Cerpen Inspiratif - Tunanetra? Aku Bisa! | Silvia Mayningrum
Awalnya aku ragu dalam menghadapi hidup ini, banyak anak manusia yang memandang pertemanan hanya melalui fisik saja tanpa melihat dasar isi hati yang paling dalam. Aku ragu dalam memilah milih teman, apa lagi partner yang sesungguhnya sangat ingin sekali kumiliki.
Di sekolah, banyak sekali teman yang
menjauhiku, mencampakkanku, dan menganggap ku tak ada. Aku sedih dan kecewa
dengan semua yang dilakukan temanku. Apakah mungkin hanya karena keterbatasan
fisik yang aku miliki, mereka tega melakukan perbuatan yang sudah ku anggap
sangat keji itu? Atau adakah alasan lain yang lebih logis dan dapat dengan
mudah ku terima tentang pembully-an – pembully-an yang mereka tindaskan padaku?
Entahlah aku tak dapat berpikir apa-apa lagi tentang ini.
“Fitrah!” Seorang teman dari jauh
memanggilku yang sedang mendengarkan rekaman yang sengaja ku rekam ketika guru
bahasa Indonesiaku menerangkan suatu pelajaran. Tampaknya ia sedang membutuhkan
bantuanku yang terlihat dari nada suaranya yang lirih. Atau jangan-jangan Ia
hanya menjebakku agar aku terkecoh dan rencana yang telah di susun
kawan-kawanku untuk membully-ku kembali terulang dan berhasil menggoreskan luka
dihatiku.
Oh ya! Namaku Fitrah, Aku adalah anak
perempuan penyandang tuna netra. Aku tidak sekolah di Sekolah Luar biasa memang.
Karena aku ingin menunjukkan pada semua orang bahwa prestasiku dapat menyaingi
kemampuan anak lain yang rata-rata berkefisikan normal. Aku tak malu untuk
menimbah ilmu di sekolah ini walau dengan beribu keterbatasan, apa lagi dalam
hal penglihatan.
Namun, jangan salah. Dalam melangkah aku
tidak akan menyusahkan siapa-siapa. Sebuah tongkat dan kaca mata hitam untuk
penyandang tunanetra sepertiku dapat membantuku dalam melangkah. Meski
terkadang aku sering terjatuh, tersandung bantu dan lainnya. Mungkin itu karena
aku kurang berhati-hati dan instingku tidak kupakai waktu aku melangkah.
Suara yang menyahutkan namaku itu mulai
mengganggu pikiranku. Rasa takut mulai menghantui. Tubuhku menggigil dan
berkeringat dingin. Dalam hati aku berucap “Aku tak mau di bully lagi, sudah
cukup di hari kemarin kalian membullyku, mempermalukanku, menjatuhkan harga
diriku. Untuk hari ini jangan! Aku ingin hidup dengan tenang seperti anak
lainnya”
“Fitrah! Sini. Ada orang yang nyariin
kamu nih.” Aku tak mengacuhkannya, terus saja aku mendengarkan sebuah rekaman
dengan balutan suara guru Bahasa Indonesiaku yang sangat lantang namun merdu
itu. Bahasa Indonesia memang pelajaran favoritku. Meski aku tak dapat melihat
namun aku senang mendengarkan atau memperhatikan sesuatu yang berhubungan
dengan sastra.
Sejenak, hati nuraniku bergetar.
Mungkinkah aku akan salah besar apabila yang dikatakan temanku benar jika ada
yang mencariku namun sampai saat ini aku tidak mengindahkannya? Demi Tuhan, aku
takut penindasan itu terjadi. Aku tak mau. Aku mulai bimbang dengan semua ini.
Aku mengikuti sumber suara itu. Rasa
takut ku tepis begitu saja. Senyum yakin menyungging di bibirku.
Harapan-harapan akan tidak terjadinya kejadian yang buruk mulai terbit di
hatiku. Pikiran positif harus selalu ada di otakku, walau terkadang yang
terjadi bukanlah suatu hal yang indah dan bukanlah suatu hal yang aku inginkan.
Tiba di suatu tempat, tempat seorang
teman memanggil namaku berdiri. Aku mencari sosok orang yang sedang mencariku
itu, namun sunyi yang ku rasakan. Tak ada selirik suara yang kudengar. Dan
tiba-tiba saja “Byuuaaarrrrrr!!!” Tubuhku basah kuyup ada seseorang yang
sengaja menyiramku dari belakang. Lalu muncul ribuan caci menyerangku “Orang
buta, orang buta, orang buta!” Dengan bahagianya mereka mendendangkan cacian
itu. Tuhan sekejam itukah mereka terhadapku. Dan begitu kejikah diriku sehingga
mereka tega mempermainkan aku terus menerus.
Aku menghambur dari tempatku berdiri.
Aku berjalan setengah berlari dan masih dengan sebuah tongkat dan kacamataku
yang setia menemaniku. Tubuhku makin menggigil saja karena seluruh tubuhku
basah kuyup tak terkecuali seragamku. Aku kehilangan arah seakan-akan aku
menyerah, tak ada yang menopangku, tak ada yang peduli dengan keadaanku. Betapa
tersiksanya menjadi seorang tunanetra yang di anggap hina sepertiku. “Tuhan,
Kirimkan aku seberkas cahaya yang dapat membuat langkahku kembali cerah.
Ampunilah mereka yang selalu membuat hidupku hancur berantakan. Ampuni mereka
Tuhan. Walau bagaimanapun mereka tetap temanku. Mereka tidak buta penglihatan
namun mereka buta hati. Aku tahu mataku tidak akan kembali normal. Namun
setidaknya Engkau mau menyembuhkan mereka, menyadarkan mereka tentang apa yang
telah mereka perbuat.” Doaku dalam hati dengan terus merintikkan air mata.
Aku menyelinap masuk kedalam kamar mandi
perempuan. Aku menyendiri di sana namun lagi-lagi tongkat dan kacamataku yang
setia menemani. Airmataku terus mengalir diam-diam jatuh di bajuku. Kini
basahnya seragamku bukan hanya berasal dari siraman air yang sengaja disiram
tadi mungkin bisa jadi airmataku turut serta membasahinya.
“Tok-tok-tok. Fitrah. Fitrah. Kamu nggak
kenapa-kenapa kan?” Sebuah suara terdengar dari sisi pintu kamar mandi. “Aku
nggak papa. Siapa di sana?” Aku mencoba menjawabnya setelah menyeka airmataku.
“Aku shinta temen sekelasmu, bisakah kamu keluar sebentar. Aku pingin ngomong.”
Aku pun keluar dari kamar mandi menuju kediaman Shinta.
“Fit, Maaf ya aku nggak pernah ngajak
kamu main, nggak pernah ngajak kamu belajar bareng. Nggak pernah ngajak kamu
komunikasi, sebenernya aku takut banget kamu malah tambah di bully gara-gara
aku temenan sama kamu. Sebenernya udah lama banget aku pingin temenan sama
kamu. Tapi apa daya, aku terlalu takut aku terlalu cemen. Maaf ya” Kata-katanya
penuh dengan penyesalan. Aku bersyukur kepada Tuhan karena masih ada orang
selembut Shinta mau peduli denganku. Aku tersenyum ikhlas lalu berkata “Nggak
papa kok, Shin. Aku udah terbiasa kayak gini. Makasih ya udah mau jujur sama
aku.”
Ia meraih tanganku lalu menggenggamnya
dengan erat dan penuh perasaan. “Kamu mau nggak jadi temenku, kalo bisa
sahabatku? Mau nggak? Cari temen kayak kamu itu susah banget lo.” Aku tersipu
dengan ucapannya, jelas sekali aku mau berteman dengan Shinta yang bersosok
sangat terima apa adanya itu. Bagiku ia adalah seorang malaikat yang dikirim
Tuhan untuk menemaniku setelah sekian lama aku menghadapi hari-hariku sendiri.
“Duduk sebangku bareng aku yuk? Mau
nggak? Udah lama kan kamu duduk sendiri?” Ia menarikku lalu mengisyaratkanku
untuk duduk pada kursi panjang yang di sediakan karyawan sekolah di kamar
mandi. “Kamu nggak bercanda kan? Tapi gimana kalo aku nantinya Cuma ngerepotin
kamu? Aku nggak mau buat kamu susah.” Aku mulai gelisah, dan harapan untuk
mendapatkan teman duduk sebangku mulai lenyap.
“Nggak kok, aku malah seneng banget bisa
duduk bareng kamu” Aku tersenyum mendengar penjelasannya. “Eh, bajumu basah
banget tahu nggak, mau pake baju olahragaku?” Ia menyodorkan sebuah seragam
olahraga kepadaku. Sebenarnya aku merasa telah merepotkan, namun harus
bagaimana lagi aku tidak ingin jatuh pingsan hanya karena tubuhku menggigil
akibat baju basah yang ku kenakan.
Setelah ku kenakan seragam milik Shinta
ketubuhku, aku dan Shinta meninggalkan kamar mandi bersama-sama. Ia menggenggam
tanganku seraya membantuku berjalan. Dengan percaya diri aku melangkah
bersamanya. Tanpa rasa ragu aku menunjukan pada semua orang bahwa hari ini aku
telah memiliki seorang sahabat. Sahabat yang bisa menerima keadaan, apapun
keadaanku.
Aku bangga kepada Shinta, Ia tak malu
memiliki teman sepertiku. Kali ini aku tak merasa sendiri lagi. Ada Shinta yang
menemaniku. Hari demi hari ku hadapi bersamanya. Walau kadang cercaan cercaan
selalu muncul dari mulut temanku yang merasa iri denganku. Ia tetap bersamaku,
bahkan tidak malu untuk menggenggam tanganku dan memeluk tubuhku dihadapan
mereka yang selalu mencercaku.
Hingga suatu hari, guruku mengutusku
untuk mengikuti lomba membaca puisi antar SMP tingkat kabupaten dalam
meperingati hari pendidikan nasional. Aku memang sangat suka sekali puisi.
Sudah lama sekali aku ingin mengikuti ajang ini. Namun suatu bencana menimpaku.
Kacamata khusus tunanetra milikku rusak hingga aku tak dapat mengenakannya
lagi. Ayahku berusaha memperbaikinya, karena untuk memperbaikinya butuh biaya
yang sangat mahal dan Ayahku tidak memiliki sejumlah rupiah untuk membayarnya.
Aku merasa kesulitan tanpa kacamata tersebut. Hari menuju perlombaan sudah
semakin dekat namun kacamata tunanetraku masih belum kunjung sembuh. Terpaksa
aku hanya menghandalkan tongkatku.
Shinta turut berduka, namun aku selalu
meyakinkannya bahwa aku masih bisa melangkah walau tanpa kacamata tersebut. Aku
akan mengikuti perlombaan yang sudah lama ku impikan walau tanpa kaca mata yang
sangat setia padaku itu. Shinta berjanji padaku akan membantu membimbingku
melangkah apabila aku mengalami kesulitan nantinya.
Tiba pada hari perlombaan, ku mantapkan
hatiku kembali. Ku pendam semua rasa grogi. Aku yakin aku bisa karena aku telah
berlatih, berlatih dan berlatih tanpa melupakan doa yang berisi harapan semoga
gadis tunanetra sepertiku dapat mengharumkan nama sekolahku.
Shinta berjanji padaku akan menjemputku
dan mengantarku ke tempat aku berlomba nanti bersama keluarganya. Shinta
bilang, Ia pernah menceritakan semua tentang diriku kepada keluarganya sehingga
membuat orang tua Shinta yang terkenal dermawan ingin bertemu denganku. Dan
pada kesempatan ini mereka tidak akan menyia-nyiakannya.
Aku sudah menunggu 1 jam lamanya di
teras depan rumahku. Menunggu keluarga Shinta pastinya. Aku sengaja menunggu
lebih awal supaya nanti ketika keluarga Shinta datang aku tak perlu
tergesa-gesa. Aku sudah mengenakan seragam yang sangat rapi sesuai dengan apa
yang di harapkan panitia. Namun, keluarga Shinta tak kunjung tampak
kehadirannya. Hingga waktu menuju ke perlombaan semakin dekat. Ibuku memberi
isyarat padaku untuk segera berangkat menuju tempat perlombaan. Tapi aku tetap
bertekat ingin menunggu keluarga Shinta, aku tak ingin membuat keluarga Shinta
kecewa.
Ibuku menawarkan diri untuk mengantarku.
Namun aku tak mau dan terus menunggu. Dalam pikiranku, mungkin keluarga Shinta
sedang di timpa macet sehingga mereka telat menjemputku. Waktu telah melampaui
waktu perlombaan di mulai, aku harus segera beranjak, jika tidak aku tidak akan
mengikuti perlombaan tersebut.
Aku berpamitan pada Ibuku. Aku meminta
izin untuk berangkat menuju tempat perlombaan. Lagi-lagi Ibu menawarkan untuk
mengantarku. Namun kali ini aku tak ingin menyusahkan Ibu, hari ini kondisi
kesehatan ibu sedang tidak stabil, jadi kuputuskan untuk berjalan sendiri
dengan tongkat yang kumiliki dan tanpa kaca mata yang menemani. Aku yakin aku
dapat sampai ketempat yang kutuju dengan selamat karena aku telah mendapat
restu dari Ibu.
Aku berjalan sendiri di pinggir jalan
yang cukup ramai. Sebenarnya ada rasa takut yang membayangi. Tapi aku tak
peduli. Guru-guru pasti sudah menungguku di sana. Teman-teman? Entah sepertinya
mereka tak begitu mengharapkan kemenanganku. Apa pentingnya bagi mereka.
Mungkin mereka hanya dapat mem-bullyku dan berusaha melunturkan asaku. Aku
terus berdoa semoga hari ini lancer dan tidak ada pihak yang merasa kecewa.
Sudah cukup jauh aku melangkah. Aku
merasa ada kendaraan yang akan melintas di depanku. Aku terus berfikir positif.
Namun jaraknya semakin lama semakin dekat. Kekhawatiranku mulai melambung
tinggi. Suara mobil dapat kudengar dengan jelas. Tiba-tiba ada sepasang tangan
menarik tubuhku sehingga membuat aku terpaksa menghempaskan tongkatku. Suara
rem cakram mobil mulai terdengar, gemuruh orang berbisik juga dapat ku tangkap.
Pemilik sepasang tangan tersebut adalah Shinta. Shinta memeluk tubuhku dengan
erat dan penuh kasih sayang seraya berkata “Kamu nggak papa kan, Fit?” aku yang
masih merasa sedikit shock menjawab dengan tenang “Aku nggak papa, makasih ya
udah mau nolongin aku.”
Shinta mengajakku menuju mobilnya,
sebelumnya Ia membantuku mengambil tongkat yang terlempar jauh dari kediamanku.
Di mobil milik Shinta, aku sedikit berbincang-bincang dengan orangtua Shinta.
“Maaf ya, sayang tadi Tante telat jemput
kamu. Tante masih ada rapat penting di kantor.” Suara lembut Mama Shinta
berhasil menenangkan perasaanku yang luluh lantah karena kecelakaan yang nyaris
terjadi akan merenggut nyawaku. Aku tersenyum, Papa dan Mama Shinta sangat
bangga kepada anaknya karena berkat keberaniannya menarik tubuhku, nyawaku
tidak jadi hilang. Papa dan Mama Shinta juga banyak berbincang-bincang
denganku, mengenai sekolah dan lain sebagainya.
Sesampainya di tempat perlombaan.
Suasana memang sangat meriah. Aku dapat mendengar suara peserta yang mebacakan
puisinya dengan indah. Di antar Shinta dan Mama Shinta, aku menuju tempat guru
Bahasa Indonesiaku berada. Beliau tak henti-hentinya memotivasiku sehingga
gergi yang sebenarnya sejak dari tadi sudah hilang namun datang lagi berhasil
lenyap berkat semangat dari guruku. Aku tidak pernah merasa malu karena
kekuranganku. Justru di ajang ini aku ingin menunjukan bahwa seorang tunanetra
sepertiku mampu bersaing dengan anak-anak yang secara fisik normal.
Ini waktuku untuk tampil dengan puisiku.
Aku tak perlu membacanya, aku sudah hafal tiap-tiap baitnya. Puisi yang aku
bawakan adalah puisi karya Guru Bahasa Indonesiaku sendiri, Bu Indri. Beliau
membuatkan puisi yang pas untukku. Sebenarnya aku memiliki puisi sendiri. Namun
Bu Indri menyarankan agar aku membawakan puisinya saja karena makna dalam
kata-katanya yang sangat mudah sehingga memungkinkanku untuk berlatih dengan
mudah.
Setelah tampil dengan percaya diri. Aku
kembali duduk di samping Bu Indri. Tepuk tangan masih dapat ku dengar. Ternyata
aku adalah peserta terakhir dalam perlombaan ini. Dan pemenang akan di umumkan
dalam waktu setengah jam lagi. Aku menunggu dengan sabar di sana. Shinta kali
ini menggenggam tanganku seraya meyakinkanku “Kamu pasti menang, Penampilanmu
barusan bagus banget.” Dan ternyata yang dikatakan sahabatku benar. Aku
mendapatkan juara pertama karena kelancaranku membawakan puisi tanpa satupun
partitur yang ku bawa. Aku bersyukur kepada Tuhan. Akhirnya impianku tercapai
walau harus jatuh bangun dalam meraihnya. Aku mendapatkan sebuah piala dan
piagam dari panitia yang akan ku abadikan di sekolahku. Mama Shinta
memberikanku penghargaan pula yaitu sebuah kaca mata tunanetra yang masih baru.
Pasti harganya sangat mahal, aku menolaknya namun Mama Sinta menyangkal dan
berkata “Ini juga penghargaan buat kamu karena kamu udah mau jadi sahabat
Shinta” tanpa ragu aku menerimanya.
Kini penindasan dan pembully-an mulai
sirna. Aku sudah jarang sekali mendengar cacian dari teman-teman yang iri
padaku. Kali ini aku dapat menunjukkan bahwa orang cacat dan buta sepertiku
dapat menyaingi orang normal pada umumnya. Teman-teman mulai berdatangan padaku
untuk di ajari teknik membaca puisi dengan benar. Dengan senang hati aku
mengajarkannya. Kini banyak lawan yang ingin menjadikanku kawan. Sedangkan
Shinta saat ini bukan hanya seorang sahabat melainkan juga partner hidup yang
aku impikan.
Cerpen yang berjudul "Tunanetra? Aku Bisa!" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Silvia Mayningrum. Kamu dapat mengikuti penulis melalui facebook berikut: Silvia Mayningrum
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Tunanetra? Aku Bisa! | Silvia Mayningrum"