Cerpen Sedih - Senyuman Di Langit Awangga | Dwi Surya Ariyadi
Awan mendung menggelayut langit Awangga. Angin dingin berhembus menerkam kebahagian. Semua berganti muram. Awangga telah lelah dipermainkan oleh alam. Dan saat ini negara itu telah jatuh dalam kemurungan. Kesedihan melanda seluruh istana.
Tangisan lirih menggema dari sudut
ruangan besar di kaputren. Sebuah ranjang tergeletak dengan sesosok tubuh
diatasnya. Terdengar suara isak tangis tertahan. Hari ini apa yang telah
dikuatirkan oleh Dewi Surtikanti benar-benar terjadi.
Sejak semalaman kegelisahan dan
kebimbangan hatinya terus hinggap, meskipun kata-kata penenang terucap dari
Prabu Karna. Semalam adalah malam tersingkat dalam hidupnya. Ia merasa tidak
ada lagi yang mampu menopang hidupnya kali ini. Semua telah pergi.
Orang yang dicintainya telah tiada untuk
selamanya. Masih terngiang jelas di benaknya. Sentuhan lembut suami tercinta.
Masih terasa di tangannya genggaman cinta yang diberikan oleh Prabu Karna.
Masih terdengar suara menenangkan suaminya, ketika meminta ijin untuk pamit
pergi kesokan hari. Masih tergambar roman muka penuh cinta yang ditampakkan
oleh Prabu Karna kepadanya. Bahkan Dewi Surtikanti masih terbayang kecupan
lembut di pipinya sebagai penghantar tidur pembuka pintu mimpi semalam.
Namun dari kesemuanya itu, tatapan terakhir
Prabu Karnalah yang kuat menusuk hatinya. Tatapan terakhir di pagi buta sebelum
meninggalkan istana Awangga. Terpancar di matanya rasa kasih yang selama ini
telah menyiram hati Dewi Surtikanti hingga cinta itu takkan pernah terganti
oleh siapapun.
Hatinya masih menjerit. Berita yang di
bawa oleh pengawal kerajaan beberapa jam yang lalu masih tergeletak di meja.
Dia tidak perlu membaca seluruhnya karena satu kalimat akhir telah membuktikan
kegelisahannya. Ia tak sadarkan diri ketika mengetahui firasatnya benar-benar
terbukti.
Gumpalan awan mendung yang selama ini
jarang terlihat di Awangga membuktikan semuanya. Sang surya ikut bersedih
karena di tinggal manusia tercintanya. Tidak ada lagi kehangatan sinar yang
selalu menjadi kesenangan Dewi Surtikanti ketika sedang bercengkerama dengan
suaminya. Semua pudar terganti suasana dingin.
Dewi Surtikanti bangkit dari
pembaringan. Matanya merah. Entah sudah berapa banyak air mata yang dikeluarkan
hari ini. ia menangis sampai matanya terasa kering karena tak ada lagi tetes
air mata yang jatuh. Semua telah tercurahkan. Ia mengedipkan mata. Mencoba
menghalau pikiran kalut yang terus hinggap.
Dewi Surtikanti meraih kertas yang ada
di atas meja. Dibacanya kembali, kata demi kata. Agar ia yakin kembali. Ia
menghela napas panjang. Mencoba menenangkan diri tapi jiwanya tertahan. Sebuah
dinding beku telah medinginkan hatinya. Kesedihan telah menggerogoti jiwanya.
ia berusaha bangkit berdiri. Dengan
sempoyongan, ia berjalan menuju pintu kamar. Ia ingin keluar dari kaputren
untuk menuju istana. Ia ingin segera menjemput jasad suami tercinta. Hal
terakhir yang ia inginkan adalah melihat suaminya terbaring tenang dalam
menghadapi kehidupan di sisi lain dunia ini.
‘Kanda, aku ingin menceritakan suatu hal”,
kata-kata lembut keluar dari mulut Dewi Surtikanti. Ia sedang melihat suaminya
duduk di tepi ranjang. Prabu Karna segera menoleh. “Apa yang dinda ingin
sampaikan?”, tanya Prabu Karna dengan sedikit penasaran. “Tadi malam dinda,
bermimpi aneh dan menakutkan, Kanda, dinda bermimpi seekor ular menggigit kaki
dinda, dinda panik dan sangat takut sekali. Dan akhirnya dinda terbangun. Saat
dinda menoleh, kanda tak ada di samping dinda. Kemanakah kanda tadi malam?. Aku
takut sekali”, Dewi Surtikanti menceritakan perihal mimpinya. Tersirat nada
gelisah di dalamnya. “Sebuah firasat buruk mungkin saja akan terjadi sesuatu
pada diri kanda atau negara Awangga”, ia meneruskan ceritanya.
Dengan lembut, Prabu Karna meraih tangan
Dewi Surtikanti. “Tenangkan dirimu dinda, tidak akan terjadi apapun pada
dirimu, aku berjanji akan terus disisimu”, ucapnya mesra. “Tapi kanda. aku
takut sekali, mimpi itu benar-benar nyata, aku sepertinya masih merasakan
sakitnya gigitan ular itu”, ujar Dewi Surtikanti sambil meraba pergelangan
kakinya. Ia merasa kalau tadi malam itu bukan mimpi. Tapi entahlah antara sadar
atau tidak, ketakutan masih membayanginya.
“Dinda, aku mohon pamit kalau besok akan
berangkat pagi-pagi buta, kakang Prabu Duryudana memintaku memimpin langsung
perang melawan Pandawa”, ucap Prabu Karna tiba-tiba. Kata-kata itu
menghenyakkan seketika kesadaran Dewi Surtikanti. “Apa, kanda akan pergi,
bukankan kemarin Eyang Bisma udah turun tangan langsung, kanda sendiri yang
berkata kalau tak ada satupun panglima Pandawa yang mampu mengalahkannya, terus
mengapa tiba-tiba kanda harus terjun langsung”, ceceran kata-kata Dewi
Surtikanti berujung pada bertambah rasa takutnya yang semakin meningkat.
“Dinda, dengarkan kanda, ini adalah
tugas negara. Kewajiban yang harus dipenuhi seorang abdi negara kepada
negaranya. Astina sedang mengalami perang besar dan kanda sebagai bagian dari
abdi astina harus bersedia berkorban jika diperlukan. Kanda berhutang budi
banyak sekali kepada kakang prabu Duryudana. Astina lah yang telah memberikan
kanda derajat dan jabatan. Orang-orang yang dulu meremehkan kanda kini telah
berbalik menjadi segan kepada kanda. Semua itu karena jasa kakang prabu
Duryudana dan Astina”, kata-kata prabu karna terhenti sejenak. Diraihnya
segelas air yang terletak di meja. Diteguknya perlahan.
Prabu Karna menghela napas panjang. Ia
berusaha melanjutkan kembali perkataannya kepada sang istri tercinta. “Dinda
ingat, kalau tidak karena kakang Prabu Duryudana, aku mungkin tidak akan bisa
menikahimu. Ada banyak hal yang harus aku bayar sebagai penebus hutang
tersebut. Dinda harus mengerti kalau kanda adalah ksatria yang bertanggung
jawab dan berpendirian teguh. Kanda akan membela negara yang telah memberikan
banyak hal. Kanda adalah laki-laki yang tahu membalas budi”. Perkataan prabu
karna terhenti ketika Dewi Surtikanti bangkit dan duduk didekatnya.
“Aku merasakan firasat buruk esok hari,
kanda”. Dewi surtikanti berbicara lirih. Prabu Karna menangkap apa yang sedang
dirasakan istrinya. Sebagai laki-laki sejatinya, sudah menjadi tanggung
jawabnyalah untuk memberikan ketentraman belahan jiwanya. Dengan penuh sayang
di tatap mata indah sang istri.
“Kanda sangat mencintai dinda, bagi
kanda firasat yang kamu rasakan sebagai wujud cinta. Aku beruntung memilikimu.
Kamu sempurna dimataku. Bagi kanda, tiada orang yang dapat menggantikanmu di
hatiku”. Terucap kata-kata manis dan lembut dari bibir Prabu Karna. Dengan
mesra didekapnya bahu Dewi Surtikanti. Ia berbisik di telinganya. “Anugerah
sang surya telah memberiku jalan terang dalam kehidupan. Aku ingin kamu tetap
tegar meskipun cobaan berat menimpamu. Mungkin dinda takut takkan bertemu kanda
lagi untuk selamanya. Tapi kanda meyakinkan dinda kalau akan aku berikan
senyuman indah ketika kita bertemu lagi esok”.
Malam semakin pekat. Suara jangkrik
mulai menghilang. Sang bulan tersembunyi malu dibalik rindangnya awan. Entah
siapa yang di lihat oleh bulan, tapi sebuah cahaya putih berkelebat menuju
puncak menara Awangga. Semua tampak damai, semua terlihat tentram. Namun sebuah
misteri terbungkus tabir siap terbuka dan mengejutkan banyak pihak. Alam telah
belajar dari pengalamannya tentang kehidupan. Ketika yang tersurat terlaksana
dan tersirat telah bermakna.
Tak ada teriakan kesakitan dari
wajahnya. Hanya seutas senyum kecil tersungging kaku. Apakah yang tersirat di
senyuman itu. Sebuah teka-teki beribu makna. Senyum kesenangan atau ejekan.
Tidak ada yang tahu kecuali pemilik senyuman itu sendiri.
Suasana tiba-tiba hening. Matahari
bersinar sangat terik. Seolah menunjukkan bahwa siapa pemilik kekuatan
kehidupan sesungguhnya. Semua itu tak berlangsung lama. Keheningan telah
berganti dengan cepat. Riuh rendah, orang-orang bersorak. Mereka meneriakkan
suara kemenangan. Suara kemenangan menenggelamkan kegelisahan hati seseorang
yang telah menghantarkan sebuah kehidupan ke sisi lain dunia ini.
Teringat apa yang terjadi ketika dirinya
berjibaku menunjukkan siapa yang terpandai dalam olah kanuragan dan ketangkasan
memanah. Dan juga peristiwa ketika bertarung memperebutkan sebuah senjata sakti
ciptaan dewa dan akhirnya ia hanya mampu merebut sarung senjatanya saja. Bahkan
ketika membela seorang puteri yang berujung pada kesalahpahaman hingga akhirnya
ia sadar kalau orang yang selama ini menjadi musuh adalah saudaranya sendiri.
Nasihat sang ibu telah mengingatkannya,
“anakku Arjuna, bujuklah Karna untuk membela Pandawa, sesungguhnya ia berada
pada pihak yang salah, kau harus mengerti Krjuna, Karna tidak seperti yang kau
kira. Ia tidak jahat seperti para Kurawa. Ia adalah ksatria sejati. Manusia
agung titisan sang dewa”. Kata-kata itu kembali menghampiri pikirannya. “Apakah
benar yang dikatakan ibu”, serunya dalam hati.
Ia masih menatap sosok tubuh yang
tergeletak di depannya. Darah mengalir dari lehernya. Sebuah anak panah
tertancap di sana. Namun wajah dengan senyuman aneh tertuju pada Arjuna.
Mengapa kau tersenyum di saat ajal menjemputmu?, tanya Arjuna pada jasad tak
bernyawa di depannya.
Karna telah gugur di medan perang. Ia
terbunuh oleh arjuna. Apa yang selama ini ia takutkan terjadi. Kematian telah
dia takdirkan sendiri jauh sebelum perang di mulai. Karna masih ingat hari
sebelumnya, dirinya dibentak kasar oleh Eyang Bisma karena terlalu sombong dan
ingin menjadi panglima pasukan Astina. Karna tak peduli kalau sang kusir
keretanya adalah mertuanya sendiri. ayah dari sang istri tercinta. Tidak ada
prasangka buruk sebelumnya. Namun ketika sebuah kecelakaan kecil menimpa roda
belakang kereta, ia sadar kalau semua ilmu yang telah dipelajari tiba-tiba
lenyap. Ia seperti domba di kepung kawanan serigala. Hingga akhirnya sebuah
anak panah melesat dan menancap di lehernya. Menghilangkan dengan seketika jiwa
kehidupannya.
Dewi Surtikanti memeluk jasad suaminya
yang tersenyum. Ia masih tak percaya kalau sang suami benar-benar telah pergi.
Tapi dalam kepergiannya, Prabu Karna ingat akan janjinya. Ia berjanji
memberikan senyuman kepadanya ketika bertemu kembali. Dan janji itu benar-benar
terlaksana.
Tangisnya tertahan. Ia masih belum bisa
melepaskan pelukannya. Di balai besar istana Awangga, suasana berkabung
menyelimuti seluruh penghuni istana. Mereka berkabung untuk junjungan yang
menjadi panutannya. Prabu Karna tidak hanya adil dan tegas dalam memerintah
tetapi juga murah hati dan dermawan. Tak peduli pejabat ataupun rakyat jelata,
kalau ia menjumpai orang yang kesulitan selalu dibantunya.
Ketegasannya telah berujung pada
ketentraman hidup para rakyat Awangga. Prabu karna tidak pilih kasih dalam
menegakkan hukum. Semua sama dimatanya, jika bersalah harus di hukum. Tidak ada
yang kebal karena kekuasaan.
Semuanya telah pergi. Perang besar
telah merenggut nyawa sang ksatria agung. Ia gugur membela negara. Prabu Karna
tahu kalau apa yang ia bela salah, dan rela namanya tertulis dalam sejarah
sebagai penentang kebajikan. Untuk menegakkan kebaikan, dibutuhkan pengorbanan
kebaikan itu sendiri. Dirinya telah memutuskan kalau Kurawa yang ia bela hanya
dapat dihentikan dengan menunjukkan pengorbanan kebaikan.
Seseorang berjalan menghampiri Dewi
Surtikanti. Ia mendekat lalu duduk bersimpuh. “Terimalah pemberian dari Dewi
Kunti, ibu para Pandawa kepada Dewi Surtikanti sebagai ungkapan duka cita yang
mendalam. Sebuah peti kayu diletakkan disamping Dewi Surtikanti. Perhatiannya
teralihkan sejenak. Ia menatap kotak itu lalu membukanya. Matanya menyipit
menghindari sinar putih yang datang dari dalam kotak. Namun itu hanya
sementara. Ketika diraihnya secarik kertas yang di gulung rapi. Perlahan
gulungan itu di buka dan ia membaca tulisan yang tertera disana.
‘Biarkan restu dan anugerah yang lahir
bersama titisan surya tetap mengalir dalam kehidupan yang diciptakannya. Dia
berhak diagungkan oleh pemberi cahaya hidup yang telah menggantikan anugerah
surya yang hilang sementara. Dan sebuah cahaya akan terus menimbulkan pijar
dalam kegelapan tanpa mengeluh terusik oleh kegelisahan’.
Suara tangis bayi menyadarkan Dewi
Surtikanti. Rona kebahagian terselip diwajahnya. Sedikit menghapus noda sedih dari
hati sejenak. Ia beranjak berdiri dan meninggalkan balai besar tersebut. Ia
masuk ke dalam sebuah kamar besar. Didekatinya sumber tangisan itu. Ia menatap
bayi mungil yang kini tersenyum riang karena sang ibu ada didekatnya. Ia
menggendong bayi itu dan mendekapnya erat-erat. “Cepatlah besar anakku, agar
kau memahami apa yang terjadi saat ini dan berjanjilah pada ibu kalau kau akan
menegakkan kembali tanah Awangga”.
Cerpen yang berjudul "Senyuman Di Langit Awangga" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Dwi Surya Ariyadi. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: D Surya Ariyadi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Senyuman Di Langit Awangga | Dwi Surya Ariyadi"