Cerpen Kehidupan - Masa Tua | Bergman Siahaan
Aku adalah seorang wanita yang sangat beruntung, di saat yang sama aku merasa wanita yang sangat malang. Bulan depan genap delapan puluh empat tahun usiaku. Aku beruntung karena bisa menikmati dunia dengan segala ceritanya ini lebih dari delapan puluh tahun. Ragaku masih sehat dan seluruh fungsi tubuh masih bekerja dengan baik. Orang bilang ini adalah berkat yang spesial dari Yang Maha Kuasa karena hampir semua teman-teman sebayaku sudah menepi dari hiruk pikuknya dunia ini.
Aku wanita yang sangat malang karena
suamiku telah pergi beberapa tahun yang lalu. Tempatku berbagi suka dan duka
selama lebih dari lima puluh tujuh tahun kini telah tiada. Aku merasa kesepian.
Lalu semua orang akan bertanya, kemana anak-anakku? Mereka masih ada. Mereka
ada di suatu tempat sedang menjalani hidupnya masing-masing. Mereka sibuk.
Terlalu sibuk untuk membiarkanku mengganggu kenyamanan mereka. Terlalu sibuk
untuk menyisihkan waktu menemaniku menghabiskan sisa usia ini. Dunia modern nan
kejam tak memungkinkan mereka untuk selalu bisa merawatku. Itu sebabnya aku
berada di sini, bersama orang-orang yang senasib, menanti uluran tangan orang
lain untuk merawat, mengurus ataupun sekedar mengajak kami berbincang-bincang.
Namun aku jenuh. Kegiatan yang berulang-ulang
kami lakukan itu membuatku jengah. Bangun pagi, dimandikan, makan,
ngobrol-ngobrol, tidur, begitu berulang-ulang setiap hari. Beruntung bagiku
masih bisa berjalan-jalan keliling panti. Kakek tua yang ada di sebelahku
sekarang tidak seberuntung aku. Dokter bilang sendi-sendinya tidak kuat lagi
menopang tubuhnya. Mmm… Entah apa istilahnya, aku tak ingat. Oleh karena itu,
sepanjang hari ia hanya duduk di kursi roda atau berbaring di tempat tidur.
Inilah yang kusebut bersyukur. Aku masih diberi kesehatan yang lumayan jika
dibandingkan dengan pria tua yang sudah sulit berkomunikasi, bahkan sulit untuk
mengenali orang. Koneksitas pikiran dan tindakannya yang payah membuatnya hidup
bagaikan di dunia pararel.
Sekali waktu ia memanggilku Tina, nama istrinya
yang entah kemana itu. Aku dulunya sering melontarkan protes. Namun belakangan
sudah kubiarkan saja, aku tidak mempermasalahkan setiap kali ia mengira aku
adalah istrinya. Apalah manfaat protesku bagi seorang yang menderita penurunan
fungsi otak yang mengurangi kemampuan nalar dan memorinya. Alzheimer…! Ya
kurasa itulah nama penyakitnya. Penyakit ini membuat memori otak hilang dan
timbul. Oh, ya… Istilah untuk gangguan sendi-sendi tadi kalau tak salah disebut
Osteoatritis. Ya, seperti itulah… Osteoatritis. Aku mendengar dokter
menyebutkannya.
Meskipun demikian, aku bisa katakan
kakek tua ini, Pak Wawan, adalah sahabatku. Padanya aku sering curhat tentang
manis pahitnya hidup ini. Meski sering tidak nyambung dan melompat-lompat, tapi
obrolan kami rasanya klop. Cara berpikirnya, ketika dalam keadaan normal dan
sehat, tidak jauh berbeda denganku. Seperti sendok yang menemukan garpu.
Seperti shuttlecock yang menemukan raket. Di tengah kesibukan kami yang hampa,
aku sering membantunya beranjak ke kamar kecil atau sekedar mengambilkan
sesuatu barang. Hari ini misalnya, aku sedang menemaninya duduk di teras
samping, melihat-lihat taman yang sudah ribuan kali kami pandangi.
“Pikir-pikir, hidup ini singkat ya…,”
ujarnya lambat dan pelan tanpa menoleh kepadaku. Suaranya serak dan pandangan
matanya jatuh di rumput-rumput taman walau tanpa fokus yang jelas.
“Yah… begitulah,” ucapku datar.
Dia berkata lagi, “Kenangan-kenangan
masa kecilku… masih terlihat jelas. Tak terasa… sudah tujuh puluh… Eeh…,
delapan puluh tahun… berlalu.”
Aku mengangguk-angguk perlahan. “Apa…
yang anda rasakan…?” tanyaku terputus-putus oleh untaian nafas. “Ada penyesalan
dalam… emm… hidupmu… selama ini?” sambungku meski sebenarnya tidak mengharap
jawaban yang baik darinya mengingat kepikunannya itu.
Namun kemudian ia berujar, “Oh, tidak…
Aku cukup bersyukur dengan hidupku… Punya anak-anak… yang berhasil… dan istri…
yang baik… Itu sudah cukup.”
Aku hanya diam tak bereaksi. Kami pun
terdiam beberapa saat dalam lamunan masing-masing, sebelum akhirnya dia balik
bertanya, “Kalo kamu…? Apa yang kamu rasakan…?”
Aku menarik napas dalam-dalam. Biasanya
obrolan kami tak seserius ini, pikirku. Tapi aku jawab saja dengan
lambat-lambat, “Aku juga bersyukur… Tapi… kalau boleh memilih… aku tak ingin
hidup lebih lama lagi kalau keadaannya begini. Sudah tua… ditinggalkan
keluarga… Padahal aku masih sehat. Apa sih yang kubuat yang merugikan mereka?”
Suaraku sedikit disusupi nada geram.
“Aah… Sebenarnya kita beruntung berada
di sini,” sahutnya. “Kita di rawat dengan baik… Ada yang menemani setiap hari…
Ada teman seperti anda. Tidak sepi… Belum tentu begitu di rumah anak kita…
Mereka sibuk… Kita bahkan mungkin malah terlantar.” Jawabanya dengan penuh
keyakinan.
Aku hanya membisu berupaya mencerna
perkataannya. Sampai akhirnya semerbak aroma yang akrab di hidungku memutus
kebisuanku.
“Anda pipis…?” tanyaku kepadanya. “Popok
anda, penuh itu…”
Dia melihat-lihat celananya yang sudah
basah sambil bergumam tak jelas. Bau air seni semakin jelas di indera
penciumanku. Tapi aku sudah terbiasa. Orang tua ini memang sudah mengenakan
popok dewasa karena otot-ototnya tidak mampu lagi dikendalikan oleh otak untuk
menahan pipis.
Emosiku sering berkecamuk. Sedih dan
marah bercampur aduk melihat penurunan fisik dan mental manusia di usia senja.
Pria tua ini, setauku dulunya adalah seorang atlit. Pria perkasa yang juga
seorang pecinta alam. Fisiknya sangat kuat untuk menghadapi berbagai rintangan
alam. Mentalnya pun tentu sudah terlatih. Tetapi sosok lelaki yang ada di
sebelahku sekarang ini adalah sosok seorang renta yang –jangankan untuk berlari
atau memanjat tebing – bahkan untuk menahan pipisnya pun tak mampu! Lalu untuk
apa manusia hidup lama tetapi dengan penderitaan seperti ini? Aku memarahi
diriku sendiri. Aku tak mau dikalahkan usia. Aku tak rela termakan oleh waktu.
Aku akan melawannya! Batinku menjerit.
“Tina…?” tegurnya. Ia menoleh kepadaku
dengan mata menyipit, berusaha melihatku dengan lebih jelas.
“Hmm…?” Antara bergumam dan mendehem aku
meresponnya. Ia mulai lagi… Pikirku.
“Aku… hanya mau berterima kasih… atas
semua yang telah kamu lakukan selama ini…”
“Ya, baiklah… Nanti kusampaikan pada
isteri Anda…” ucapku sekenanya.
“Terima kasih…” katanya dengan suara
lirih.
Aku kemudian berdiri dari tempat
dudukku. “Sebentar… aku panggilkan suster ya… Untuk mengganti popok dan
celanamu itu…” Aku pun meninggalkannya. Setelah memberitahu suster, aku masuk
ke kamar untuk beristirahat. Tubuh ini cepat sekali merasa letih.
Tak tahu berapa lama dibuai lelap.
Sepotong suara lembut terdengar di telingaku, “Ma… Mama…!” Bahuku diguncang
pelan. Aku terjaga. Kulihat wajah suster yang sedang membungkuk di samping
tempat tidurku. Disebelahnya ada seorang laki-laki yang wajahnya tak asing bagiku.
“Ma…,” suster itu memegang tanganku
dengan raut sedih. “Papa sudah pergi ya…”
Dibelakangnya, di pintu kamar, kulihat
beberapa orang berjejal seperti penasaran ingin melihat reaksiku.
“Ada apa ini…?” Aku heran. Perlahan aku
bangkit dari tempat tidur. Suster itu memapahku keluar dari kamar tidurku
menuju ruang tengah, tanganku dipegangnya erat-erat seakan menyalurkan semua
perasaan yang ada di hatinya. Ada sebuah tempat tidur di ruang tengah yang
diatasnya terbaring seseorang. Aku mendekat, kulihat wajah pria tua itu,
Setiawan Nugroho lelaki yang bersamaku siang tadi terbujur dengan tenang.
Orang-orang yang ada disitu lalu bergantian mengahampiri dan menyalamiku. Ada
beberapa yang memelukku. Dalam kebingungan, kulihat Suster disebelahku, yang
sedari tadi memegang tanganku. Wajahnya perlahan-lahan menjadi sangat kukenal.
Dia adalah anak perempuanku, sedang meneteskan air mata, sementara suaminya
mengusap-usap pundaknya.
Aku melihat ke sekeliling ruangan. Ini
adalah rumah putriku. Tempat aku tinggal dan dirawat selama ini. Orang-orang
yang berada disitu sebagian tidak kukenal tetapi sebagian lagi adalah anak-anak
dan cucu-cucuku.
Sesaat kemudian seorang berpakaian putih
seperti dokter mendekat menghampiriku. Ia menjulurkan tangannya, “Turut
berdukacita ya, bu Kristina.”
Cerpen yang berjudul "Masa Tua" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Bergman Siahaan. Kamu dapat mengikuti blog penulis di akun: bergmansiahaan.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Masa Tua | Bergman Siahaan"