Aku Tidak Berasal dari Buah yang Bagus, Tapi Pasti Akan Menjadi Buah yang Berguna
Aku duduk terdiam mencari ketenangan, dalam gang kecil yang memanjang ini banyak kehidupan hitam yang ku temui, aku tidak merasa takut, meski disekelilingku bertebaran manusia-manusia yang jauh dari Tuhan. Mereka asik meneguk minuman keras, bercumbu dengan pasangannya hingga lupa diri dan ngobat sampai Fly.
Sesekali aku perhatikan mereka satu
persatu, aku tidak pernah tau alasan mereka berbuat seperti itu, namun
perkiraanku pasti mereka orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan aku yang
sekarang. Aku tertawa, aku menertawakan mereka dan diriku sendiri, ku lihat
wajahku di cermin yang kusam, menatap diri lebih dalam, dan kini aku menangisi
diriku sendiri. Aku kehilangan arah, dan kini aku tidak memiliki tujuan, aku
hanya ingin bebas terlepas. Berlari hingga aku merasa lelah. Tidak! Aku tidak
akan lelah untuk berlari!
“Mengapa kamu bawa dia kesini? Maksudmu
apa? Apa kamu sudah tidak suka dengan keberadaanku di rumahmu?” kemarahanku
mulai bergejolak, saat ku lihat Guru SMA-ku tiba-tiba ada dalam kamar, dia
sudah menunggu kedatanganku ternyata.
“Jangan marah pada Nina. Ibu yang
sengaja datang kesini Vin. Tenangkan dirimu dulu.” Ia medekatiku, memberikan
sentuhan lembut pada pundakku.
“Mau apa kesini?” Tanyaku ketus.
“Ibu melihat kamu berada di gang itu
tadi. Apa yang kamu lakukan?” Tanya dia dengan lembut.
“Bukan urusanmu!”
“Apa kamu..?” Kini dalam inotasinya ia
menyimpan kecurigaan.
“Tidak! Dalam hidupku aku tidak pernah
sekalipun melakukan hal itu, hal yang kamu lihat di gang tadi. Sekalipun
tidak!” aku meninggikan nadaku.
“Lalu mengapa kau kesana? Ceritalah pada
Ibu. Percayakan pada Ibu, Vina.” Aku terdiam, mengatur amarah dan kecewaku..
“Ketika aku lahir, semua keluarga sangat
bahagia, terlebih kedua orang tuaku. Saat itu aku terlahir premature, kata
Mamah aku terlahir sangat kecil, tapi sangat mengemaskan, apalagi saat aku
mulai tumbuh sebagai balita sehat. Mamah sering cerita masa-masa kecil diriku.
Aku banyak disukai orang-orang, dulu sebelum aku pindah ke tempat ini, para
tetangga sering menculikku, dan ketika mereka menggembalikan aku, aku sudah
dalam keadaan bersih rapih dan tentunya cantik, mereka memandikanku, memakaikan
baju baju bagus. Aku terkaget ketika mendengarkan cerita itu, aku berfikir
pasti mamah dan ayah begitu bangga dengan diriku, yaa diriku saat masih kecil.
Sekarang aku sudah mulai dewasa, umurku telah menginjak 18 tahun. Kehidupan
yang ku jalani sekarang, sebelumnya tidak pernah terfikirkan. Sungguh! Ibu
tidak merasakan bagimana hidup ditempat yang tidak semestinya. Rasanya setiap
hari aku hanya bisa menghirup udara kotor, hingga aku sesak! Aku ini hanya
manusia biasa.” Ibu menatap Iba diriku yang mulai bercucuran air mata, entah
air mata pertanda sedih atau terharu bercerita masa kecil. “Sejak aku kecil
sebenarnya aku sering menemui hal-hal janggal dalam keluarga ini.”
“Mah, ayah kemana? Ko ga pulang-pulang”
Tanya diriku polos.
“Ayah sekarang kerjanya jauh. Jadi
pulangnya lama.” Jawab mamah sambil membuatkan makanan untukku.
“Mamah udah ini mau pergi kerja lagi
ya?”
“Iya, hati-hati di rumah ya. Jangan
nakal. Nurut sama Ibu.” Nasehat mamah yang selalu di sampaikan sebelum pergi
kerja. Sejak kecil aku di asuh oleh kakak Mamahku, aku memanggilnya Ibu.
Setelah lama tidak berjumpa dengan Ayah,
mungkin lebih dari 2 bulan, akhirnya saat aku asik menonton tivi aku melihat
sosoknya. Sosoknya yang saat itu terasa sangat tinggi, aku sangat sulit
menggapai rambutnya. Aku hanya bisa mengenggam tangannya dan bergelantungan di
kakinya yang jenjang.
“Ayaaaaaaaaaaaahh!!” aku memanggilnya
kencang. Aku merasa sangat bahagia saat itu, jika sekarang aku teringat hal
itu, perasaan sangat bahagia itu mucul kembali.
Kemudian aku digendongnya. Aku tidak mau
turun dari pangkuannya, tidak mau lepas dalam pelukannya. Aku tidak mau. Aku
tidak mau. Aku masih merindukannya. Tapi rasa kebahagiaan itu sejenak hilang
tergantikan dengan rasa ketakutan yang sangat mendalam, hingga kini tidak
terhapus dari rekaman dalam otakku. Tapi aku kecil tidak tahu menahu, yang ku
tahu ada sesosok lelaki yang tanpa permisi, Dia masuk rumah dengan mengacungkan
pisau, ujung pisau itu mengkilat, aku berlindung dibalik kaki Ayah. aku kenal
lelaki itu. Aku sangat takut tapi tidak menangis atau berterik, lalu aku di
tarik oleh Ibu dan langsung di bawa ke kamar. Kemudian aku hanya bisa
mendengar, aku mendengar mereka saling berteriak, suasana menjadi gaduh. Ibu
keluar kamar dan aku dengar, ibu menyuruh Ayah untuk pergi. Sesaat suasana yang
gaduh menjadi tenang setelah suara bantingan pintu yang sangat kencang serasa
meledak di telingaku.
Malam datang, kejadiaan tadi siang belum
bisa terlupakan. Aku yang tadinya aktif malam ini cenderung pendiam. Aku tidak
mau makan, aku tidak bisa tidur dan aku sangat gelisah. Aku masih mencerna
kejadiaan apa yang tadi siang aku lihat. Lalu Ayah sekarang ada di mana. Apakah
dia baik-baik saja? Aku benci dia yang membawa pisau itu!
Keesokan paginya aku diajak ibu untuk ke
rumah tetangga, tiba-tiba rasa bahagia itu muncul kembali, aku melihat Ayah.
Aku digendongnya dan duduk dalam pangkuannya. Ternyata Ayah baik-baik saja.
Tapi sayang lagi-lagi aku tidak bisa berlama-lama dengan Ayah. Dia pergi dengan
alasan harus berkerja.
Sejak kejadiaan itu banyak
kejadiaan-kejadiaan yang muncul yang membuatku merasa aneh dengan keluarga ini.
Hingga keluargaku memutuskan untuk tidak tinggal di rumah itu, aku meninggalkan
tempat itu sejak aku duduk di kelas 3 SD, masih dalam kota yang sama.
Waktu mulai menjawab satu persatu
pertanyaanku yang tersebulung dalam hati, aku mulai mengetahui kebenaran yang
sungguh membuat hatiku pedih. Bahkan tidak cukup dengan menangis aku merasa
lega. Saat itu malam semakin larut, dalam kelelapan tidurku, aku terjaga, aku
tahu ada seseorang yang datang kerumah. Dari suaranya Itu kakek! Dia
menyebutkan nama seseorang, Aminah! Aku tidak akan pernah lupa dengan nama itu.
Kakek bilang Aminah meninggal dunia karena melahirkan anakmu. Awalnya aku tidak
mengerti. Tapi perlahan aku paham, seiring suara isak tangis dan kepergian
Ayahku.
“Apa kau bisa merasakan apa yang aku
rasakan saat itu? Saat itu aku harap adik-adikku tetap berada dalam tidur,
dalam selimut mimpi indah. Kemudian ayahku pergi meninggalkan kami begitu saja.
Tapi apa kamu tau? Dia bukan hanya mencampakkan kami karena lebih memilih
tinggal bersama anak-anaknya yang sudah tidak memiliki ibu. Dia memberi beban
yang membuat kami sesak! Aku bukannya tidak mau mengerti permasalahnnya, hanya
saja mengapa dia tega menimpakan semuanya kepada kami.
Tabungan pendidikan kami habis terkuras,
sebagian besar barang berharga telah terlelang, untuk menutupi hutang-hutang
ayahku yang entah untuk apa. Bisa kau perkirakan berapa besar hutang Ayahku?
Beri tahu aku berapa nilainya! Biar ku cari untuk menebus nyawa Mamahku! Kami
tidak pernah tahu soal ini sebelumnya, aku tahu ketika mamah jatuh sakit. Kami
mulai merasakan apa itu kelapan! Tapi ternyata Ibuku tidak tahan hidup
semenderita ini, akhirnya dia pun pergi meninggalkan kami untuk selamanya.” Aku
sudah tidak bisa membendung air mata dan kekecewaan yang ku pendam selama ini.
“Aku kira dengan begini aku membuatku
sedikit waras. Tapi tidak, lihat aku sekarang. Aku ini tidak lebih dari
sampah.”
“Lalu kemana Adik-adikmu?”
“Adik-adikku mereka berada di bawah
asuhan Kakek. Aku tidak mengerti bagaimana menata hidup normal seperti
sediakala.” Ku tenggelamkan kesedihan ini dalam pelukannya. Hatiku masih
seperti tertekan oleh sesuatu yang berat saat bercerita, mungkin isakan
tangisku bukan hanya bisa didengar olehnya.
“Kamu memang tidak berasal dari buah
yang bagus, tapi kamu pasti akan menjadi buah yang berguna. Tekadkan itu dalam
hatimu!”
“Saat kamu merasa frustasi dengan
keadaan, percayalah tidak semua orang merasakan apa yang engkau rasakan, maka
bersyukurlah untuk itu, karena Tuhan sedang mengujimu dengan pukulan yang cukup
menyakitkan, tapi jika engkau bisa melihat lebih bijaksana, maka ini hanyalah
sebuah cubitan di pipimu. Masalah adalah cara Tuhan untuk membuatmu dewasa,
jangan lari dari mereka tapi hadapilah. Hanya masalah yg membuatmu bijaksana.”
Aku tidak berasal dari pohon yang bagus
tapi aku pasti akan menjadi buah yang berguna. Maka aku mulai menata hidupku.
Untuk adik-adikku, untuk orang-orang yang masih memperdulikan keberadaanku. Apa
yang kupunya sekarang? Aku hanya memiliki Waktu, Pikiran, dan Tenaga. Akan ku
upayakan apa yang aku punya bisa membantuku, sedikitnya merubah yang sudah
terlanjur kacau balau. Meski puing kehancuran telah berserakan di mana-mana,
akan kucari puing yang paling kuat untuk menyusun pondasi yang jauh lebih kuat!
Cerpen yang berjudul "Aku Tidak Berasal dari Buah yang Bagus, Tapi Pasti Akan Menjadi Buah yang Berguna" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis dengan nama pena Kinanti Tiara Dewi. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun: Kinanti Tiara Dewi.
Posting Komentar untuk "Aku Tidak Berasal dari Buah yang Bagus, Tapi Pasti Akan Menjadi Buah yang Berguna"