Cerpen Cinta - Masih Ada | Fani Desy Lestary
Tik… tik… tik… dentuman detik waktu membawaku berlari begitu cepat. Memaksaku untuk cepat melupakan masa lalu. Ya, masa lalu. Masa lalu yang sulit terdefinisikan. Bahagiakah? Senangkah? Sedihkah? Pilukah? Aku tak tahu apa yang aku rasakan.
Yang jelas, ketika aku mengingatnya aku
seolah mati rasa, tak dapat merasakan apapun. Bagiku semua sama, bahagia,
sedih, suka dan duka hanyalah sebuah nama. Sama-sama tak lagi indah, sama-sama
tak menyakitkan dan tak bermakna.
Pagi ini hari pertama kelas 2 SMA, waktu
mempertemukan aku dengan seseorang. Sesosok roh yang sekejap merasuki hambar
hatiku.
“Tar..” ku dengar seseorang
membangunkanku dari lamunanku.
Aku diam, mencoba menerawang wajahnya,
ternyata ia si Yoga teman sekelasku. Ia tersenyum lalu menegup bahuku dan duduk
disampingku. “Kenapa?” tanyanya.
Akupun berkata, “Ng, nggak, kamu.”
“Oh, ini (menunjuk kaca matanya)? Kenapa
aneh ya?” potongnya.
Sejujurnya, Yoga mirip dengan Riko,
seseorang dalam masa laluku. Semua yang ada dalam diri Yoga ku lihat sama
dengan Riko. Sejak kelas 1 SMA, sejak aku kenal Yoga sejak saat itu pula sosok
Riko seolah kembali hadir dalam hidupku dengan nama Yoga. Jujur, walau tak
sepenuhnya nama Riko dapat ku hapus bersih dalam hati tapi kehadiran Yoga cukup
membuatku mampu melupakan melupakan nama Riko.
Wajahnya sama persis, physicly,
senyumnya, tapi kenapa sekarang dia harus pake kaca mata yang bikin dia mirip
banget sama Riko. Aku jadi rindu dengan kehadiran Riko. Sepertinya kehadiran
Yoga kali ini yang membuatku merindukan Riko dan malah membuatku ingin kembali
kepada Riko.
“Hai!!! Tari, what happen?” sapa Yoga
lagi. Tanpa menunggu jawabanku dia menarikku untuk masuk kelas, ternyata bel
masuk sudah berdering tapi aku tak mendengar.
Sesampainya di kelas, Yoga malah duduk disampingku.
Ingin rasanya aku meminta Yoga untuk melepas kaca matanya tapi bagaimana
mungkin aku dapat menyuruh orang terpopuler di sekolah hanya untuk
kepentinganku pribadi.
Aku mencoba mengunci hati, melupakan
semua tentang Yoga dan Riko. Ku lihat cewek-cewek kanan kiriku melipat muka,
sepertinya mereka cemburu karena Yoga duduk disampingku. Siapa sih yang nggak
suka dengan cowok seperti Yoga. Cakep, pintar, baik, pokoknya perfectionist.
Aku pun juga demikian, tapi kayaknya mimpi deh dia bisa suka sama aku. Berapa
ribu cewek yang mesti aku kalahin. Ah.. menghayal.
Bel istirahat berdering, aku tak
bergegas keluar kelas. Aku masih ingin memandangi wajah Yoga yang sedang
tertidur pulas dari tadi. Sayangnya, tiba-tiba Pak Itok memanggil Yoga dan
dengan terpaksa aku membangunkannya. Ketika dia bangun dan bergegas
meninggalkan kelas aku seolah tak ingin pisah, rasanya aku bakal kangen dia.
Sepertinya berlebihan, tapi ini kenyataan.
Sepertinya kebersamaan di hari pertama
kelas 2 SMA Yoga telah berhasil mewarnai kanvasku yang sudah lama kusam. Entah
kenapa dalam hatiku, ingin rasanya Yoga mewarnai kanvasku untuk selamanya.
Hari-hariku benar berwarna dengan
kehadiran Yoga. Nggak terasa 1 bulanpun berlalu, berarti 1 bulan pula
kebersamaanku dengan Yoga. Ternyata dalam waktu 1 bulan itu telah banyak hal
yang sudah kita ceritakan terkecuali ceritaku tentang kemiripannya dengan Riko.
Yoga orang yang asik, baik, perhatian, pendengar setia dan saran-sarannya benar
jitu. Aku ingin cepat menghapus Riko agar tak terus menjadi luka. Suatu malam
aku bertekad untuk menceritakannya namun sebelum aku ingin bercerita sebuah
pesan singkat di handphoneku, dia mengirimkan pesan untukku.
Isinya seperti ini: Tari, maaf ya tadi
pagi aku lupa pamit. 1 bulan kedepan aku karantina di Surabaya pelatihan Olimp
robotic. Aku berangkat malam ini jam 11. Kamu baik-baik ya di kelas! Oya,
jangan hubungi aku soalnya di sana HP di nonaktifkan.
Pesannya membuat senyumku keruh. Akupun
membalasnya: Ah Yoga, ya udah kamu juga baik-baik ya di Surabaya! Aku bakal
kehilangan kamu banget soalnya kalo ada soal-soal yang aku nggak tahu aku nggak
bisa tanya ma kamu donk?
Malam itu waktu menunjuk jam 10,
biasanya aku sudah tertidur pulas tapi kali ini tidak. Aku mencoba berkali-kali
mengatupkan mata tapi nihil. Akhirnya, aku menghubungi Yoga tapi HPnya mati.
Nggak tahu rasanya aku pengen nangis. Aku nggak mau jauh dari Yoga. Tiba-tiba
ada pesan: Tari, suatu saat nanti pasti datang. Tunggu aku! Yoga.
Sebenarnya isi pesan Yoga membuatku
penasaran, namun rupanya pesan itu mampu membuatku tenang. Dalam pikirku,
apapun yang Yoga katakan, yang penting dia mengirimkan pesan ini untukku yang
artinya dia mengerti tentang perasaanku.
Esoknya, aku merasakan hari-hari hambar
tanpa Yoga. 1 hari saja sepertinya aku tak mampu tersenyum tanpa kehadiran
Yoga. Tiap kali memandangi bangkunya aku merindukannya, hari-hari tanpa Yoga
nggak asik.
Ketika aku mencoba berbaring dibangkunya
aku lihat di kolong mejanya ada sebuah kotak. Aku ragu untuk menyentuh kotak
itu. Rasa penasaranku membuatku mencoba mengambil kotak itu namun saat aku
mencoba meraih kotak itu Pak Itok memanggilku beliau memberiku telfon dari
Yoga.
“Hallo?” suara dari telfon itu.
“Ya, hallo?” Jawabku.
“Ini Tari? Tar, ini Yoga.” Suara dari
telfon itu.
“Ya, Yo ni aku Tari. Kamu baik di situ?
Ada apa ya kok telfon?” Jawabku.
Rupanya Yoga tak menjawab, akhirnya aku
lanjut bertanya, “Yo, katanya HP di nonaktifkan? Tapi kamu kok? Bohong ya? Loh,
karantinanya udah tah? Apa lagi istirahat? Hallo? Yoga? Hallo?”
“Ehm, ya maaf. Tari, baik-baik ya?
Tunggu aku! Udah dulu tentornya datang nih. Assalamu’alaikum,” jawab Yoga dan
dia menutup telfonnya.
“Wassalamu’alaikum,” jawabku.
Sejak saat itu aku tak pernah tahu kabar
Yoga lagi, dia tak pernah menghubungi aku lagi begitupun aku. Mau tak mau aku
harus jalani hari-hari tanpa Yoga, lagian siapa aku. Hari-hari tanpa Yoga tak
beda jauh dengan hari-hari yang aku jalani setelah putus dari Riko, semua serba
nggak asik.
Saking kangennya sama Yoga sampe aku
sering ngehayalin dia dan nggak jarang ke bawa mimpi. Aku sering berhayal dia
mengatakan cinta dan di setiap hayalanku jawabanku berbeda-beda begitupun
dengan tingkahku, salting. Hal itu sering pula bikin aku tertawa sendiri.
Aneh…!!!
Meski kangen aku berusaha tegar dan
berusaha untuk tak memberi tahu teman-teman yang lain. Aku tak mau mengulang
hidup seperti saat-saat setelah putus dari Riko. Aku masih penasaran dengan
pesan Yoga untuk menunggunya. Ternyata 1 bulan menunggu Yoga benar menyiksa.
Aku terus bertahan, berusaha berdiri tegak dan bersabar menunggu Yoga.
Suatu hari aku jumpai Riko di depan
sekolahku. Aku kangen banget sama dia. Dalam pikirku, untuk apa dia ke sini?
Mungkinkah dia ingin bertemu denganku? Rupanya dia menjemput seorang cewek,
yang nggak lain teman sekelasku, Revi. Akupun bergegas menunjukkan diri kepada
mereka.
“Eh, Revi.” Sapaku.
“Tari?” Respon Revi bingung.
Riko memalingkan muka, mencoba
mengalihkan pandanganku. Mungkin dia pikir aku tak tahu bahwa itu diriya. Riko
bergegas pergi bersama Revi, dia mencoba menutupi wajahnya tapi sayangnya aku
tahu siapa dirinya.
“Ehm…” Seruku.
“Ada apa ya, Tar?” Tanya Revi.
“Emm, dia siapa?” Tanyaku.
Revi hanya diam dan seolah memberi
isyarat kepada Riko tentang sesuatu. Begitu pula Riko, dia diam dan sibuk
memalingkan muka. Akupun memilih untuk diam juga dan seolah menahan mereka.
Setiap mereka akan melangkah pergi aku menegurnya yang akhirnya Riko membuka
helmnya dan membentakku.
“Mau kamu apa sih? Nggak usah seperti ini
dong! Ternyata kamu nggak berubah ya.” Bentaknya.
“Maksud kamu?” Tanyaku sok polos,
sejujurnya aku mangkel.
“Biarin kita pergi dari sini! Kamu nggak
perlu bikin aku tertekan, apa lagi menekan Revi!” Bentaknya lagi.
“Oh..” Jawabku.
“Kamu itu masa lalu. Masa lalu yang
nggak banget untuk di kenang, terlalu menyakitkan. Kamu kan yang mau hal ini?
Kamu toh yang memulai ini? Nggak nyangka, ternyata kamu nggak sepolos yang aku
kira, naif. Harusnya kamu bisa lepasin aku dan relakan aku dengan Revi, toh
kamu sendirikan yang bilang kalau kamu nggak cinta sama aku. Terus
pengorbananku untuk meraih cinta kamu itu bohong, sia-sia. Kamu cuma manfaatin
aku, cuma pengen hartaku aja, cuma pengen numpang beken aja. Jahat ya..!!”
Bentaknya.
Aku hanya bisa menangis dan membiarkan
setiap pasang mata menontonku.
“Ah.. udah ah!!” Seru Riko melangkah
pergi.
“Berarti kamu buta.” Kataku tiba-tiba,
Riko menghentikan langkahnya.
“Harusnya kalau kamu memang cinta sama
aku, kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan ketika bersama kamu. Memang
benar, aku yang bilang kalau aku nggak cinta sama kamu waktu itu, tapi kamu
nggak ngerti. Kamu nggak bisa ngerasakan kalau aku sayang banget sama kamu.
Kamu nggak tahu, betapa berusahanya aku belajar mencintai kamu. Karena aku
nggak pengen ngecewain kamu. Aku nggak pengen kamu sakit. Namun semua membuatku
masih sulit untuk mencintai kamu. Akhirnya aku mencoba berani mengatakan itu
semua dengan banyak pertimbangan, dengan korban perasaan. Mengorbankan cinta
dan pacar pertamaku yang sangat aku cinta. Harusnya aku yang membenci kamu. Aku
sudah tahu. Kalau kamu sengaja membuat kesalah pahaman antara aku dengan Fio.
Semua yang aku lihat tentang keburukan Fio itu rekayasa kamu. Ternyata kamu
hebat, hebat banget.”
“Nggak… Sama sekali nggak!!!” bantah
Riko.
Seketika suasana menjadi hening. Aku,
Revi dan Riko sama-sama membungkam seribu bahasa. Namun tiba-tiba seseorang
dari arah lain berkata, “Tari…” Aku menoleh dengan perlahan bersama dengan
langkah Riko menjauh, namun Revi menahannya.
“Tari, sejujurnya aku suka kamu. Mau
nggak kamu jadi yang spesial dalam hatiku?” tembak Yoga di depan umum.
“Nggak!!!” jerit Revi dengan isakan
tangisnya. Lantas jeritan Revi membuat semua pasang mata kebingungan, termasuk
Riko, Yoga dan aku.
“Apa sih maksud kamu?” tanya Riko kepada
Revi.
“Yoga, aku sayang sama kamu. Mulai kelas
satu SMP kita sekelas aku sudah suka sama kamu. Aku sengaja pendam perasaan ini
karena aku yakin kamu nggak bakal pacaran sebelum lulus SMA. Aku pengen kamu
jadi pacarku.” Kata Revi.
Perkataan Revipun kembali membuat kita
bingung. sementara Yoga terpaku mendengar sahabatnya sejak SMP diam-diam
memendam hati untuk dirinya.
Akupun bertanya, “Lantas kenapa kamu
pacaran dengan Riko?”
Namun rupanya Riko marah dan salah
paham, “Oh, rupanya kamu sekongkol dengan Tari?”
“Apa maksud kamu? Nggak lah, ngapain.”
Jawabku.
“Kalian nggak perlu bertengkar! Karena
ini semua kesalahanku. 1 tahun yang lalu waktu kelas X, Yoga curhat kalau dia
suka ke Tari, aku tahu kalau itu pertama kalinya Yoga jatuh cinta. Mengetahui
hal itu aku kecewa dan di tempat lesku mempertemukan aku dengan seorang murid
baru, seorang cowok yang mirip banget dengan Yoga yaitu Riko. Semua yang ada di
diri kalian sama. Riko sepertinya menyukaiku dan akhirnya kita jadian. Riko,
sebenarnya yang aku cinta bukan kamu tapi Yoga.” Panjang lebar Revi.
“Sejujurnya aku dan Riko pernah pacaran.
Aku deketin kamu Yoga karena tiap kali aku deket kamu aku seakan kembali
bersama Riko. Aku masih cinta sama Riko.” Kataku mencoba menjelaskan semua itu.
Ternyata tambatan hatiku dan Revi masih
ada. Meski Riko dan Yoga dua orang yang berbeda tapi buat aku dan Revi kalian
serasa orang yang sama.
Cerpen yang berjudul "Masih Ada" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Fani Desy Lestary. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun berikut: Fani Desy Lestary.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Masih Ada | Fani Desy Lestary"