasi pernak-pernik
khas pernikahan. Sebuah mobil lain ada didepanku. Seseorang mendekati mobilku
dan memberinya aba-aba agar aku mengikutinya berbelok ke kiri. Ia memanduku
memarkirkan mobil.
Aku keluar dari mobil. Kupandangi
sekeliling berharap ada orang yang kukenal. “Apa aku sendiri yang terlambat?”,
kataku lirih. Pasti semua orang telah didalam, baiknya kutanya petugas parkir
apakah pesta telah dimulai. Sebenarnya aku sengaja menghindari acara inti yaitu
pengucapan sumpah suci kedua insan manusia untuk terikat dalam satu tali
perkawinan. Aku hanya ingin tiba ketika kondisinya menyenangkan. Aku tidak
ingin dia melihat aku, ketika dia memilih orang lain untuk mendampinginya.
Kulangkahkan kaki menuju ruangan besar
ditengah bangunan. Kulewati jalan setapak kecil dan aku tiba dipintu ruangan
tersebut. Orang-orang hilir mudik berlalu lalang melewatiku. Sesekali dari
mereka menatapku tajam. Pandangan tersirat yang berisi ribuan makna. Tak
kupedulikan apa yang mereka lakukan. Aku ke menuju meja tamu. Kulihat daftar
nama-nama tamu yang diundang. Kutemukan namaku tercetak disana. “Aku memang
diundang”, seruku dalam hatiku, “apa yang kau katakan, jelas kau diundang,
tidak semudah itu dia melupakanku”, batinku kembali berucap.
Kujejakkan kaki diruangan itu. Seseorang
menghampiriku. “Hai Vin kenapa lama sekali”, dia yang tadi meneleponku.
Kupandanginya dan dia tampak berbeda sekali. Aku tersenyum seperti biasa. Dia
menarik lenganku. “Ayo cepat”, katanya tidak mempedulikanku yang sedikit
keheranan dengan tingkahnya.
Dan sekejap mata aku telah didepannya.
Badan lemas tak bertulang ketika menatap matanya. Ia menjulurkan tangannya.
“Hei bengong aja”, pundakku ditepuk bukan oleh dia yang ada dihadapanku tapi
oleh dia yang menarikku kesini. “Iya Jas, cuma sedikit nervous”, kusunggingkan senyum,
dan kuraih tangannya untuk berjabat tangan. “Lama tak bertemu, terima kasih
untuk kedatangannya, oh ya kenalkan ini suamiku”, ia berkata sambil meraih
tangan laki-laki disisinya. Laki-laki itu juga menjulurkan tangannya dan aku
pun membalasnya.
“Terimakasih karena bersedia datang di
pernikahan kami. Aku dan Rosa sangat senang. Lembaran baru telah kami buka dan
kami akan menulisnya dengan indah untuk kupersembahkan pada anak cucu. Semoga
kau mendapatkan kebahagian karena hadir dalam acara kami. Dan semoga seseorang
terbaik memberimu kebahagian itu” katanya seolah dia mengetahui apa yang
terjadi di masa lalu
“Justru sebaliknya aku yang beterima
kasih kepadamu karena diundang. Semoga kalian menjadi pasangan yang bahagia.
Limpahan anugerah Tuhan untuk kalian dalam doaku. Sekali lagi selamat”, segera
ku menjauh.
“Jasmin, kamu mau bikin aku malu”,
kesalku karena kejadian barusan. Untungnya aku bisa mengontrol diri. Beberapa
orang tamu yang mengenalku mendekat. Kami bercakap-cakap berbincang tentang
kabar tak kecuali tentang Rosa dan suaminya. Sebagian dari mereka adalah
temanku yang tahu hubunganku dengan Rosa dimasa lalu. Tapi mereka sepertinya
mengerti situasi sekarang dan tidak memperpanjang pembicaraan.
Bunga putih itu jatuh tertiup angin. Aku
beranjak dari bangku. Mendekati sekuntum bunga yang terlentang ditanah. Angin
tidak merusak bentuknya. Bunga itu seperti tersenyum. Kutahu ini adalah
takdirnya untuk jatuh tertiup angin. Dan takdirnya pula untuk kupungut sebelum
terinjak oleh orang lain. Kumasukkan sekuntum melati putih itu ke sakuku.
Aku berdiri dan kembali duduk dibangku.
Kulirik jam tangan. Sudah setengah jam aku disini. Matahari mulai menyengat.
Limpahan embun di dedaunan telah menguap. Kehempaskan punggungku disandaran
bangku. Tidak seramai dulu dan tidak sehijau dulu. Kondisi taman ini telah
berubah. Deretan gedung tinggi mengepungnya. Sebagian taman telah beralih
fungsi karena pelebaran jalan.
Namun rerimbunan semak dan pohon disana
tetap seperti apa adanya. Disana kupandangi setangkai bunga yang indah. Dan
disana pula kudapatkan perasaan baru dari sekuntum yang lain. Kurogoh sakuku.
Kupermainkan bunga melati yang tadi kuambil.
“Oi bengong aja”, seseorang menepuk
pundakku. Aku menoleh kebelakang. Kulihat dia yang sering menemaniku, berdiri
tersenyum lebar menatap kekagetanku. “Jadi pergi, maaf lama menunggu”, serunya
bersemangat.
Aku berdiri dan berputar menghampirinya.
Kuraih tangannya. Aku tersenyum. Dia kesal karena aku tak menjawab
pertanyaannya. Namun secepat kilat kuselipkan sesuatu diantara genggamanku
dengannya. Kusadari dia tak mengerti maksudku. Lalu kudekatkan wajahku
ketelinganya. Kubisikkan sesuatu untuknya. Dia terperangah tak percaya.
Jika tak bisa memetik mawar, ijinkan aku
untuk merangkai melati.
Cerpen yang berjudul "Mawar Melati" merupakan sebuah cerita pendek percintaan karangan dari seorang penulis yang bernama Dwi Surya Ariyadi. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: D Surya Ariyadi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Mawar Melati | Dwi Surya Ariyadi"