Cerpen Cinta - Mawar Hitam Desember | Maya Firdausi
Cewek itu berceloteh riang. Selalu! Ia tak pernah kehilangan kata-kata apalagi mengganti lengkungan senyumnya yang langka itu. Senyum ketulusan. Seolah hidupnya mulus-mulus saja tanpa beban.
Setiap kali Ikal bersama cewek itu,
penglihatannya berangsur buram tertutup kaca-kaca bening yang siap pecah.
Hatinya terlalu sakit merasakan embusan napas Nayra yang kian berat. Hanya
saja, Nayra terlalu pintar mengalihkan kepiluan itu. Semangat Nayra menjalani
hidupnya yang tak ubahnya bunga Dandelion, siap melayang kapan saja menunggu
embusan angin menjemputnya…
Hingga hari-hari Ikal terasa seperti
pelangi di langit malam.
Pertengahan Desember
Ikal tak suka bulan Desember sebab hujan
sering turun yang tentu membuat wangi tanah basah menyeruak. Aktifitasnya jadi
serba sulit terhalang hujan. Seperti saat ini, sepulang sekolah ia hanya di
rumah. Kebetulan Nayra meng-sms-nya.
Kung, tmenin ak jlan2 cari bunga mawar
yuk. Bête bgt. Tugas skul numpuk kyk cucian mama nih. Hehe. Mau ya?
Ikal tersenyum tipis. Agak risih karena
panggilan Nayra yang manja itu, Cekung. Apalagi Nayra kerap meminta dipanggil
‘Cembung’. Tentu saja panggilan itu hanya ada di dunia mereka. Dunia Ikal dan
Nayra.
“Tugas sekolah itu harus dikerjain,
bukan malah di-bete-in begitu,” ujar Ikal di sambungan telpon. Ia memang jarang
membalas sms Nayra. Lebih afdol langsung telpon, prinsipnya.
“Hehehe… abis tugasnya kebanyakan sih,”
sahut Nayra ceria. Tak ada kata sedih, marah atau jengkel jika Ikal menelpon.
Mendengar suara Ikal saja hatinya langsung tenang.
“Dari pada jalan-jalan nggak jelas,
mending kita ngerjain tugas bareng aja. Aku akan ke rumahmu.”
“Boleh juga sih, Kung. Tapi aku ingin
sekali bunga Mawar…” suara Nayra kian memanja.
“Iya. Nanti kalau tugasnya sudah kelar,
kita beli bunga Mawar. Sekalian nunggu hujan reda.” Ikal tak bisa menolak
permintaan cewek itu. Apapun akan ia lakukan demi Nayra. Sebelum terlambat.
Baru saja Ikal akan memutuskan sambungan
telpon, Nayra memanggilnya. “Cekung…”
“Apa Cembung?”
“Hati-hati di jalan. Aku menyayangimu.”
Ikal tertegun. Dadanya sesak. Terlintas
sebuah kepahitan, tentang bagaimana awal kisah ini bergulir…
Seperti hari itu, kebahagiaan enggan
pergi dari Nayra. Ia terus tersenyum. Mata serta hatinya pun tersenyum. Ini
kali pertama dia jalan berdua dengan Ikal. Selebihnya mereka hanya menghabiskan
waktu sebagai teman biasa di kelas mereka sekarang. Tak ada yang tahu jika dua
kutu buku yang biasanya terlibat diskusi pelajaran itu kini menjadi sepasang
kekasih.
Rencana awal tak jadi. Nayra merayu Ikal
agar menuntaskan saja belajar mereka dan segera membeli bunga Mawar. Ikal tahu,
sekali lagi ia tak kuasa menolak. Ikal memutuskan menunggu hujan reda dulu,
agar Nayra bisa berjalan normal tanpa payung. Yah, Nayra tak boleh sedikitpun
bersentuhan dengan hujan. Daya tahan tubuh cewek itu kian menurun seiring
kenyataan buruk yang terus menggerogoti hidupnya sedikit demi sedikit.
Setelah membeli setangkai Mawar sesuai
permintaan Nayra, Ikal mengajaknya ke sebuah tempat yang asing bagi Nayra.
Danau kecil yang sangat memukau.
Cukup lama Nayra mengagumi pemandangan
danau, berusaha mengusir tanda tanya yang menjejali pikirannya. Sesuatu yang
tak pernah Nayra duga. Sesuatu yang kian membuat napasnya berat. Hingga
akhirnya ia pikir perlu mengatakan sesuatu yang dirasa kian menyesaki hatinya
itu. Tentang pengakuan dari Mela. Mela memang menemui Nayra saat di toko bunga.
Ikal tak tahu karena ia sedang membayar di kasir. Mela bergegas menarik lengan
Nayra menjauh dari sana dan dengan cepat pula ia mengatakan suatu kenyataan yang
sungguh tak ingin Nayra dengar. Perih.
Ikal menatap kosong riak-riak danau.
Embusan angin mengirim aroma tanah basah yang sama sekali tak disukainya.
“Rangga…” Nayra memulai dengan
hati-hati. Ia takut Ikal tersinggung.
Ikal menoleh, tercekat mendengar Nayra
menyebut nama aslinya. Ia lupa kapan terakhir kali Nayra memanggil nama
aslinya. Astaga! Ikal baru menyadari wajah Nayra kian pucat. Mata cewek itu
menatapnya lekat. Ada apa dengan Nayra?
“Aku hanya ingin memastikan saja. Aku
tak ingin melukai atau memaksa siapapun…” Nayra menggigit bawah bibirnya.
Kepalanya berdenyut lima kali lebih kuat dari biasanya. Ia tak kuat
mengatakannya.
“Apa maksudmu, Nayra?” Sebenarnya Ikal
bisa menebak arah pembicaraan ini. Ia pasrah. Secepat itukah Nayra tahu yang
sebenarnya?
“Kau tak perlu membohongi dirimu,
Rangga… aku bukan orang yang harus di kasihani.” Cewek itu terisak. Butiran
bening membasahi pipinya, hingga membanjiri segenap kekecewaannya.
“Rangga… terima kasih atas kebahagiaan
singkat yang kau berikan padaku ini. Tetapi sahabatku lebih membutuhkanmu.
Bahagiakan dia, Rangga… demi kebahagiaanku nanti.” Nayra beranjak dari danau
yang kini diciprati senja. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak ingin
semakin larut dalam penyesalan, sebelum keping-keping itu menancap lebih dalam.
Ikal tak kuasa menahan penyesalannya.
Ingin sekali ia menyusul Nayra dan menjelaskan semuanya, tetapi kakinya terlalu
beku untuk melangkah. Nyalinya terlalu ciut menghadapi kenyataan. Ia hanya
menatap punggung Nayra yang kian menjauh, sebelum ia sadar hujan kembali
menghujami Bumi, juga tubuh Nayra yang masih melangkah. Astaga!
Awal Oktober
Ikal masih sibuk dengan komik di
tangannya. Ia hanya sendiri di kelasnya, 11 IPA 4. Sampai suatu ketika, seorang
teman menghampirinya dengan air muka yang sulit diterjemahkan. Nayra.
“Ikal… ini aku punya kue brownis. Buat
kamu aja.” Nadanya bergetar.
“Terima kasih. Aku nggak lapar,” jawab
Ikal agak cuek.
Nayra menunduk. Hatinya berkecambuk.
Menyesal.
Ikal tahu, saat itu Nayra hampir
menangis. Buru-buru ia meralat ucapannya. “Mm… Nayra! Aku mau satu,” akhirnya
kalimat itu terucap setelah otaknya menggali kosakata terbaik.
“Ikal…,” panggil Nayra ragu.
“Apa?”
“Bolehkah aku jadi temanmu?” pintanya
lirih.
“Kita sudah jadi teman, Nayra! Sejak
bulan Juli lalu,” jawab Ikal.
“Maksudku… ah, sudahlah. Lupakan!”
Kening Ikal berkerut. Bingung.
Akhir Oktober
Ikal bukanlah tipe cowok yang dipuja
cewek seantero sekolah. Ikal hanya sosok sederhana yang misterius. Begitulah
yang membuat Nayra tertarik. Sangat tertarik tepatnya. Nayra tak dapat
memungkiri, rasa yang dulu sempat berguguran kini kembali bersemi. Setiap dekat
dengan Ikal, kedamaian menyerbu hatinya. Sesuatu yang tak bisa ia dapatkan dari
siapapun.
Namun Nayra pun butuh ekstra sabar
menunggu perasaannya bersambut. Beberapa kali meng-sms Ikal, beberapa kali juga
ia menangis menyesali kebodohannya. Ikal selalu mengacuhkan sms-sms itu. Sama
seperti waktu kelas 10 dulu. Nayra ingin marah, tapi ia terbentur kenyataan
bahwa Ikal bukan siapa-siapanya. Ia hanya harus menahan egonya… menahan gejolak
emosinya. Bagaimanapun ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Ikal. Ia
cewek… ia hanya perlu sabar menunggu.
Nayra pun menceritakan segalanya pada
Mela, sahabatnya.
“Apa? Kamu suka Ikal?” ucap Mela
setengah teriak. Nayra tak menduga respon Mela akan sekaget itu. Nayra rasa ini
bukan hal heboh yang bisa dijadikan bahan gosip seantero sekolah.
“Apa yang harus kulakukan?” tanya Nayra
polos.
“Jangan menyukainya karena aku…” ucapan
Mela terhenti di tengah tenggorokan. Ia berpikir sejenak. “Maksudku karena aku
bisa carikan yang lebih baik dari Ikal untukmu,” lanjutnya.
“Hush. Kamu kira Ikal barang apa bisa
ditukar sama yang lain,” canda Nayra. Sama sekali tak lucu bagi Mela.
“Nay… apa kamu sungguh menyukainya?”
“Sungguh,” jawab Nayra mantab.
Tiba-tiba…
kepala Nayra seperti dihantam jutaan ton
batu. Sakit sekali. Berdenyut-denyut dan menusuk. Nayra merasa tubuhnya ringan.
Gelap!
Awal November
Nayra positif mengidap kanker otak.
Seminggu sudah Nayra tak masuk sekolah.
Ia terbaring di rumah sakit melawan penyakitnya. Nanar. Mela tak sanggup
menyaksikan penderitaan Nayra.
“Mel, hidupku nggak akan lama lagi,”
lirih Nayra. Mela tak sanggup lagi menahan air matanya.
“Umur manusia hanya Allah yang tahu,”
hibur Mela melawan kata hatinya.
“Kata dokter umurku nggak akan lebih
dari sebulan.” Nayra mengembuskan napas berat.
“Dokter bukan Tuhan.”
Nayra menatap sahabatnya. “Sebelum ajal
menjemputku, aku ingin sekali melihat Ikal tersenyum.”
Mela diam.
“Aku ingin sekali mengenalnya lebih
dekat. Ah, andaikan penyakit ini tak datang secepat ini…” lanjut Nayra.
Mela tak kuasa lagi mendengarnya. Ia
bergegas keluar dari kamar Nayra. Air mata cewek itu mengalir seiring langkah
kakinya menemui seseorang. Yah, seseorang…
Pertengahan November
“Nayra… maukah kamu jadi pacarku?”
Mata Nayra mengerjap-ngerjap, berusaha
memastikan apa yang dikatakan Ikal sekarang. Benarkah?
“Sebenarnya aku menyukaimu sejak kelas
10 dulu. Hanya saja aku terlalu pengecut untuk mengungkapkannya,” lanjut Ikal.
Kelas hening. Setengah jam yang lalu bel pulang telah berbunyi.
“Maukah?” ulang Ikal lembut. Pipi Nayra
bersemu merah. Hatinya bergetar. Jantungnya berlombatan. Rasa sakit yang kerap
menikamnya pudar seketika.
Hari itu, untuk pertama kalinya Nayra
kembali sekolah. Hari itu pula, penantian Nayra berakhir.
Akhir Desember
Ikal… Ikal… Ikal…
Mata Nayra masih terpejam. Ia belum
sadar dari masa koma. Beberapa peralatan medis melingkari tubuhnya yang
ringkih. Ruangan ICU serba putih itu sungguh senyap, hingga Mela bisa mendengar
suara hatinya yang bergemuruh hebat. Menyuarakan beribu penyesalan atas
kebodohan dan kegoisannya.
Ikal… Ikal… Ikal…
Kembali Nayra menyebut nama cowok itu
walau lirih. Hati Mela semakin teriris. Andai saja saat itu ia tak mengatakan
yang sebenarnya pada Nayra. Andai saja ia dapat menahan dirinya. Andai saja ia
bisa merelakan Nayra bersama Ikal…
Melihat gerak lekukan garis penunujuk
tanda-tanda kehidupan Nayra, Mela mengerti, Nayra masih menunggu seseorang
menemuinya untuk terakhir kali. Mela tahu apa yang harus ia lakukan, sebelum
lekukan garis itu berubah menjadi garis lurus panjang.
Ikal lah satu-satunya semangat Nayra
melawan penyakitnya. Karena Ikal pula Nayra ngotot terus sekolah meski
orangtuanya tak mengizinkan. Kesehatan Nayra pun berangsur membaik setelah Ikal
menjadi kekasihnya.
Itulah alasan Mela menemui Ikal sekarang.
Liburan semester ganjil baru saja
dimulai. Mela menemui Ikal di rumahnya.
“Nayra terus menyebut namamu,” ucap Mela
memecah keheningan. Muka Ikal berubah pucat. “Ia ingin kau menemuinya, Kal!”
Mela menatap Ikal, memohon. “Untuk terakhir kali…” lanjutnya ragu.
“Aku takut menemuinya. Aku sudah
menyakitinya. Aku… aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menebus
kesalahanku.” Ikal tertunduk putus asa. “Kalau saja dulu kau tak menyuruhku
untuk berpura-pura mencintainya dan menjadi pacarnya! Kalau saja aku tak
memberi harapan padanya. Kalau saja…”
Mela memotong ucapan Ikal. “Kalau saja
dulu aku tak mengatakan yang sebenarnya saat kalian di toko bunga! Kalau saja
aku tak seegois itu… kalau saja… kalau saja aku tak menyukaimu juga…”
Ikal tercekat. Apa yang Mela katakan
barusan?
Tiba-tiba ponsel Mela berdering.
“Apa? Kondisi Nayra drop? Baiklah aku
akan segera ke sana…” ucap Mela cemas. Telpon itu dari orangtuanya.
“Kal, kumohon! Temui ia sekarang. Ini
kesempatan terakhir untuk memperbaiki kesalahan kita!”
Ikal tak berdaya. Mela menarik lengannya
seketika menuju motor Mela di depan rumah. Dengan satu gerakan saja Mela
memakai helm lalu menaiki motornya. “Aku yang bonceng.”
Seketika Mela memacu motornya dan
meliuk-liuk di jalan. Ikal tercengang di boncengan. Bayangan wajah Nayra
menutupi kesadaran Mela saat memacu motornya. Hingga akhirnya, Mela tak sadar
sebuah truk pasir berada di jalurnya. Dan tabrakan hebat itu pun tak dapat ia
hindari…
11 November 2012
Aku nembak dia! Mela memaksaku melakukan
itu. Bisa kulihat dari binar matanya dia sangat menyayangiku. Ini terdengar
jahat. Aku pura-pura mencintainya padahal rasa itu belum kurasa ada. Demi
membahagiakan dia di saat terakhirnya, aku harus mau…
7 Desember 2012
Senyumnya sangat manis. Aku rasa kini
aku tak jadi penipu lagi. Yah, aku mulai menyayanginya juga. Sungguh! Aku kagum
dengan semangatnya. Cekung Love Cembung.
15 Desember 2012
Tuhan, dia sudah tahu semuanya. Aku tak
ingin kehilangan dia. Aku sungguh menyayanginya. Tapi aku bingung dengan
kata-katanya. “Bahagiakan dia demi kebahagiaanku nanti”. Apa ada kaitannya
dengan Mela? Ah, kata Mela dia kritis setelah kehujanan kemarin. Aku tak
sanggup menjenguknya karena aku tak ingin melihat dia tersiksa oleh
penyakitnya. Tuhan, Aku rela menukar nyawaku asal dia masih bisa tetap
tersenyum.
Air mata Nayra jatuh tepat di kalimat
terakhir yang Ikal tulis di buku diarynya. Ternyata Tuhan mengabulkan
permohonan itu. Tiga hari lalu Ikal meninggal akibat kecelakaan. Mela
menyerahkan buku diari Ikal yang ia temukan di kamar Ikal. Mela juga menyesal karena
tak mengingatkan Ikal memakai helm hari itu.
Desember hampir usai. Nayra kembali
bersemangat menjalani sisa umurnya. Sampai suatu ketika, sosok yang menjemput
Ikal itu telah siap menjemputnya juga.
Cerpen yang berjudul "Mawar Hitam Desember" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Maya Firdausi. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di link berikut: http://www.facebook.com/maya.firdausi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Mawar Hitam Desember | Maya Firdausi"