Cerpen Kehidupan - Berebut Kentut | Dzakwan Ali
Senja telah hilang, melesat bagai kilat digantikannya dengan gelap. Begitu pekat tanpa ada goresan warna lain selain hitam. Begitu pula dengan kecepatan pemain bola dari Tim A yang dari tadi menggocek bola hingga mendekati gawang dan tendangannya begitu pun secepat kilat, menggemparkan dunia, merobek jala-jala penghidupan tanpa ampun dan goal. Sorak-sorai penonton begitu membahana, mengetuk altar langit, menerobos sukma setiap jiwa. Sepertinya mampu membangunkan petidur-petidur yg telah lama bersen*gama dengan tanah merah.
Riuh penonton seantero stadion begitu
menyeruak, begitu pun disini. Sebuah desa kecil yang hanya terdiri dari dua
kampung berbeda kepercayaan. Setiap kampung memiliki caranya masing-masing
untuk melakukan ritualnya. Semuanya baik-baik saja, tidak ada baku hantam,
saling hina, apalagi saling membunuh. Semuanya menjaga, semuanya rukun dan
semuanya bekerjasama. Hingga pada suatu gelap yang begitu pekat, lukisan Tuhan
dengan tinta hitam menjadi saksi gemuruh masyarakat yang saling mengelu-elukan
jagoannya. Acara nonton bersama yang diadakan oleh kepala desa cukup manjur.
Semuanya berkumpul, dua kampung yang hanya dibatasi oleh kantor kepala desa
serta warung Nyi Tarkiyem.
Malam ini, setiap kampung menjagokan tim
yang berbeda. Begitu pun aku yang mendukung tim A karena kampungku berada di
sebelah kiri warung dan semuanya menjagokan tim A. Skor sementara 1-0. Bising
suara dukungan saling bersahutan setidaknya membuat lukisan Tuhan terlihat
jelas sangat mempesona. Meski kelam seperti halnya warga yang kebanyakan tidak
memiliki pekerjaan. Hasil pertanian yang tidak bisa memberikan penghidupan
lagi, hutan lindung yang dilindungi untuk ditebang oleh petinggi-petinggi.
Lebih tinggi dari pohonnya, meski tubuhnya kecil tapi kesewenagannya hampir
mendobrak kepulan awan diangkasa.
Setiap hari mereka mencari penghidupan
dengan berbagai cara, kerjasama yang membuat mereka tetap hidup. Meski
kehidupannya tidak mampu memberikan penghidupan cukup untuk menghidupi anak dan
istri. Gotong-royong menjadi prinsip hidup karena meski manusia sempurna, tapi
kesempurnaannya belum bisa menyempurnakan sikap serta kebutuhan hidupnya.
Selain itu, mereka mengisi waktu luang dengan berjalan. Berharap mampu
menerobos rembulan bahkan langit ketujuh. Mengadu terhadap kehidupan yang
sangat kejam, melebihi domba berbulu serigala yang sedang asyik dengan
kewenangannya terhadap mereka dan itu berpengaruh untuk kehidupanku.
Beberapa masyarakat yang lain mencari
ikan atau kijing penuh protein dan gizi di sungai. Airnya sudah mengalami
perubahan warna, tidak lagi jernih atau kecoklatan. Mengorbankan pori-pori
kulitnya digenggam lama oleh genangan sungai. Masuk anginlah pasti. Semuanya
butuh pengorbanan agar mendapatkan hasil tangkapan sebagai teman nasi yang
sudah mengepul dari tadi. Walaupun tidak banyak butiran beras yang harus
dimasak, setidaknya membuat anak mereka terlihat gembira.
“Horeee, sebentar lagi makan.”
“Iya de, bentar lagi ayah pulang bawa
ikan.”
“Asyik makan ikan lagi, sudah lama ya
kak, kita tidak makan ikan.”
“Iya, mungkin sebulan, dua bulan, tiga
bulan, atau setahun yang lalu sepertinya. Semenjak sungai itu menjadi hitam,
semenjak asap-asap berterbangan liar di sana dan semenjak itu ikan-ikan
disungai susah sekali ditemukan. Kakak tidak tahu penyebabnya, mungkin tinta
hitam itu yang sudah mengusir ikan kita. Tinta yang sering kakak lihat di
sekolah ketika bu guru memasukannya kedalam spidol. Sayang sekali tinta hitam
itu harus terbuang disungai. Padahal bisa buat belajar dan orang seperti kita
menjadi pintar.”
“Mana mungkin kita bisa pintar, kita
sudah lama tidak memegang buku, apalagi pensil dan pulpen. Tapi mudah-mudahan
ayah dapat ikan disungai itu. Kalau ikannya minum tintanya kita bisa pintar,
lebih pintar dari domba yang sedang digembalakan di seberang sana.”
“Ahh, kamu itu de. Semoga saja.”
Lesakan bola begitu cepat, operan-operan
yang sangat indah mengelabuhi pemain tim A, strategi counter attack sepertinya
terlihat titik terang. Sebuah serangan balik yang dilancarkan tim B begitu
mempesona bak ombak yang mengejar angin di samudera. Menghantam karang dan
begitu menggelegar. Semuanya terlihat cepat disini, seperti pencuri yang
melahap habis barang-barang warga disalah satu kampung. Tidak ada kecurigaan
kampung yang lainnya mencuri meskipun jelas semuanya sedang dalam krisis
perekonomian. Kepercayaan menjadi asas mereka. Sebuah kehidupan yang damai dan
nyaman.
Kepulan asap liar sesekali bertamu tanpa
undangan ke rumah warga. Ketukan pintu yang halus dengan muka yang garang,
menakuti anak-anak. Begitu pun Damar dan Jayantri yang sejak tadi menunggu
ayahnya membawa ikan. Terkadang asap itu menyebarkan bau yang sangat menyengat,
seperti kentut masyarakat yang malu ketika di tuduh secara aklamasi bahwa
dirinya tersangka pencemaran lingkungan. Baru kentut saja sudah di daulat sebagai
tersangka, bau yang ditimbulkan hanya beberapa saat saja. Lantas asap liar yang
membawa bau kentut itu dibiarkan saja? Mungkin yang kentut adalah orang-orang
besar seperti domba berbulu serigala yang bijak memberikan kebijakan-kebijakan
hingga masyarakat pun menjadi sangat bijak menjelaskan kehidupannya yang
melarat tanpa urat dan syaraf kepada anak-anaknya yang sesekali bertanya.
Skor menjadi 1-1 setelah salah satu
pemain melakukan tendangan hasil operan dari kawannya. Riuh warga kembali
menyeruak, pendukung tim B seperti mendapat mutiara yang lepas dari
kerang-kerang penghuni jagad raya. Begitu senang dan bahagia. Saling
mengagung-agungkan pilihannya dan sesekali keluar ejekan bahkan hinaan kepada
lawan tim yang didukungnya. Semuanya senang dan tidak ada perselisihan meski
perbedaan terlihat jelas tanpa batas.
“Kak, ayah dari tadi belum pulang juga.”
“Sabar de, mungkin sebentar lagi,
mungkin juga sedang banyak ikan. Lumayan buat persediaan lauk kita.”
“Semoga saja ya ka.”
Terlihat samar-samar oleh Damar
sekumpulan warga yang menjinjing sesuatu, lama-lama semakin jelas wajah mereka.
Ia pun melihat ayahnya yang membawa jinjingan plastik hitam kusam dan sedikit
noda lumpur menempel dipinggirnya. Begitu bahagia Damar melihat ayahnya yang
baru pulang.
“Horeee, ayah pulang bawa ikan.”
“Iya nak, ayah bersyukur dapat ikan.
Bisa buat makan kita.”
“Sini biar aku bawa. Nanti kak Jayantri
yang akan memasaknya.”
“Tapi yah, knapa ikannya hanya dapat
dua? Tidak cukup untuk makan bertiga.”
“Semuanya harus kita syukuri, ada
beberapa warga yang tidak mendapatkan ikan. Ayah harus berbagi dengan warga
lain yang sama-sama mencari ikan. Kita hidup tidak sendiri dan sekalipun Tuhan
memberikan kesempurnaan kepada kita. Ada beberapa hal yang harus kita
sempurnakan sendiri, salah satunya dengan saling menolong. Mungkin suatu saat
ayah yang membutuhkan pertolongan dan mereka pasti akan menolong ayah.”
“Yah, kita juga masih sangat membutuhkan
ikan itu.”
“Betul nak, ingat Tuhan tidak pernah
tidur apalagi bersembunyi karena bosan makhluk-Nya mengadu setiap jam, setiap
menit bahkan setiap detik. Karena itulah kita tidak perlu khawatir, yang
memberikan rizki adalah Tuhan, yang memberikan hidup juga Tuhan dan yang
menentukan kematian adalah Tuhan. Apabila kita membantu Tuhan memberikan
sebagian rizki kita, tentu Tuhan akan menolong kita dan balasannya akan lebih
besar dari yang kita berikan, karena Tuhan Maha Kaya.”
“Ayah sangat baik, aku sangat sayang
ayah dan semoga bisa seperti ayah yang baik hati.”
“Ayah juga sayang kamu, nak.”
“Bantu kakakmu masak, nanti malam kita
akan ke kantor kepala desa menyaksikan pertandingan bola. Semua warga akan
berkumpul tanpa terkecuali.”
“Siap yah.”
Buntelan sarung yang besar serta kaos
oblong tanpa gambar ataupun foto orang lain yang biasanya memberikan kecupan
manis namun berbisa kepada warga ketika mempunyai keinginan untuk di pilih
sebagai pejabat terhormat, meski setelahnya lebih sering terlihat bejat tanpa
urat dan syaraf. Semua warga berkumpul menyaksikan layar putih besar yang
disiapkan kepala desa untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Meskipun hanya
bisa menyaksikan dalam sebuah layar, bagi warga sudah cukup mewakili dukungan
mereka tanpa harus datang ke stadion. Penghasilan setahun belum tentu bisa
membeli tiket pertandingan secara langsung, apalagi tempatya di luar negeri
tentu hanyalah sebuah mimpi.
Warung Nyi Tarkiyem begitu ramai, segelas
kopi hitam tanpa gula beserta goreng pisang yang masih mengepulkan asap putih
cukup menemani warga bersen*gama dengan tontonannya. Asap yang membuat warga
tidak sabar menyantapnya, tidak seperti asap hitam disana yang selalu bertamu
tanpa diundang. Baunya membuat tidak tahan setiap penciumnya. Begitu pula aku,
meskipun hidungku kecil namun sangat peka seperti telingaku yang bisa mendengar
jeritan manusia yang entah dari mana asal suaranya, namun begitu jelas minta
tolong dan ampun kepada Sang Pencipta atas segala dosa-dosanya.
Semuanya begitu terpaku dengan gaya
bertanding yang diperlihatkan, saling serang dan operan begitu lihai semakin
menarik pertandingannya. Ini pula yang membuat kepala desa mengadakan nonton
bersama, padahal kemarin malam pertandingan final antara negeriku dan negeri
pencuri bertanding, namun tidak cukup membuat tertarik warga. Pemain-pemainnya
begitu asing dan tidak bisa berbicara bahasa ibu. Apalagi bahasa kakek, atau
bahasa buyut atau bahasa nenek moyang. Serta permainannya yang lambat dan
operannya sering meleset. Tendangannya pun terkadang tidak berarah. Mungkin
bola nya lebih senang dengan penonton dari pada gawang.
Tentu tidak hanya itu, para babi ngepet
yang mengurusi sepak bola negeriku saling berebut kekuasaan, kemudian saling
menyalahkan dan akhirnya saling baku hantam. Semuanya diperebutkan, padahal
pekerjaan mereka sudah cukup untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan
menggesek-gesekkan tubuhnya ke tembok warga. Kali ini babi ngepetnya begitu
cerdas, mungkin karena sudah ada pendidikannya yang membuat mereka begitu lihai
mencari uang. signalnya sangat kuat serta kemampuan melarikan diri dan
bersembunyi sudah tidak perlu diragukan lagi.
Andai saja aku masuk ke sekolah itu,
tapi aku sepertinya ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang jujur, rajin dan
amanah. Setiap hari aku selalu menjalankan tugasku. Memberikan kabar gembira
bahwa pagi telah tiba, dan setiap warga dapat mencari penghidupan dengan lebih
nyaman. Meskipun aku pun membantu babi ngepet menjalankan tugasnya. Ya, tugas
mereka mencuri tanpa kenal waktu. Gelap dan terang bagi mereka sama saja yang
penting uang.
Pertandingan semakin memanas, begitu
pula dukungan warga semakin membabi tapi tidak sampai mengepet. Lapangan depan
kantor kepala desa ini semakin ramai, warga pun semakin panas hingga
suara-suara kecil tidak akan terdengar dan tidak akan tahu siapa yang berbicaranya.
Tuuuuut, bruuuttt, tuuut
Bagiku jelas sekali ini suara kentut,
dan aku langsung mencium aroma busuk. Sepertinya orang ini habis makan ikan
disungai hitam itu. Warga masih tetap asyik menonton sembari memberikan
dukungan.
Duuuut, Duuuuut, ciiiiittt
Ini pun suara kentut, jelas sekali di
telingaku. Meskipun aku menyaksikan pertandingan di atas pohon tapi karena
pendengaranku yang tajam mampu mendengarnya lagi. Begitu juga penciumanku yang
tajam begitu jelas aroma busuk menggelitik bulu hidung sembari menyebarkan
aromanya yang sangat terkutuk. Warga masih tetap asyik menonton sembari
memberikan dukungan. Secara tiba-tiba ada warga yang menghalangi pandangan
warga lain, ia berdiri tepat ditengah layar yang sedang mempertontonkan
pertandingan. Begitu berani mengganggu warga yang sedang memanas.
“Hei!, siapa diantara kalian yang
kentut. Baunya sangat busuk.”
“Sebentar, sepertinya benar ada yang
kentut dan baunya sangat busuk.”
“Cepat mengaku saja!, mengganggu kami
yang sedang asyik menonton bola.”
Semua warga saling menuduh dan
menyalahkan, terutama penuduhan itu ditujukan kepada warga yang berbeda kampung
dengannya. Pertandingan pun dihiraukan, meskipun tim A mencetak goal,
diabaikan. Semuanya fokus saling menyalahkan. Siapa yang kentut? Semuanya tidak
ada yang berani mengaku. Entah malu atau takut menjadi kayu gelondongan yang
siap di kapak menjadi serpihan kayu bakar. Yang pasti tidak ada satu pun yang
mengaku.
“Sudahlah, hanya kentut ini. Mungkin
bayi atau anak kecil yang kentut. Saling memaafkan saja.” Kepala desa
menengahi.
“Bukan, saya yakin ini kentut
bapak-bapak atau mungkin ibu-ibu. Ahh sepertinya ini kentutnya laki-laki. Dan
ini bukan hanya masalah kentut, tapi kesopanan, kerukunan, kedamaian semuanya
retak oleh kentut itu. Buktinya tidak ada warga yang mengaku, malah saling
tuduh. Ini harus segera diselesaikan.” Sanggah salah satu warga.
Tanpa bisa dilerai, semua warga saling
mencaci maki, beberapa yang sudah saling tonjok. Sedangkan ibu-ibu seperti
biasa saling berjenggut rambut. Sedang anak-anak asyik menyaksikan tontonan
gratis perkelahian warga.
“Semuanya tenang… Kalau kalian mau
berkelahi, silahkan. Tapi besok malam saja. Biarkan anak-anak tertidur lelap.
Jangan sampai mereka menyaksikan perbuatan kalian, karena mereka akan menjadi
penerus bangsa, meneruskan cita-cita negeri kita.” Teriak kepala desa.
Malam pun hening, hanya sesekali suara
jangkrik berkolaborasi dengan katak membentuk nada harmonis sembari menidurkan
warga yang sudah pergi meninggalkan lapangan. Aku pun mulai mengantuk dan tidak
bisa meninggalkan pohon ini sambil terjaga penciuman maupun pendengaran. Disela
ketertiduranku mendengar bisikan, entah siapa yang berbicara dan semakin jelas
suaranya.
“Hei, lihatlah hasil pekerjaanku. Mereka
hendak berkelahi besok malam. Aku akan melaporkannya kepada pimpinan.”
“Enak saja, ini juga hasil pekerjaanku,
kamu hanya diam saja dari tadi. Aku ini yang sudah membisikkan ke telinga
mereka agar berkelahi.”
“Eitsssss, kalau tidak ada aku yang
menyebarkan ikan disungai itu, tentu saja tidak ada yang masuk angin dan tidak
ada pula yang kentut.”
“Tidak bisa, aku yang sangat berjasa.
Raja iblis akan memujiku.”
“Tidak, tapi Aku.”
Suara itu semakin samar-samar hilang dan
tergantikan dengan suara saling pukul. Sampai fajar menyapa bumi dengan keindahan
warnanya. Aku pun harus menjalankan tugas memberikan kabar gembira itu. Fajar
telah tiba.
Warga kembali dengan aktivitasnya,
mencari penghidupan setelah lama berdo’a bersamaan aku memberikan kabar itu.
Semuanya berdo’a agar diselamatkan dari keberingasan warga kampung sebelah.
Begitu juga sebaliknya. Aku pun ikut berdo’a memohonkan ampun kepada mereka
agar tidak seperti orang yang suaranya setiap malam aku dengar samar-samar
seperti disiksa sembari meminta tolong dan ampun.
Waktu perkelahian pun tiba, setiap warga
membawa senjata yang berbeda. Semuanya sudah berhadapan dan siap baku hantam.
Keringat sudah mulai bercucuran dengan jenis yang berbeda. Keringat takut,
keringat berani, atau keringat mengejar sensasi. Tidak ada polisi ataupun pihak
keamanan lain, daerah kami terlalu jauh untuk di datangi mereka.
Pedagang-pedagang kecil saja yang berhamburan menjajakan jualannya. Begitu pula
warga desa lain yang datang silih berganti untuk menyaksikan perkelahian itu.
Aku pun heran, ini perkelahian karena perselisihan atau sebuah tontonan. Ahh,
pikiranku tidak secerdas mereka.
Tidak ada yang mengaku hingga detik itu,
akhirnya perkelahian pun tidak bisa dihindari. Mereka saling baku hantam
disaksikan warga desa lain sembari menghabiskan jualan para pedagang. Hingga
semua dagangan habis, dan para pedagang berinisiatif untuk iuran sebagai bentuk
terima kasih kepada warga desaku. Uang pun terkumpul dan salah satu pedagang
berteriak.
“Heiiii, siapa yang kentut kemarin
malam? Ada sedikit uang ucapan terima kasih karena berkatnya jualan kami habis
tidak bersisa.”
Semua warga desaku terdiam, perkelahian
dihentikan. Di sela-sela keheningan ada warga yang mengaku kalau orang yang
kentut berasal dari kampungnya, kemudian warga lain pun berkata demikian. Semua
saling mengaku kalau dirinyalah yang kentut dan berharap uang itu diberikan
kepadanya. Baku hantam pun kembali dilanjutkan karena semuanya mengaku kalau
kentut pada malam itu. Aku pun hanya terdiam dan menunggu pemilikku menjadikan
aku teman nasi santapannya.
Cerpen yang berjudul "Berebut Kentut" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis dengan nama pena Dzakwan Ali. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link: dzakwanali.tumblr.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Berebut Kentut | Dzakwan Ali"