Cerpen Cinta - Semburat Mimpi-Mimpi Faiz | Kunti Zakiyah
Mataku berbinar-binar, sangat senang mendengar rencana Masku-Mas Ardy. Aku tidak bisa berhenti untuk tersenyum bahagia. Kutatap Mas Ardy, aku sangat bahagia. Seketika Mas Ardy beringsut dari tempat duduknya, mempersilakanku untuk naik ke atas moge-nya. Beberapa saat kemudian kami sudah meluncur di Jalan Tingkir, pelan tapi pasti aku pun sangt menikmati perjalanan kami.
Sepanjang jalan seakan menyambut
kehadiran kami. Lagi-lagi aku tersenyum, sangat bahagia. Moge Mas Ardy yang
membewaku berhenti setelah melewati pagar sederhana di depan rumah orangtuaku.
Aku bergegas turun, mengajak Mas Ardy masuk dan kutempatkan Mas Ardy untuk
duduk di kursi ternyaman ruang tamuku.
Aku bergerak cekatan membuatkan teh
manis spesial dan menyuguhkan roti kelapa kesukaan kami berdua.
“Mas Ardy tunggu sebentar ya!” pamitku
kemudian.
Aku meninggalkan Mas Ardy dengan
setengah berlari “Ibu…!” lalu aku berteriak, masih dengan bias kegembiraan di
depan ruman Pak De yang terletak tepat di belakang rumahku
“Ibu!” kuulangi panggilan itu. Sesaat
kemudian kulihat Ibu bersama Mas Kim-kakak kandungku.
“Ibu, ayo ikut Faiz!” pintaku kemudian.
“Ada yang pengen ketemu Ibu,” imbuhku,
masih dengan senyum kebahagiaan.
Seketika kuraih tangan Ibu yang sudah
tak selembut waktu muda dulu. Kugandeng Ibu hingga ke ruang tamu diikuti Mas
Kim yang membuntuti kami.
Ibu kini duduk berhadapan dengan Mas
Ardy. Aku masih tersenyum bahagia.
“Saya Ardy…” Mas Ardy memperkenalkan
diri.
“…” Ibu diam, pandangan beliau yang tak
bersahabat memudarkan senyum kebahagiaanku.
Mas Ardy merundukkan pandangannya,
setelah membaca sikap Ibu yang tidak bersahabat itu. Seketika suasana tegang,
kami saling diam, senyap.
“Kulo ajeng…” ucapan Mas Ardy terputus
tetkala Ibu beringsut dari tempat duduk empuknya dan pergi meninggalkan kami.
Kami mengoper pandang, Mas Kim yang
sedari tadi diam, masih tetap diam tak berapa lama Mas Kim turut menyibak
pembatas ruang mengikuti arah Ibu pergi.
Raut Mas Ardy sedih, bias kekecewaan
meraja. Aku merasa bersalah, lalu aku berlari menyibak tirai pembatas ruang
menghampiri Ibu.
“Ibu…,” aku memanggilnya.
“…” Ibu membisu.
“Mas Kim…?” lanjutku kemudian.
“…” lagi-lagi Mas Kim diam.
“Ibu.., Faiz sayang Mas Ardy…” rengekku.
“…” Ibu melengos, masih membisu.
“Ibu…” mataku berkaca.
“…” Ibu tetep membisu lalu pergi lagi.
Ke rumah Pak De dibuntuti dengan Mas Kim-mereka meninggalkanku.
Aku menangis “Apa yang harus aku lakukan
pada Mas Ardy?” tanyaku sendiri.
Aku benar-benar kalang kabut, bimbang
dan kalut.
“Aku harus gimana?” rintihku lagi. Aku
terkulai lemas dan menyandarkan tubuhku di kursi putih plastik ruang makan
keluarga-melamun. Mencari alasan apa yang bisa kusuguhkan pada Mas Ardy.
“Aku sayang Mas Ardy, aku sayang Ibu,”
aku serba salah, sangat kalut. Pikiranku melayang-layang, kacau.
“Dek Faiz… Dek Faiz…” suara Mas Ardy
menembus lamunanku, aku pun tersadar.
Seketika itu kuseka air mataku lalu
bergegas keluar menemui Mas Ardy.
“Ibu di mana Dek? Mas mau pamit pulang.”
“…” aku berpikir, agak lama menyusun
kata-kata.
“Dek Faiz…?!” aku tersentak.
“Anu Mas, Ibu.., Ibu lagi ngurusin
selang air yang bocor, air yang ke rumah kami ga ngalir Mas, kayaknya bakal
lama,” aku berbohong.
“…” Mas Ardy terdiam.
“Ya sudah, nanti Mas dipamitkan ya Dek!”
suara Mas Ardy lirih, hampir tak terdengar.
Kuantar Mas Ardy ke pelataran depan
rumah hingga Mas Ardy luput dari pandangan.
Seketika aku berlari menuju rumah Pak
De, langkahku cepat dan akhirnya kulihat Ibu dan Mas Kim.
Ketika aku hendak melangkah tiba-tiba
“Lho aku..? aku? Aku di sini?” aku sunguh heran, tiba-tiba saja aku berada di
atas single bed tempatku tidur.
Entah sudah berapa kali foto Mas Ardy
kupandangi, tiap detailnya selalu kuhayati. Ada rasa ingin memiliki sepaket
sosok Mas Ardy. Aku tak kuasa menahan tangis, air mataku menetes tepat di pipi
Mas Ardy, foto ukuran 12R itupun ternoda.
”Mas Ardy…” aku memanggil namanya, pilu.
“Mas Ardy” wajah Mas Ardy, senyum Mas
Ardy, tingkah Mas Ardy semua itu bertebaran dalam lamunan-lamunan pesimisku.
“Bagaimana nasibku dan Mas Ardy kelak?”
“Mas Ardy” aku menyebut namanya lagi.
Mimpi buruk itu seolah sedang berproses
manjadi nyata, suatu saat-yang entah hari apa. Dan ditambah dengan rekaman
ancaman Ibu yang seakan-akan kudengar lagi, menggelegar.
“Pokoknya, ga boleh punya pacar!”
“Ibu dan Mas Kim-mu sudah punya
keputusan.”
“Ingat putranya Pak Andre itu yang akan
jadi suamimu kelak.”
Ibu serius dengan semua itu, bahkan Ibu
sudah mengatur pertemuan untuk perkenalan.
Aku benar-benar tak tau bagaimana
nasibku nanti. Hayalan suram masa depan selalu saja memburu, tentang betapa
sakitnya hatiku, tentang betapa sakitnya hati Mas Ardy.
“Mas Ardy…” aku memanggil namanya lagi.
Aku sendu, hatiku benar-benar kelabu.
Kuraih ponselku yang bergetar sedari
lima detik yang lalu. “Dek Faiz” pesan itu ku baca dari inbox ponsel antikku.
“Ah Mas Ardy…” pesan itu tak kubalas.
Mas Ardy juga bersanib sama sepertiku,
bahkan Mas Ardy sudah dijodohkan sejak lima tahun silam. Sebelum kami punya
hubungan. Ketika itu Mas Ardy masih berjuang untuk menyelesaikan kuliah
pascasarjananya di universitas ternama jurusan sains murni.
“Kalau tau akan begini kenapa kami harus
bertemu dan memiliki rasa ingin bersatu?” keluhku sendu.
“Mas Ardy!” aku memanggil namanya lagi
bersamaan dengan suara getaran ponselku. “Dek Faiz” pesan itu masih dari
pengirim yang sama.
“Mas Ardy…, mas iklasin Adek ya…!!”
pintaku pada Mas Ardy via telpon-dua jam sebelum acara pertemuan perkenalan itu
berlangsung. Belum sempat Mas Ardy menjawab aku sudah menekan tombol warna
merah di ponselku.
“Faiz!! Persiapkan dirimu!!” Perintah
Mas Kim setengah berteriak. Aku meng-iya-kan dengan malas.
“Masih dua jam suruh persiapan, lebay!”
aku mengoceh sendiri.
Kulangkahkan kaki memasuki kamar bercat
putih, mengunci pintunya dan merebahkan tubuhku di atas ranjang.
”Ah…” rasanya benar-benar nyaman dan
mataku pun terkatup setelah lebih dulu kurasakan kantuk.
Tubuhku telah berada di dalam Mazda
Merah milik Mas Kim, meluncur dengan kecepatan 70 KM/jam.
Ini semua karena aku, yang baru saja
terbangun setengah jam lalu ketika itu suara ketokan pintu kamar tak kudengar,
getaran dan jeritan ponsellah yang menyadarkanku dari lelap-berkat Mas Kim.
Seketika itu aku beringsut menuju kamar
mandi lalu dengan cekatan kukenakan gamis batik warna coklat gradasi, memakai
foundation, bedak, blus on, eye shadow, maskara, lips ice dan parfum yang
kesemuanya itu kukenakan diantara suara omelan Ibu atas tingkahku.
Akhirnya Mas Kim memarkir Mazda
Merah-nya di tempat parkir restoran termewah di kotaku.
“Sampai…?” gerutuku sembari
mengernyitkan kening. Kami bertiga pun berjalan menuju pintu masuk dan menuju
meja nomer 21. Dari jauh kulihat ada tiga orang yang telah berdiri menyambut
kedatangan kami.
Aku ternganga seketika setelah melihat
sesosok pria calon suamiku itu. Pandanganku tak bisa lepas, kami pun
bersitatap. Aku telah jatuh cinta padanya untuk yang kesekian kali.
“Mas Ardy” kusebut namanya tanpa
bersuara.
Cerpen yang berjudul "Semburat Mimpi-Mimpi Faiz" merupakan sebuah cerita pendek percintaan karangan dari seorang penulis yang bernama Kunti Zakiyah. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun dzaki hafy za.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Semburat Mimpi-Mimpi Faiz | Kunti Zakiyah"