Cerpen Cinta - About Love in Bamboo Forest | Murni Oktarina
“Aduh!” Aku meringis kesakitan sambil berusaha mengangkat sepeda yang menimpa tubuhku. Sudah ditimpa sepeda, aku pun harus menikmati ‘manisnya’ lutut kaki kiriku tergores di jalanan depan Togaden ini.
“Dasar bodoh!” teriak keras seseorang di
belakangku.
Aku menatap wajahnya, wajah laki-laki
yang mengatakan aku bodoh. BODOH! Aaargh! Aku tidak terima.
Setelah bisa berdiri dengan sempurna,
aku merapikan pita di rambut gelombangku. Ternyata rok rimpel-rimpel yang
kukenakan sedikit sobek tergores aspal. Pantas saja lututku ikut tergores.
Lantas kutatap dalam-dalam wajah si laki-laki yang dingin itu. “Hei! Kamu
bilang apa tadi?!” ujarku menahan emosi.
“Aku bilang kamu bodoh! Masih kurang
jelas? Dasar cewek ceroboh!” ujarnya sengit sambil membuang muka dan tanpa
berdosa dia mengayuh sepedanya meninggalkanku.
“Hei, kamu! Dasar cowok pengecut!”
teriakku keras dengan emosi yang menggebu. Lantas kukayuh sepedaku mengejarnya.
Enak saja dia kabur setelah sengaja menyenggol sepedaku tanpa meminta maaf
terlebih dahulu. Huh!
Ternyata laki-laki menyebalkan tadi
mengayuh sepedanya dengan amat kencang. Ah, sepertinya aku akan ketinggalan
jejaknya. Ya, sekarang tak lagi kulihat punggung laki-laki tersebut. Dan aku
menarik napas, kecewa. Semoga di lain waktu aku bisa bertemu dengannya lagi dan
memaksa dia untuk minta maaf padaku.
Pelan-pelan kutelusuri jalanan wilayah
Sanjo siang ini. Orang-orang terlihat berlalu lalang dengan kesibukannya
masing-masing. Wajah mereka masih secerah mentari pagi dengan senyum yang
menghiasinya. Inilah yang kubanggakan dari penduduk Kyoto. Semangat dan wajah
cerah mereka. Apalagi saat ini Kyoto sedang haru. Jadinya lengkap dan makin
indah saja Kyoto-ku tercinta.
Sambil tetap mengayuh sepeda, kuganti
lagu di walkman dan membenarkan posisi earphone di telingaku. Dan kini
terdengarlah suara merdu Yui, penyanyi favoritku. Lagu yang berjudul ‘Stay with
Me’, mampu membuatku melupakan kejadian yang menyebalkan tadi sekaligus
melupakan rasa perih di lututku.
Setelah lima belas menit perjalanan, aku
sudah sampai di depan rumah.
“Tadaima!” seruku sambil membuka pintu
dan langsung berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. Aku
tergesa-gesa menuju kamar karena ingin membersihkan luka di sekitar lutut kaki
kiriku. Saat luka lecet itu bertemu obat cair yang kuteteskan, rasanya pedih
sekali. Aduh, aku jadi mengingat kembali wajah laki-laki yang menyenggolku saat
mengendarai sepeda tadi. Awas saja kalau aku bertemu dengan dia lagi!
“Ohayou gozaimasu, Miyuki!”
“Ohayou gozaimasu!” jawabku membalas
sapaan Yayoi, teman satu kelasku. Lalu aku tersenyum dan Yayoi pun membalas
senyumanku dengan manisnya.
Selesai aku mengganti sepatu dengan
uwabaki6, kukunci kembali lokerku lalu menoleh ke arah Yayoi yang terlihat
kebingungan sambil mengacak-acak isi tasnya.
“Ada apa, Yayoi?” tanyaku bingung.
“Miyuki, aku kehilangan kunci loker.
Aduh!” jawabnya gusar sembari membongkar tasnya yang berwarna merah muda.
“Mungkin terselip saja,” kataku
berkomentar sambil membuka lembaran buku di dalam tas Yayoi. Kunci loker
sekolah kami memang berukuran kecil. Jadi kupikir mungkin kunci itu terselip di
antara lembaran buku. Apalagi kunci loker Yayoi tidak diberinya gantungan
kunci, sehingga sulit untuk menemukannya di dalam tas yang penuh.
“Setibanya di sekolah tadi aku sempat
membuka tas untuk mengeluarkan komik. Mungkinkah kunci itu terjatuh ya?” Yayoi
berucap dengan nada khawatir.
Aku mengerti kenapa ia jadi khawatir.
Lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Jika Yayoi belum menemukan kunci
lokernya, itu berarti ia tidak bisa membuka lokernya dan mengganti sepatunya
dengan uwabaki. Kalau tidak segera mengganti uwabaki, Sensei Terumasa tidak
akan mengizinkan muridnya mengikuti pelajaran.
“Emm… mungkin juga kunci itu terselip di
komik kamu, Yayoi. Sekarang komik itu ada di mana?” Aku bertanya setelah tak
kutemukan kunci loker di antara buku-buku dalam tas Yayoi.
“Miyuki, komik itu sudah dibawa Satoru.
Aku meminjamkannya karena dia mau mengantarku pergi ke sekolah hari ini,” kata
Yayoi menjawab pertanyaanku. Kini Yayoi hanya terduduk di depan lokernya dengan
wajah menyerah.
“Satoru?” ujarku mengulang nama yang
disebutkan Yayoi.
“Dia tetangga baruku, Miyuki. Pindahan
dari Osaka. Dia seusia dengan kita tapi sayangnya tidak bersekolah di sini,”
kata Yayoi menjelaskan.
Aku mengangguk lalu tersenyum.
Tiba-tiba lantunan nada Fur Elise
terdengar nyaring sebagai tanda waktu belajar akan dimulai. Beberapa anak
terlihat sedang memakai uwabaki dan setelah itu mereka beranjak menuju kelasnya
masing-masing untuk belajar. Aku masih terpaku di depan Yayoi yang menunduk.
Beberapa detik kemudian dia mengangkat wajahnya.
“Miyuki masuk saja ke kelas. Aku akan
mencoba menghubungi Satoru dan menanyakan apakah kunci itu terselip di komik
yang dipinjamnya,”
Aku menggeleng. “Aku mau tunggu Yayoi
saja,”
Yayoi tersenyum. Baru saja ia hendak
menekan tombol di handphone-nya, nama Satoru sudah tertera duluan di layar.
“Iya, Satoru. Arigatou gozaimasu! Tunggu ya!” kata Yayoi gembira saat ia
berbicara dengan si penelepon. Setelah menutup handphone-nya, Yayoi menarik
lenganku.
“Satoru ada di depan gerbang, Miyuki.
Ayo temani aku! Nanti aku kenalkan kamu dengan dia.”
Aku mangangguk dan berjalan mengikuti
Yayoi.
Sesampainya di depan gerbang sekolah,
kulihat sosok yang sudah tak asing bagiku. Dia tersenyum manis pada Yayoi tanpa
melihatku. Ah, rasanya ingin kutelan bulat-bulat orang itu!
“Ohayou gozaimasu, Satoru! Arigatou
gozaimasu. Aku sudah khawatir tidak bisa ikut pelajaran hari ini kalau kunci
lokerku sampai tidak diketemukan,” ucap Yayoi lembut pada Satoru.
“Ohayou gozaimasu. Do itashimashite,
Yayoi!” ujar Satoru masih dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya. Kuakui
Satoru memang manis dan tampan, namun wajah itu menyebalkan bagiku.
Dan aku cukup terpesona dengan senyuman
Satoru hari ini. Akan tetapi yang aku herankan ia bersikap manis pada Yayoi
tapi tidak denganku. Apa karena kejadian kemarin? Eh, yang seharusnya marah itu
‘kan aku!
“Satoru, kenalkan ini Miyuki! Dia teman
satu kelas yang paling dekat denganku, hehehe!” kata Yayoi mengenalkanku pada
Satoru sambil mengerlingkan mata jenaka padaku.
Aku memasang senyum terpaksa. Tapi,
Satoru sama sekali tidak membalas senyumanku. Ia hanya memandangiku dari ujung
rambut sampai ujung kakiku. Bagus deh! Jadi dia bisa melihat lutut kiriku yang
di perban tipis gara-gara kelakuannya yang tidak bertanggung jawab kemarin di
depan Togaden.
“Eh, aku harus kenalan sama cewek
ceroboh ini? Kok bisa kau berteman akrab dengan dia, Yayoi? Lihat itu lututnya
akibat dari kecerobohannya sendiri!” ujar Satoru pada Yayoi sambil membuang
wajah padaku. Lalu ia melihat ke arah pohon sakura yang berbunga indah di depan
kolam sekolah.
Aku hanya terdiam. Rasanya ingin kubalas
kata-kata ejekan dari Satoru. Tapi aku masih ingat bahwa Yayoi ada di sampingku
dan lagi pula ini masih di lingkungan sekolah.
“Kalian sudah saling mengenal ya,
Satoru? Eh, Miyuki kenapa tidak cerita padaku kalau sudah mengenal Satoru?
Kalian kenal di mana?” tanya Yayoi keheranan sambil menatap kami berdua
bergantian.
“Emmh, aku pergi dulu ya! Yayoi, jangan
sampai hilang lagi kunci lokernya! Sampai ketemu nanti,” pamit Satoru pada
Yayoi dengan tiba-tiba. Lalu ia segera mengayuh sepedanya menjauh dan lama-lama
tak terlihat lagi oleh pandangan mata kami.
Yayoi memandangiku dengan wajah
penasaran. Aku pun berlari meninggalkannya sebab aku yakin ia akan memaksaku
bercerita kenapa Satoru bisa berkata seperti tadi padaku.
“Miyuki… tunggu!” teriak Yayoi padaku.
Tapi tak kuhiraukan dan aku terus berlari sambil tertawa karena berhasil
membuat penasaran teman akrabku.
Saat haru seperti ini, matahari akan
terbenam cukup lama dan setelah itu langit mulai berubah warna. Lewat jendela
kamar, aku duduk santai sambil membaca komik. Walau sedang membaca, mataku bisa
saja mengedarkan pandangan ke arah lain termasuk ke atas langit. Kututup
komikku dan meletakkannya kembali ke lemari buku. Kini aku lebih tertarik
mengamati keindahan langit saat senja. Di tambah lagi saat ini bunga-bunga
masih bermekaran dengan indahnya.
“Tok tok tok…” Pintu kamarku diketuk
seseorang. Pasti itu haha.
Aku beranjak dari dudukku dan membuka
pintu kamar. Haha tersenyum padaku dan berkata, “Sayang, tolong belikan tofu
karaagedon set di Togaden ya!”
“Oke, Haha sayang.”
Setelah haha menyerahkan uang sejumlah
800 yen, aku langsung mengambil pita bermotif polkadot dan menyematkannya di
sebelah kanan rambutku.
“Ittekimasu!” kataku pamit seraya
menuruni tangga.
“Iterasshai, Miyuki!” pesan haha. Aku
menoleh sejenak pada haha lalu mengangguk tersenyum.
Kukayuh sepeda menembus jalanan. Sengaja
kukendarai sepelan mungkin karena aku sangat suka suasana Kyoto di kala senja
menjelang malam seperti ini. Di sepanjang perjalanan, kulihat pohon-pohon
sakura berbunga dengan lebatnya. Cantik! Aku melebarkan senyumku sambil
berdendang kecil
Tak terasa aku sudah sampai di depan
Togaden. Restoran ini memang baru dibuka pukul lima sore. Jadi sekarang lagi
ramai-ramainya pelanggan yang berdatangan.
Selesai membeli tofu karaagedon set dan
keluar dari area Togaden, angin bertiup cukup kencang hingga menerbangkan
rambut panjangku yang bergelombang dan berombak. Pita polkadotku bergeser dari
posisinya semula. Sejenak aku berhenti mengayuh sepeda dan membetulkan letak
pita rambutku.
Bruuk!
Untuk ke dua kalinya, aku terjatuh
karena ada yang menabrak dari belakang. Namun aku bersyukur kali ini sepedaku
tidak menimpa tubuhku. Baru saja ingin memarahi orang yang seenaknya
menabrakku, mulutku tak bisa berucap apa-apa.
Dia lagi! Tapi kali ini dia ikut
terjatuh dan sepedanya menimpa tubuhnya sendiri. Syukurin! Ucapku dalam hati.
Dia berusaha berdiri, tapi sepertinya kesulitan menyingkirkan sepeda sport-nya.
Aku jadi tak tega karena melihat wajah
Satoru yang meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Aku segera
menghampiri Satoru dan membantunya berdiri. “Kepala kamu berdarah, Satoru!”
kataku hampir berteriak saat tak sengaja melirik ke arah kanan kening Satoru.
“Biasa saja kali! Dasar cewek aneh!”
cetus Satoru memasang wajah kesal. Lantas tangannya diusapkan ke keningnya
untuk memastikan kata-kataku.
Satoru mencari sesuatu dari dalam saku
celana jinsnya. Tapi dia menelan ludah karena tidak menemukan apa yang ia cari.
Aku mengambil sapu tangan dari dalam tas kecil di keranjang sepedaku dan
menyerahkannya pada Satoru. Dia hanya menatapku lalu mengacuhkan uluran
tanganku yang memberinya selembar saputangan berwarna biru muda.
Entah keberanian dari mana, dengan cepat
kuusapkan saputangan ke arah kening Satoru untuk membersihkan darahnya yang
pelan-pelan mulai mengalir.
“Hei, siapa yang suruh kau membersihkan
lukaku?!” ujar Satoru dengan suara tertahan namun terkesan kesal dan membentak.
Aku hanya diam saja dan terus
membersihkan darah di kening Satoru.
“Pelan-pelan! Sakit tahu!” bentak
Satoru. Meski mulutnya berkata-kata membentakku, tapi tubuhnya berdiri kaku.
“Ada yang sakit lagi tidak, Satoru?
Darah di keningmu sudah tidak keluar lagi. Sampai di rumah nanti langsung
diobati ya,” kataku yang tiba-tiba berubah lembut. Padahal aku ingin membalas
bentakannya padaku. Juga ingin menyuruhnya meminta maaf atas kejadian beberapa
hari yang lalu. Tapi nyatanya aku tak bisa marah pada laki-laki yang berada di
hadapanku kini.
Satoru memandangku dalam-dalam. Matanya
yang indah seketika terlihat lebih teduh dari biasanya. Poninya yang
berkeringat terlihat basah dan diusapkannya ke sebelah kiri. Lalu ia menunduk.
Aku merasa dia salah tingkah. Entah apa penyebabnya.
“Arigatou gozaimasu, Miyuki! Kamu kok
jadi baik begini… ada apa?” Suaranya terdengar parau.
“Aku selalu baik pada semua orang
termasuk pada orang yang menyebalkan seperti kamu,” jawabku jujur dan spontan.
“Gomen nasai! Mungkin aku memang
menyebalkan. Aku menyesali atas kejadian beberapa hari yang lalu. Lutut kaki
kirimu sudah sembuh, kan?”
“Eh?”
“Dimaafkan tidak?”
Aku mengangguk lalu tersenyum. Dan
Satoru pun tersenyum padaku. Ah, senyumannya terlihat sangat manis. Hatiku
berdesir bahagia dan seperti ada kupu-kupu yang mengelitik perutku saat
memandangi senyuman Satoru.
Tiba-tiba aku baru tersadar jika kami
sedang berada di jalanan depan Togaden dan telah menjadi pusat perhatian
beberapa orang. Sepertinya Satoru pun baru tersadar. Beberapa detik kami saling
berpandangan lalu tertawa bersama.
Di sabtu sore, udara terasa cukup gerah.
Mungkin karena haru akan berakhir dua hari lagi dan akan digantikan natsu.
Berarti dengan segera pendingin ruangan harus disiapkan di rumah untuk
menghalau udara panas yang akan datang berkunjung selama kurang lebih tiga
bulan ke depan.
Namun aku bukan memikirkan natsu yang
akan segera datang, tapi pikiranku terfokus pada pakaian dan penampilanku sore
ini. Pukul lima, aku dan Satoru janjian untuk bertemu. Satoru mengajakku ke
daerah Arashiyama. Tentu saja dengan senang hati aku terima ajakannya. Siapa
yang bisa menolak jika diajak pergi oleh orang yang telah berhasil menarik hati
kita?
Baju terusan yang anggun berwarna hijau
dan putih. Kaus kaki putih dengan sepatu hitam. Rambut dikepang dua di samping,
lalu diikat menjadi satu ke belakang dengan pita berwarna hijau. Begitulah
penampilanku dan saat ini aku sedang berdiri di depan rumah menunggu kedatangan
Satoru.
“Hai!” Satoru telah berdiri di hadapanku
dan menyapaku. Matanya memperhatikanku lalu bibirnya membentuk sebuah senyuman.
Aku membalas senyuman Satoru. “Kenapa,
Satoru?” tanyaku bingung karena Satoru masih terus memandangiku.
“Emmh… kau manis sekali,” puji Satoru
yang membuatku jadi salah tingkah. Aduh, jantungku kenapa berdetak cepat
seperti ini sih.
“Eh, Satoru juga manis kok.” kataku
memuji Satoru. Ia mengenakan jins hitam dan kemeja biru langit. Rambutnya yang
tebal dan poninya yang menjuntai menutupi sebagian keningnya, makin terlihat
manis dan aku tak bosan-bosannya mengagumi manusia di hadapanku ini.
“Aku sih sudah manis dari lahir. Kau
baru tahu ya?” candanya sambil mengedipkan mata jenaka padaku.
Aku hanya tertawa.
Sesampainya di daerah Arashiyama, Satoru
mengajakku memasuki The Sagano Bamboo Forest, sebuah taman bambu yang sangat
indah dan menarik karena membentuk seperti tirai yang unik. Taman bambu seluas
16 kilometer persegi ini tidak hanya indah tapi suara anginnya dapat terdengar
melalui rumpun bambu yang tebal. Sore ini banyak yang datang berkunjung dan
menikmati lingkungan alam yang paling indah di Jepang ini.
Tiba-tiba Satoru memegang tanganku.
Perlahan jemarinya mengisi sela-sela jemariku ketika kami mulai menelusuri area
taman bambu yang sejuk, sesejuk hatiku saat ini. Aku yakin wajahku sudah
bersemu merah. Apalagi jemari Satoru meremas lembut jemariku. Aku tidak
memiliki cukup keberanian untuk menoleh ke arah Satoru di samping kananku. Jadi
yang kulakukan hanya diam dan terus melangkah.
Sesampainya di belokan yang cukup sepi,
Satoru menghentikan langkahnya. Ia menarik napas lalu dengan perlahan
mengembuskannya. Kemudian aku memberanikan diri untuk menatap wajah Satoru. Ia
terlihat gugup dan melepaskan jemarinya dari jemariku.
“Kenapa dilepas, Satoru?”
Satoru tersenyum dan ia berkata dengan
wajah yang serius, “Apa aku boleh terus memegang tanganmu?”
Aku mengangguk dan kini mata Satoru
menatap dalam-dalam ke mataku. Rasanya sinar mata teduh itu menembus sampai ke
dalam aliran darah di tubuhku. Kembali kurasakan jemari Satoru memenuhi
sela-sela jemariku.
“Miyuki, kau dan dia begitu mirip.
Terutama sikap dan rambut gelombang kalian. Oleh sebab itu, saat pertama kali
aku melihat dirimu, dengan sengaja kusenggol sepedamu dan tidak menolong kau
yang terjatuh akibat ulahku. Itu karena aku membenci dia yang telah
berkhianat,”
Kudengarkan setiap kata yang keluar dari
mulut Satoru dengan penasaran. Suara angin saat ini tak terdengar. Mungkinkah
sang angin pun sedang mendengarkan kata-kata Satoru?
“Namun aku sadar, kalau kamu bukan dia.
Sejak kau terjatuh saat itu, aku selalu memikirkanmu. Mungkin semua ini memang
sudah menjadi takdir untuk kita, Miyuki. Aishiteru!
Aku memandangi mata Satoru seolah
bertanya apakah kata-katanya itu sungguh-sungguh benar. Satoru mengangguk dan
ia membawa tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. Tanpa sadar aku menitikkan bulir
bening dari kedua pelupuk mataku. “Aku juga mencintaimu, Satoru!” bisikku lirih
di dekat telinga Satoru.
Tiba-tiba suara angin kembali terdengar.
Namun kali ini lebih lembut dan merdu. Seolah menembangkan kidung cinta nan
indah yang mengiringi kisah kasih kami berdua.
Cerpen yang berjudul "About Love in Bamboo Forest" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Murni Oktarina. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun: http://www.facebook.com/murni.dudidam.7
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - About Love in Bamboo Forest | Murni Oktarina"