Cerpen Persahabatan - Lapangan Kehidupan | Fitri Nur Fadilah
Semua telah berubah. Tempat ini kini telah berubah menjadi tempat yang begitu tenang. Memang tak sepi, namun tak banyak orang yang datang. Karena hanya pada waktu tertentulah tempat ini akan ramai dikunjungi banyak orang. Padahal dahulu tempat ini begitu sangat ramai. Sejuknya udara pagi, membuat tempat ini selalu dikunjungi banyak orang untuk menyegarkan badan. Teriknya sinar matahari, tak menghalangi siapa saja orang untuk datang. Senja, semua orang sangat menyukai tempat ini di kala senja, langit begitu penuh dengan layang-layang yang di terbangkan oleh anak-anak seusia ku dulu, tanah tempat ini begitu asyik untuk di pakai bermain sepak bola. Bahkan malam pun, tempat ini seketika berubah menjadi tempat yang begitu indah untuk dikunjungi dengan hiasan alami dari bulan dan bintang.
Tak terasa sudah 30 tahun aku tak
mengunjungi lapangan ini. lapangan yang penuh dengan kenangan bersama dia.
Bersama dia, yang kini tak mungkin akan mengulang kenangan bersama lagi.
Namaku Arif. Aku adalah anak kampung.
Aku tak tahu apa itu playstation. Yang aku tahu hanyalah layang-layang, petak
umpet, egrang, kelereng, dan banyak lagi permainan kampung yang menurutku itu
sudah lebih dari cukup. Aku hidup di kampung yang penuh dengan kehangatan.
Hubungan baik antar tetangga memang menjadi kelebihan kampungku. Kampungku,
memiliki lapangan yang begitu luas. Pagi, siang, sore, bahkan malam selalu
ramai di kunjungi.
Di sini, di kampung yang telah menjadi
tempat kelahiranku ini, aku memiliki keluarga yang begitu aku cintai, ada bapak,
ibu, dan Nina adikku. Aku sekolah, kini aku duduk di SLTA kelas 3. Tinggal
beberapa langkah lagi aku akan melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi. Aku
memiliki cita-cita yang amat besar, aku ingin menjadi seorang polisi. Entahlah
mengapa aku ingin sekali menjadi seorang polisi, mungkin karena aku melihat
gagahnya para polisi yang sesekali datang ke kampungku.
Oh ya, di sini, aku memiliki begitu
banyak teman. Tak dapat aku katakan satu per satu, namun ada seorang teman yang
telah menjadi sahabatku, dia adalah Beben. Beben, seumuran denganku. Setiap
hari kami selalu mengahabiskan waktu bersama. Kami satu sekolah, dia adalah
murid yang menurutku cerdas, walaupun dia memang agak sedikit nakal. Namun, aku
senang bersahabat dengannya, dia adalah sahabat yang setia. Aku selalu ingat
ketika aku dan Beben di kejar oleh para preman di pasar, ketika Beben mengambil
makanan milik para preman itu. Kami berlari secepat mungkin, fisikku memang
agak lebih kuat di bandingkan dengan Beben, aku berlari lebih cepat di bandingkan
dengannya. Aku terus berlari, namun ketika aku menoleh ke belakang ternyata
Beben tak ada. Aku mencarinya ke mana-mana, di tengah keramaian pasar aku terus
berteriak nama Beben, dan tak lama seseorang melambaikan tangannya tepat ke
arahku, benar itu adalah Beben dia kini sedang berada di atas mobil yang
membawa sayuran, aku berlari mengejar mobil itu, uluran tangan Beben yang
panjang tepat pada tanganku. Tangan kami kini saling menggenggam dengan erat,
akhirnya aku berhasil menaiki mobil itu. Kami tertawa bersama, begitulah Beben,
dia benar-benar sahabat yang selalu mampu memberikan tawa, dan pengalaman
untukku.
“Ben, apa kau tak akan melanjutkan
sekolahmu?”
“hmm, tak tahu lah, aku lebih senang
berada di sini”
“tapi kau adalah murid yang pintar Ben, sayang
jika kau tak melanjutkan sekolahmu”
“memangnya, kau akan melanjutkan
sekolahmu di mana Rif?”
“kata bapakku, aku akan pergi ke
Jakarta, aku akan mengejar cita-citaku menjadi polisi Ben”
“Jakarta? apa itu tak terlalu jauh? ah
aku lebih baik di sini saja bersama domba-domba, sawah-sawah, dan adikmu Nina.
ha ha ha”
“lah, kau ini Ben selalu saja bercanda”
Malam ini begitu indah, kini aku dan
Beben sedang menatapi bintang-bintang di langit, dan menatap harapan juga
cita-cita. Saat-saat seperti ini benar-benar menjadi kenangan indah bersama
Beben. Aku tak tahu, apakah 5 atau 10 tahun lagi akan dapat seperti ini? aku
dan sahabatku itu memejamkan mata, dinginnya angin malam membuat kami berhasil
terlelap, terlelap di tengan lapangan yang luas. Lapangan kehidupan ini telah
menjadi saksi, bahwa aku dan Beben akan tetap menjadi sahabat. Ya, aku dan
Beben memberi nama lapangan ini adalah lapangan kehidupan.
Hari ini adalah hari yang sebenarnya aku
telah aku impikan sejak lama. Akhirnya, aku akan pergi ke Jakarta untuk menjadi
seorang polisi.
“pak, bu, Arif berangkat ya, doakan Arif
ya”
“iya nak ibu, dan bapak pasti akan
selalu mendoakan kamu, jangan tinggalkan ibadah ya, jaga kesehatanmu, dan terus
hubungi ibu dan bapak”
“Iya bu, Arif janji, Nina adik abang,
kamu jaga diri ya”
“iya Bang”
Sebenarnya sangat berat aku harus
meninggalkan ibu, bapak, juga Nina. Namun, semua ini aku lakukan karena tujuan
utamaku adalah membuat mereka bangga. Aku melambaikan tangan pada mereka, air
mata mereka benar-benar membuat semangatku semakin berapi-api “aku tak akan
mengecewakan kalian”. Dan sekarang aku harus mencari Beben. Aku tersenyum
ketika melihat sahabatku itu sedang bermain kelereng dengan anak-anak kecil di
lapangan.
“Ben, aku harus pergi ke Jakarta
sekarang” aku berhasil membuat Beben terlihat terkejut, namun sepertinya Beben
menyembunyikan keterkejutannya.
“sekarang?”
“iya, Ben, aku pasti akan selalu
merindukan kenangan kita di lapangan ini”
“sana pergi! cepat kau kejar
cita-citamu! Jangan khawatir Nina akan tetap aku jaga. Ha ha”
Beben, kau selalu mampu mebuatku
tertawa. Namun aku yakin kau sesungguhnya sedih atas perpisahan ini. Ben, aku
akan mebuatmu bangga terhadapku. Aku memeluk Beben dengan sangat erat. Lapangan
kehidupan ini lagi-lagi berhasil menjadi saksi atas persahabat kami.
“jaga kesehatan ya bu, Arif tutup
telfonnya ya”
Tutt…
Kini, aku telah berhasil membuat ibu,
bapak, dan Nina bangga, karena kini aku telah menjadi seorang Kepala
Satresnarkoba. Aku memang jarang sekali untuk mengunjungi kampung, namun ibu,
bapak, dan Nina selalu datang mengunjungiku. Aku telah menikah dan istriku kini
sedang mengandung seorang anak. Aku benar-benar bahagia, keluarga, kekayaan
benar-benar telah dapat aku raih, namun itu tak lantas membuatku sombong, aku
masih senang dikatakan anak kampung.
Akhir-akhir ini aku memang sangat sibuk.
Banyak kasus masalah narkoba yang harus cepat untuk di selesaikan. Dan salah
satunya adalah kasus bandar narkoba yang masih menjadi buron. Di duga dia
adalah pengedar narkoba paling membahayakan. Karena dia selalu berhasil untuk
melarikan diri. Dia adalah pengedar narkoba kelas kakap, telah bertahun-tahun
dia menjalankan bisnis narkobanya itu. Dia masih saja selalu bebas berkeliaran,
walaupun dia telah menjadi buron.
“kita mesti siapkan strategi untuk
melakukan penggerebekan, jangan sampai kita gagal untuk kesekian kalinya”
“siap! Kami akan menunggu rencana
selanjutnya”
“Pengintaian kita lakukan sepekan, lalu
kita lakukan penggerebekan,”
“baik, kami akan menyiapkan semuanya”
Anak buah sudah siap, semua telah siap,
namun mengapa masih tetap ada keraguan. Mengapa aku selalu ingat kampungku
akhir-akhir ini. Aku rindu rumah, aku rindu lapangan, dan aku rindu Beben.
Beben? sudah 20 tahun aku tak bertemu dengannya. Seperti apa dia sekarang?
Sulit sekali, mencari keberadaan Beben sekarang. Keluarga di kampung mengatakan
jika Beben telah pergi sudah hampir 20 tahun. Aku jadi khawatir akan keberadaan
sahabatku itu. Ah tapi, semoga dia kini telah menajadi seseorang yang sukses.
Hari ini aku benar-benar sulit untuk
membuka mata, padahal hari ini adalah hari yang akan membuatku benar-benar sibuk
karena memang sekaranglah penggerebekan untuk menangkap pengedar narkoba itu.
Tak seperti biasanya, aku datang ke kantor benar-benar terlambat. Aku tak fokus
untuk menyelesaikan semua tugas. Benar-benar tak ada semangat, dan benar-benar
masih ragu untuk penggerebekan untuk malam nanti. Namun bagaimana pun acara
penggerebekan harus tetap di lakukan.
“malam nanti buronan itu harus kita
tangkap”
“siap! Hampir pukul 11 malam pak, kita
harus segera bersiap”
“baiklah, kembali ke tempat!”
Ya Tuhan ada apa ini, mengapa keraguan
ini makin terus merasuk ke dalam jiwaku. Apakah ini pertanda agar aku harus
menghentikan penggerebekan ini? namun, aku tak mungkin jika harus menunggu
waktu lagi untuk menanangkap buronan itu. Aku tarik nafasku panjang, ini semua
demi kebaikan bersama, aku harus yakin untuk aksi nanti malam.
“posisikan dengan baik! Jangan sampai
orang itu dapat kabur”
“siap!”
Tuhan, semoga keraguanku ini tak
membuahkan hasil yang buruk. Semua pasukan khusus telah aku kerahkan. Buronan
itu terus kami perhatikan. Puluhan polisi berjaga di setiap pintu keluar dan
masuk kawasan yang di duga terdapat sang pengedar. Sebuah rumah sederhana dekat
pesawahan adalah temapat burunon itu melakukan aksi.
Akhirnya kurang dari 1 jam polisi mampu
menggerebek rumah itu, dan benar, terdapat dua orang tersangka yang di duga
pengedar narkoba, dan juga banyak barang bukti. Namun, seharusnya ada tiga
orang tersangka. Aku berlari mengejar sang buronan itu, aku menembakan pistolku
ke udara sebagai peringatan untuk berhenti berlari. Namun, orang itu tetap saja
berlari sampai masuk ke dalam sebuah hutan, dan hingga akhirnya aku menembakan
peluru tepat pada kaki sang buronan itu. Buronan itu sama sekali tak mampu
berlari, kakinya mengeluarkan banyak darah, dia merintih kesakitan. Semua
pasukan aku tugaskan untuk membawa buronan itu menuju kantor.
Aku tak mampu berbuat apa-apa, mulutku
seperti bisu, aliran darah seperti berhenti mengalir, dan jantungku seperti
berhenti berdetak. Dan, ternyata aku tahu mengapa aku begitu ragu sebelum
melakukan aksi penggerebekan ini. karena ternyata pengedar narkoba kelas kakap
yang menjadi buron itu adalah Beben, sahabat setiaku. Dan itu artinya aku telah
berhasil menembak sahabatku sendiri.
Aku tak lantas pergi ke kantor, biarkan
saja agar pasukanku yang mengurus para pengedar itu. Karena jujur saja aku sama
sekali tak mampu berbuat apa-apa. Malam itu aku lantas pergi ke kampungku.
Namun tujuanku bukanlah untuk ibu, bapak, atau Nina adikku, namun untuk
lapangan. Di mana lapang itu yang selalu menjadi saksi untuk persahabatan aku
dan Beben. Pukul 1 malam, aku tak sanggup membendung air mataku. Aku menangis
dengan keras di tengah lapangan itu. Aku menceritakan semua yang telah terjadi
pada tanah lapang, pada bulan, pada bintang atas apa yang telah aku perbuat
pada Beben. Tak ada balasan apapun, hanya angin malam yang aku rasakan, angin
itu seperti mengusap air mataku. Aku benar-benar merasa bersalah, aku
benar-benar ingin mati saja, dan ketika aku memikirkan jika aku ingin mati,
suara telfon masuk pun berbunyi. Aku mengangkat telfon itu, dan ternyata itu
adalah dari salah satu anak buahku.
“hallo”
“hallo pak, posisi bapak sekarang di
mana?”
“saya sedang menenangkan diri. Kurang
dari 1 jam saya akan sampai di kantor, bagaimana dengan para tersangka?”
“salah satu tersangka bernama Ben, terus
merintih kesakitan pak, dan kini kami sampai di rumah sakit, dan tersangka dari
tadi menyebutkan nama bapak”
Tutt…
Aku benar-benar ingin mati. Aku tak
mampu menahan semua rasaku. Aku menangis lebih keras. Aku tak tahu aku harus
melakukan apa. Maafkan aku Beben.
Ya tuhan, kejadian itu tak terasa sudah
30 tahun yang lalu. “Beben, aku merindukanmu. Aku merindukan kita di tengah
lapangan ini. Aku tak menyangka peluru yang aku tembakan tepat pada kakimu
dahulu membuat kau lemah, dan akhirnya meninggalkan aku.
Ben, kini umurku sudah tak muda, namun
jika aku berada di lapangan ini, aku merasa seperti muda kembali. Ben, aku tak
tahu umurku akan sampai kapan, dan memang tak akan ada yang tahu, karena itu
adalah rahasia Tuhan. Namun, jikalaupun sekarang, aku telah siap untuk pergi.
Karena aku benar-benar ingin bertemu denganmu.” Kini aku sedang berada di
tengah lapangan, aku memejamkan mata. Dan mencoba mengenang apa yang dahulu aku
dan Beben selalu lakukan. Namun, rasanya aku tak ingin membuka mata lagi, dan
sepertinya memang sulit. Aku mencoba sedikit-demi sedikit membuka mata, namun
bukan lah lapangan yang aku lihat, melainkan sebuah cahaya putih. Dan ada
seseorang yang melambaikan tangannya tepat ke arahku, apa? itu adalah Beben!
aku berlari menuju sahabatku itu. Beben tersenyum padaku, dia menggenggam erat
tanganku, dan berkata “Tuhan begitu baik Rif. Dia menghukumku karena aku sudah
menjadi orang jahat, dan itu benar-benar sangat sakit. Namun, sekarang aku
bahagia karena kebaikan Tuhan. Dan Arif kini Tuhan yang membiarkan aku untuk
menjemputmu. Eh, tapi kau jangan khawatir kau adalah anak baik, Tuhan
menyuruhku untuk menjemputmu agar kita mampu bersama di surga.”
Cerpen yang berjudul "Lapangan Kehidupan" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Fitri Nur Fadilah. Kamu dapat mengikuti penulis melalui blog berikut: fadilahfitri.blogspot.com
Posting Komentar untuk "Cerpen Persahabatan - Lapangan Kehidupan | Fitri Nur Fadilah"