Cerpen Cinta - Gerimis Awal Desember | Fauzia Machdiar
Awal Desember. Langit mengganti lazuardinya jadi putih kelabu, menyembunyikan matahari yang sedang malas. Membuatnya jadi muram. Udara terasa lebih dingin. Bumi yang ini jadi basah. Sementara di belahan bumi lain jadi putih di mana-mana. Orang-orang jadi malas beraktivitas pula. Mereka lebih suka di rumah untuk tidur dan orang-orang di belahan bumi lain itu akan duduk di depan perapian beralaskan karpet bulu yang hangat.
Tetapi aku heran dengan mereka di bawah
sana. Berlarian ke sana kemari, menendang, menggulirkan sesuatu yang bundar
menggelinding di tanah yang keras, rata dan halus. Sementara di sekelilingnya
orang-orang yang lain bersorak-sorak, tak peduli dengan hembusan angin
desember. Dan kejadian ini bukan yang pertama kali. Sudah beberapa hari ini aku
menyaksikan hal yang sama. Bahkan ketika aku mulai ‘bertugas’, mereka seakan
tak peduli dengan kehadiranku!
Malam ini aku kembali melaksanakan
tugasku. Tepatnya masih belum. Aku masih di atas, dan terlihat dari sini mereka
lagi-lagi ada di tanah keras dan rata itu. Tanah keras dan rata. Huuh! Aku
paling benci apabila harus jatuh di tanah macam itu. Menyakitkan. Aku akan
terpelanting lalu menggenang untuk waktu lama. Lebih parahnya lagi aku akan
lebih sering terinjak-injak. Sepertinya malam ini aku akan jatuh di sana lagi.
Sesekali aku ingin jatuh di tanah yang
gembur, lekas terserap, melewati siklus yang selalu sama dan kadang tersangkut
di berbagai tempat. Terserap Akar tumbuhan, lalu keluar lagi lewat pucuk dedaun
di pagi hari. Jalan yang berliku, namun akan kembali lagi menguap ke langit.
Siapa aku? Apa pekerjaanku? Aku benda yang mati. Sebentuk zat. aku adalah
setitik air yang terkadang menjelma sebagai rintik kecil gerimis, atau rinai
hujan. Tapi beberapa hari ini aku masih melakukan tugas sebagai gerimis. Lebih
kecil dari pada gerimis. Aku tengah menjelma serpihan halus gerimis yang mudah
di tiup angin. Desember masih dini. Belum saatnya menjadi rinai hujan.
Perintah dari langit sudah terdengar.
Sudah waktunya terjun bebas. Semoga kali ini aku tidak terbanting di tanah
keras itu. Dan…
Aku mendarat di permukaan yang lunak,
berwarna hitam pekat dan menjuntai panjang. Aku tahu. Ini rambut di kepala
seseorang. Seorang gadis.
“sudah mulai gerimis” pemuda di sebelah
gadis ini menggumam sambil menengadahkan tangannya.
“ya, aku tahu”. Jawab gadis berjaket
ini. Hei! Seharusnya kau pakai tudung jaketmu! Karena aku dapat membuatmu
pusing. Tapi aku sudah terlanjur mendarat di rambutmu. Semoga kau tidak pusing.
“masih mau di sini?” tanya pemuda itu.
“pertandingan belum selesai, masih baru
masuk babak kedua…” jawab gadis itu. Kali ini ia merapatkan jaketnya. Rupanya
kau merasa dingin juga.
“ayo geser sedikit, tribun ini tak
beratap… bagaimana kalau hujan?” pemuda itu mengajaknya bergeser.
“ah! Masih gerimis halus… belum hujan
kok… lagi pula aku tidak akan bisa melihatnya dengan jelas kalau bergeser”
tolaknya.
“hhhh” pemuda itu menghela nafas.
“memangnya dia tahu kalau sejak kemarin kau nonton?”
“aku juga tidak tahu, sih…”
“jadi kau hanya sekedar berspekulasi?
Nonton sambil dingin-dingin begini tanpa kepastian…? wuih! Dramatis sekali!”
ujar pemuda itu sinis.
“yaah… setidaknya aku sudah
memberitahunya sejak kemarin, bahwa aku akan datang melihat pertandingannya…”
“ck! Hanya memberitahu lewat jejaring
sosial seperti itu bukan jaminan!”
“tapi dia membalas pesanku!”
“oh ya? Lalu apa katanya?”
“…’baiklah, lihat saja kalau memang kau
ingin lihat’…”
“hanya itu? Kedengarannya datar-datar
saja. Tidak ada kesan antusias dalam kalimatnya…”
“jadi maksudmu dia tidak peduli dengan
kehadiranku? Dia tidak penasaran dan mencariku?”
“entahlah…” jawab pemuda itu.
Gadis itu terdiam. Lalu menghela nafas
berat.
“aku harap dugaan itu juga masih
spekulasi. Bisa iya, bisa tidak. Tapi aku harap tidak…” ujar gadis itu dengan
tatapan menerawang.
“semoga saja. Tetapi, apa kau hanya akan
berdiam diri seperti ini terus? Terus-terusan ‘berbicara’ padanya lewat dunia
maya? Padahal pesan yang kau kirim pun hanya sekedar basa-basi!”
“bagaimana menurutmu? Aku perempuan,
ruang gerakku terbatas. Tidak mungkin aku langsung menyatakan perasaan kan?”
“terbatas? Itu kan hanya pemikiran
konservatif-mu! tidak ada salahnya juga kau bertindak, menunjukkan sedikit
eksistensi-mu padanya. Berdiam terus juga percuma dan melelahkan! Dia bukan
pangeran yang akan menghampirimu dengan sendirinya dan datang tiba-tiba seperti
dongeng!”
“jadi apa yang harus aku lakukan?”
“lakukan dengan cara yang sesuai dengan
pemikiran konservatif-mu itu!” jawabnya. Sepertinya kesal.
Gadis itu terdiam lagi. Kali ini seperti
memikirkan sesuatu. sebenarnya situasi macam apa yang aku saksikan saat ini?
ada apa dengan gadis ini? mengapa matanya tak lepas menatap orang-orang yang
berebut benda bundar itu?
“GOLL!!!” tiba-tiba terdengar teriakan
dari orang-orang yang bersorak itu. Kali ini seruan itu lebih keras lagi.
“lihat! Tim-nya menang! dia masuk semi
final! Lusa aku masih bisa melihatnya!” gadis yang sejak tadi diam terpaku,
kini melonjak-lonjak. Membuat posisiku goyah, dan perlahan aku merosot
mengikuti helai rambutnya, lalu akhirnya…
Aduh… Sakit!
Aku jatuh lagi di tanah yang keras dan rata.
Masih di awal desember. Lusa setelah
malam kemarin. Seperti biasa aku masih di awan menunggu perintah dari langit.
Kali ini aku akan menjadi rintik gerimis. Dan lagi-lagi aku harus bertugas di
tempat yang gaduh ini. semoga aku tidak langsung terjatuh di tanah itu lagi.
Aku berharap mendarat di atas permukaan yang lunak seperti rambut gadis yang
kemarin. Hei, bagaimana kabar gadis itu ya? Bukankah dia akan datang lagi?
Tetapi, siapa sebenarnya yang dia lihat di sini? Apakah seseorang di antara belasan
orang-orang yang berebut benda bundar itu?
Lagi. Aku terjatuh di kepala seseorang.
Tetapi rambutnya tidak menjuntai seperti gadis itu. Siapa lagi ini? oh! Rupanya
seorang laki-laki, salah satu di antara orang-orang yang berebut benda bundar
itu. Karena kali ini cukup deras, mereka berhenti. Akhirnya mereka sadar juga
akan keberadaanku.
“aduh! Di tunda, deh!” nampaknya ia
mengeluh karenaku. maaf, ini sudah perintah.
“maklum-lah… musim hujan!” celetuk
pemuda di sebelahnya. “hei! Lihat!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh
pemuda ini. hei! Hati-hati! Aku bisa terpelanting ke tanah itu!
“iya. Aku tahu!” jawabnya.
“dia selalu menonton sejak awal kita
bertanding!”
“aku juga tahu.” Jawabnya datar.
“hmm.. kau tidak menghampirinya? Lumayan
kok…”
Pemuda ini tersenyum. Sesekali ia
memandang ke arah seberang. Aha! Aku tahu! Mereka pasti membicarakan gadis yang
kemarin. Apa benar orang ini yang gadis itu lihat?
“entahlah…”
“menurutku dia cuma ingin kau tahu…”
“tahu apa?”
“jangan pura-pura bodoh! Masa kau tidak
bisa merasakan?”
“ya, ya, ya! Aku tahu kok! Tapi apa kamu
yakin, kalau dia…”
“dia punya perasaan padamu!” potong
pemuda di sebelahnya.
“tetapi dia hanya diam saja. Dia hanya
mengirimkan pesan-pesan yang isinya basa-basi. Tidak ada yang berarti! Yaah,
terkadang dia memberi semangat padaku. Aku juga merasa sedikit aneh…”
“dia muncul tiba-tiba di hadapanmu,
membuatmu heran, dan dia tidak pernah absen melihat kita bertanding, walau
hujan sekalipun! Hei, asal kau tahu ya… aku sering memergokinya melihat ke
arahmu saat kita break!”
“benarkah? Lalu kenapa dia tidak menyapa
atau menghampiriku?”
“mungkin malu. Beberapa perempuan merasa
ruang geraknya terbatas untuk mengekspresikan perasaannya saat ia menyukai
laki-laki. Apalagi kau tak mengenalnya! Dan pesan-pesan yang dia tulis itu
adalah cara yang dia pilih untuk berkomunikasi denganmu!”
“begitu ya? Lalu aku harus bagaimana?
Sementara aku mengharapkan seseorang yang lain untuk melihatku bertanding hari
ini…”
“hufth! Rupanya kau masih
mengharapkannya! Pantas saja kau tidak peduli dengan gadis di sana itu!”
“kau dan gadis itu sama saja. Sama-sama
mengharapkan seseorang yang tidak pasti. Dia mengharapkanmu, kamu mengharapkan
orang lain. Padahal orang yang di harapkan itu sama-sama tak jelas! Yaah… dia
pasti sakit hati bila tahu kau tidak peduli dengannya…”
“jadi menurutmu aku bersalah? Aku orang
yang jahat? Aku tahu sakitnya perasaan yang bertepuk sebelah tangan, aku tahu
letihnya mengharapkan sesuatu yang tanpa kepastian! tapi aku tak bisa
memaksakan untuk menyukainya! Butuh waktu untuk itu!” nadanya meninggi. “Dan
inilah caraku untuk menunjukkan padanya, bahwa…” imbuhnya. Kali ini nada
suaranya lebih tenang. Tetapi ia memutus perkataannya. Seakan enggan
meneruskan. Dia terdiam lama dengan kepala tertunduk. lalu menyambung lagi;
“bahwa bukan dia yang aku harapkan..”
terdengar lirih.
Hmm… sepertinya aku sedikit memahami apa
yang terjadi. Situasi ini situasi yang ‘muram’. Semuram langit bulan desember.
“hahh..! ok, ok… tidak ada terdakwa
dalam kasus macam ini. kau dan gadis itu hanyalah ‘korban’!”. katanya. “korban
perasaan” ia menambahkan.
Aku terpelanting lagi di tanah keras dan
rata ini, ketika pemuda itu kembali berebut benda bundar menggelinding. Aku
menggenang lagi, menjadi satu kesatuan dengan titik-titik air yang juga turun
dari mendung.
Aku, setitik gerimis yang menjadi saksi
bisu dari pembicaraan-pembicaraan itu. Banyak kata-kata yang tidak aku
mengerti. Aku hanya tahu bahwa gadis yang kemarin lusa itu sama sepertiku yang
masih menjadi serpih halus gerimis. Ada, terasa, tapi tidak terlalu
dipedulikan. Bahkan tidak di harapkan. Aku jadi kasihan padanya. Seandainya
bisa, aku akan menceritakan padamu bahwa pemuda yang kau harapakan untuk peduli
denganmu, ternyata mengharapkan orang lain untuk peduli dengannya.
Sepertinya kau harus menjadi rinai hujan
agar dia sadar dan peduli akan kehadiranmu. Atau setidaknya menjadi rintik
gerimis sepertiku hari ini yang bakal jatuh di rambutnya…
Walaupun…
Walaupun nantinya kau akan kesakitan
karena jatuh terpelanting di tanah yang keras dan rata ini….
Cerpen yang berjudul "Gerimis Awal Desember" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Fauzia Machdiar. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun berikut: a-logia.blogspot.com
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Gerimis Awal Desember | Fauzia Machdiar"