Cerpen Kehidupan - Sesuap Nasi Untuk Istriku | Andi Makkaraja
Lelaki tua itu melempar bungkus rokoknya ke tanah. Tangannya kosong. Mungkin bungkus rokoknya juga kosong. Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke tembok. Pandangannya tertumpu pada satu objek. Matanya fokus pada genangan air keruh dan berlumpur di depannya. Semenit, ia tak bergeming. Menit berikutnya, matanya masih menatap tajam. Tiga menit berselang, masih. Menit-menit berikutnya, ia masih betah.
Kejadian itu bertahan selama kurang
lebih lima belas menit. Tapi tak ada yang benar-benar tahu, apa ia memang
melihat, sekedar menatap, atau tatapannya kosong tanpa proses pikir, atau
mungkin juga tanpa kesadaran fisik. Aku justru melihatnya ia hanya seonggok
daging, lengkap dengan tulangnya, tapi tanpa roh.
Aku menyeruput secangkir kopi yang ku
pesan tadi. Aku jadi bosan dengan pak tua itu. Aku tak memperhatikannya lagi.
Saat ketertarikanku kepadanya hampir
hilang, ia lalu menggodaku kembali. Ia melintas di hadapanku. Menghampiri
penjual nasi bungkus. Merogoh kantongnya lalu mengeluarkan dua lembar uang
seribuan. Menyodorkannya ke penjual.
“Mau beli apa?” Si penjual setengah
menggertak.
“Gado-gado satu bungkus.”
“Uangmu cukup?”
“Ini.”
“Apa itu?”
“Aku baru punya ini. Tiga ribunya aku
bayar sebentar.”
“Tidak bisa.”
“Tolong.”
“Tidak.”
“Aku butuh ini. Tolong.”
“Kamu butuh makan, aku butuh uang. Kita
sama-sama susah pak.”
“Selebihnya aku bayar sebentar.”
“Mau ambil uang dari mana? Hutangmu yang
kemarin saja belum kau bayar.”
Pak tua terdiam. Ia bungkam oleh
pertanyaan si penjual pada akhir debat mereka. Ia meninggalkan penjual.
Langkahnya tertatih. Aku menyaksikan pembicaraan mereka dengan ketersinggungan
luar biasa dan kemarahan yang membuncah-buncah. Ingin rasanya kulebamkan mulut
penjual sombong itu dengan pukulanku. Sementara itu, pak tua semakin jauh.
Kepalanya yang menunduk kian menegaskan tubuhnya yang bungkuk, rapuh, dan renta
oleh waktu. Ia menghilang di balik tembok.
Aku memesan dua bungkus gado-gado. Bukan
pada penjual yang tadi, tapi pada penjual di sampingnya. Aku muak dengannya.
Kusodorkan selembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. Lebih murah.
Kumasukkan bungkusan itu ke dalam ranselku lalu berjalan mengikuti langkah pak
tua. Aku menikung di balik tembok tempat ia menghilang tadi. Mataku liar mencari-cari.
Aku melihatnya terbaring lemas di atas kursi yang panjang, tepat di bawah pohon
berukuran lumayan besar. Matanya meraba-raba dan mungkin berusaha membacaku.
Aku duduk di dekatnya. Ia masih terbaring dan diam.
“Ini pak. Aku beli dua. Satu untuk bapak
dan satu untuk aku.” Kataku sambil menyodorkan sebungkus gado-gado.
Ia menatapku sejenak, tapi dengan sorot
mata lebih baik.
“Ini pak. Ambillah!”
“Terimakasih.” Ucapnya sambil meraih
bungkusan itu dari tanganku. Dengan senyum lalu kembali diam. Aku membuka
bungkusan gado-gadoku dan menyantapnya. Tapi pak tua tetap diam. Memangku
bungkusan makanannya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan membukanya.
“Kenapa gado-gadonya tidak dimakan pak?
Mari kita makan bersama.” Ajakku.
“Tidak ada apa-apa.” Jawabnya lalu
kembali diam.
“Lho, bukannya bapak lapar?”
“Iya.”
“Lalu kenapa tidak dimakan?”
“Sebentar. Aku mau tidur dulu.”
Aku terdiam. Pak tua terdiam. Ia kembali
berbaring. Memeluk bungkusan itu dan tidur.
Beberapa hari berikutnya. Seperti biasa,
sepulang dari kampus, aku langsung naik angkot dan turun di terminal. Panas
yang menyengat. Terminal sesak. Mobil saling bersenggolan, apa lagi manusia.
Lahan yang bagus untuk para pengemis dan bocah-bocah pembersih mobil angkutan
umum. Aku mencoba menjauh dari kumpulan mobil dan manusia itu. Duduk sendiri di
bawah pohon. Tenggorokanku kering. Kuperiksa dompetku. Cuma ada lima ribu
rupiah. Sepertinya hanya cukup untuk dua hari. Aku harus berhemat, maka teh
gelas menjadi pilihan paling realistisku. Lapar tak jadi soal, yang penting
dahagaku bisa kuhilangkan.
Saat teh gelasku hanya tersisa seteguk,
seseorang berjalan ke arahku. Tubuh yang membungkuk dan kulit yang telah
mengeriput mengingatkanku tentang siapa ia.
“Assalamualaikum nak!” Sapanya dengan
senyum sumringah. Pak tua yang tempo hari sangat lusuh dan kusut, kini Nampak
lebih segar.
“Waalaikum salam pak! Mari duduk di sini.”
“Iya nak.” Ia lalu menyandarkan tubuh
bungkuknya, sembari mengeluarkan sebuah bungkusan sedang dari kantong besar
yang dibawanya.
“Ini nak, gado-gado. Pasti kamu lapar.”
“Ini apa pak?” Tanyaku heran.
“Sudah. Ambillah! Aku mau membalas
budimu.”
“Bapak makan apa?”
“Masih ada dua bungkus lagi. Untuk bapak
dan istri bapak.”
“Oh. Jadi bapak punya istri?”
“Iya. Dia menunggu bapak untuk membawa
pulang makanan ini.”
“Oh gitu pak. Anak bapak mana? Kenapa
bapak yang kerja? Kenapa bukan dia saja?” Tanyaku sambil menerima bungkusan
makanan itu.
“Anak bapak sudah meninggal nak. Sekitar
sebulan yang lalu, jadinya Cuma tinggal kami berdua.”
“Jadi bapak tinggal di mana?”
“Di sana?”
“Di sana mana pak?”
“Yah di sana. Kalau gitu bapak pamit
dulu. Istri bapak sudah lama menunggu.”
“Iya pak. Makasih atas makanannya.”
“Iya nak. Assalamu alaikum.” Tutupnya
lalu pergi.
“Waalaikum salam.”
Aku lalu menyantap gado-gado itu,
sementara itu pak tua berjalan meninggalkan terminal. Aku melihatnya berhenti
di tepi jalan. Tampaknya ia ragu-ragu menyeberangi jalan. Aku masih melahap
makananku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor hilang kendali. Kencang dan melaju ke
arah pak tua yang berdiri di tepi jalan. Tubuh yang renta dan tua itu
terserempet tepat di ujung mataku. Makanan di mulutku seketika menghambar dan
kuhamburkan keluar. Aku berlari mendekati tubuh pak tua yang terkulai di atas
tanah. Tubuhnya berlumuran darah. Bungkusan makanannya berserakan di mana-mana.
Sekilas dari seberang jalan, aku melihat seorang perempuan tua berteriak histeris
dari dalam kardus yang disusun menyerupai gubuk.
“Bapak…!” Tangisnya pecah dalam teriakan
dan tubuh kakunya.
Cerpen yang berjudul "Sesuap Nasi Untuk Istriku" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Andi Makkaraja. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: makkaraja.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Sesuap Nasi Untuk Istriku | Andi Makkaraja"