Cerpen Lucu - Lobang Hidung Lohi | Willy Sitompul
Sebongkah batu tampak membentur sebuah tong sampah berwarna biru di tepi jalan pas di depan gang Gaharu. Seorang anak dengan raut wajah kesal rupanya adalah sumber batu itu. Ditendangnya keras-keras batu tadi hingga berbunyi “Tung…” ketika membentur tong. Tak banyak yang peduli dengan suaranya. Mungkin karena kalah dengan bisingnya lalu-lintas saat itu.
Namanya Lohi. Dia sendiri tidak tahu
kenapa dinamai demikian. Tapi hari itu Lohi sedang kesal. Sebenarnya kalau mau
jujur tiap hari Lohi kesal. Kesal bukan karena hari yang buruk tapi karena
teman yang buruk. Teman yang buruk? Ya, di kelasnya Lohi selalu jadi bahan
celaan.
Siapa lagi yang jadi motor para pencela
kalau bukan Mahfud?, tapi bukan Lohi namanya kalau tidak bisa menguasai
dirinya. Sebagai anak tertua dalam keluarganya dengan adik berjumlah 4 orang,
Lohi di tuntut untuk menjadi lebih dewasa di banding umurnya. Walau masih kelas
5 SD, Lohi tampak mempunyai raut wajah lebih dewasa dari teman-temannya. Ketika
di cela, Lohi hanya diam. Memang kesal kalau di cela tapi biasanya setelah
menendang satu-dua batu, Lohi kembali lega.
Angkot D jurusan terminal Joyoboyo
melintas di hadapannya. Lohi memberi kode agar angkot berhenti. Tinggal sisa
satu kursi di ganjalan pintu. Itupun harus berbagi dengan satu orang ibu.
Rupanya ibu itupun membawa barang jualannya. Satu gendongan penuh botol-botol.
Rupanya ibu itu adalah penjaja jamu.
Di rumah, Lohi tak segera mengganti
baju. Dia langsung naik ke kamarnya. Bukan air minum pelepas dahaga yang dia
cari melainkan cermin yang ada di lemari. Lohi mematut diri. Bercermin. Melihat
wajahnya dan akhirnya mendongakkan kepalanya. Satu yang dilihatnya, hidungnya.
Apa benar lobang hidungku lebih besar dari anak lain? Malam itu Lohi tak bisa
tidur memikirkan lobang hidungnya.
Hari itu sebenarnya hari biasa. Tak ada
yang spesial atau kegiatan besar yang akan terjadi hari itu. Anak-anak kelas 5
C tampak berbaris rapi sebelum masuk ke kelas. Ketika masuk semuanya masih
berdiri. Salam di ucapkan ke ibu guru, ke teman-teman semua, setelah itu baru
duduk. Pelajaran siap di mulai.
Sayang hari itu banyak jam kosong.
Guru-guru sedang rapat. Persiapan UN katanya. Jam-jam kosong jadi penderitaan
tersendiri buat Lohi. Hari itu dia dapat celaan baru. Lohi si Lobang Hidung.
Siapa lagi kalau bukan Mahfud motornya?
“Lohi… lobang hidung, ampun deh Lohi
masa lobang hidung bisa besar gitu sih…” Mahfud mulai memancing. Saat itu
lobang hidung tampaknya akan jadi sumber kelakar. Masing-masing pendukung
Mahfud mulai berbicara tentang betapa besar dan luasnya lobang hidung Lohi.
“Pensilku sama kotak pensilnya sekalian
kayaknya muat di lobang hidung Lohi…” riuh tawa mulai terdengar.
“Jangankan kotak pensil si Bujang. Si
Bujang pun bisa masuk ke lobang hidung si Lohi…” satu lagi suara terdengar.
Riuh tawa semakin ramai.
“Si Bujang mah masih kecil, kayaknya
kita sekelas bisa masuk.. ha.. ha.. ha..”, Mahfud mulai menambahkan. Seluruh
kelas tampak tertawa. Tak ada yang membela. Tak ada yang menengahi. Lohi
mencoba tersenyum. Sedikit menarik sudut bibirnya yang tipis.
Untung jam kosong itu tak terlalu lama.
Pelajaran mulai lagi. Pelajaran budi pekerti. Intinya, menghargai satu sama
lain itu penting. Tak boleh menghina atau mengecilkan orang lain. Setiap orang
itu adalah mahluk hidup yang secara spesial di ciptakan Tuhan masing-masing
menurut kehendakNya. Jadi tidak boleh saling menghina atau merendahkan satu dengan
yang lain. Semua murid tampak manggut-manggut setuju. Lohi hanya menunduk.
Pelajaran budi pekerti selesai.
Pembahasan lobang hidung kembali di mulai. Lohi tetap berupaya tersenyum.
Jam-jam kosong kembali lagi. Persiapan UN membuat guru rapat kembali.
Hingga pulang pembahasan lobang hidung
tetap tak selesai. Lohi tak mau cengeng. Dia pulang dengan tegar. Hanya batu di
jalan yang jadi sasarannya. “Tung…” sebuah tong sampah berbunyi terbentur batu.
Keesokan paginya Lohi tampak kusut. Dia
baru bisa tidur jam 1 pagi. Masuk jam 7 berarti Lohi harus bangun jam lima
pagi. Jam 6 pagi Lohi harus sudah di Joyoboyo menunggu angkot D. Kalau tidak
dia akan terlambat. Pagi itu Lohi terlambat bangun. Jam 6 lewat sepuluh Lohi
baru bangun. Tak sempat mandi lama-lama, dengan cepat Lohi menyambar roti dan
minum teh yang disiapkan ibu. Memang, ibu tak pernah membangunkan Lohi. Ibunya
tahu kalau Lohi bisa mengatur dirinya. Baru kali ini dilihatnya Lohi
tergesa-gesa. Pikirnya tadi Lohi sudah bangun tapi masih membaca di kamarnya.
Tak terpikir oleh ibu kalau Lohi terlambat bangun.
Di Joyoboyo antrian angkot D penuh
penumpang tampak berbaris rapi. Angkot D berjalan pelan. Lohi semakin khawatir
kalau dia akan terlambat. Setelah penuh dengan formasi 6 orang di bangku
panjang, 4 orang di bangku pendek, dan 2 orang terjejal di ganjalan pintu,
angkot D mulai berjalan agak cepat. Lohi tampak terhimpit di antara ketiak dua
ibu berbadan besar.
Di depan jalan menuju ke sekolah SD
Cahaya Mentari, Lohi turun. Jalan itu sudah sepi, tak ada anak sekolah lagi.
Jangan-jangan aku sudah terlambat! Begitu pikir Lohi. Berjalan cepat Lohi
bergegas. Matanya melihat ke depan. Pintu gerbang sekolah sudah tampak.
“Aduh…”, sebuah suara terdengar. Lohi
berusaha mencari sumber suara. Rupanya itu suara Mahfud. Leher kemejanya tampak
di cengkeram. Dua anak berbadan besar tak berseragam tampak bersama Mahfud.
Rupanya Mahfud sedang di palak. Dimintai uang oleh dua anak tadi.
Lohi hanya geleng kepala. Mau menolong
Mahfud tapi bagaimana kalau nanti gerbang di tutup?
“Hoi…” suara teriakan terdengar. Dua
anak berbadan besar tak berseragam tampak terkejut. Seorang anak tampak
berjalan cepat menuju mereka.
“Lepaskan dia!”, rupanya itu Lohi. Dia
memutuskan untuk membantu Mahfud.
“Cerewet loe!”
“Bukkk…”, suara pukulan tangan mengenai
perut terdengar. Lohi tampak terhuyung.
“Plakk…”
“Bukkk..”
“Awww…” suara meringis terdengar.
Lohi tampaknya berhasil membuat kedua
anak berbadan besar itu kesakitan. Keduanya menatap Lohi marah. Tapi hanya
menatap dan langsung pergi. Lohi menatap Mahfud. Mahfud hanya melongo tak
bersuara. Tak ada terimakasih. Hanya tatapan matanya sejenak ke Lohi yang masih
memegang pipinya yang memerah. Mahfud bergegas menuju pintu gerbang.
“Tunggu pak…” suara Lohi terdengar
begitu melihat penjaga pintu mau menutup gerbang. Si penjaga menoleh sesaat.
Menunggu Lohi sejenak setelah sebelumnya Mahfud masuk. Lohi bergegas. Berjalan
cepat memasuki pelataran sekolah. Pintu gerbangpun di tutup.
Hari itu Mahfud tampak berbeda. Tak ada
kelakar yang keluar dari mulutnya. Tak ada cela yang terdengar. Ketika di
pancing temannya untuk berbicara tentang lobang hidung pun Mahfud tak
bergeming. Hanya senyum meringis sambil melihat ke arah Lohi. Dalam hati Mahfud
malu. Lohi telah menolongnya pagi tadi. Padahal Lohi selama ini selalu di
cercanya. Karena tak ada respon dari Mahfud maka kelakarpun usai. Tak ada motor
maka kelakar dan celaan tak berjalan. Sepanjang sisa hari itu berlangsung tanpa
celaan pada Lohi. Pelajaran demi pelajaran usai. Waktunya pulang. Hingga waktu
pulang sesekali Mahfud menatap Lohi. Lohi pun membalas tatapan Mahfud. Keduanya
tak bersuara hingga masing-masing menempuh jalan pulang.
Malam itu Lohi bisa tidur nyenyak.
Bangga karena kejahatan dibalasnya dengan kebaikan. Beda dengan Mahfud. Malam
itu dia tidak bisa tidur. Bingung. Harus berkata apa ke Lohi. Minta maaf?
Rasanya kok sungkan. Akhirnya Mahfud tertidur. Tapi bukan tidur yang nyenyak
dan nikmat tapi mimpi buruk yang datang melawat. Mahfud bermimpi buruk. Dirinya
tampak kecil dalam mimpi. Tiba-tiba tampak sebuah lobang besar mendekatinya.
Mahfud berusaha berlari kencang namun lobang itu terus mengikuti. Makin dekat
makin tampaklah sesosok yang dia kenal. Rupanya itu adalah Lohi. Lohi menjadi
besar berkali lipat. Seperti raksasa dalam cerita dongeng. Kepala Lohi juga
besar. Kepala itu tampak mendekat menuju Mahfud. Mahfud seakan tersedot dalam
lubang hitam besar. Lubang hidung Lohi yang selama ini dia cela.
“Tidak… ampun Lohi… ampun…” suara Mahfud
berteriak tampak tak di dengar oleh Lohi. Mahfud terhisap dalam lobang hitam.
Mahfud terbangun. Badannya berkeringat.
Dia tak mau tidur lagi. Takut mimpi buruk datang kembali. Rupanya sudah pukul 6
pagi. Mahfud bergegas mandi.
Di sekolah Mahfud bertemu dengan Lohi di
pintu gerbang. Aku harus bicara dengan Lohi, pikir Mahfud.
“Lohi…” sebuah suara memanggil Lohi.
Lohi berbalik. Dilihatnya Mahfud berjalan cepat ke arahnya.
“Hai Lohi… aku mau bilang terima kasih
atas pertolonganmu kemarin..” suara Mahfud terbata-bata. Lohi hanya tersenyum.
Dijabatnya tangan Mahfud. “Aku juga mau minta maaf atas perlakuanku selama ini
ya…” Lanjut Mahfud. Lohi mengangguk dan tersenyum. Sambil berangkulan mereka
memasuki kelas. Hari itu Lohi dan Mahfud berdamai. Mereka menjadi teman akrab
sejak saat itu. Mahfudpun berubah menjadi anak yang santun dan sopan sejak
mereka berdua bersahabat.
Berpuluh-puluh tahun kemudian Mahfud
masih sering mengingat kejadian itu. Mengingat Lohi sahabat karibnya. Lohi yang
saat itu telah menjadi seorang peneliti di sebuah negara maju. Mahfud selalu
tersenyum setiap mengingat peristiwa itu apa lagi kalau dia ingat mimpinya
tentang lobang hitam. Di kursi kepresidenan yang kini didudukinya Mahfud tampak
gagah. Perilakunya yang baik telah mengantarnya menjadi seorang presiden.
Presiden sebuah negara adikuasa saat itu. Negara itu bernama Indonesia.
Cerpen yang berjudul "Lobang Hidung Lohi" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Willy Sitompul. Kamu dapat mengikuti blog penulis di akun berikut: willysitompul.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Lucu - Lobang Hidung Lohi | Willy Sitompul"